Mingyu berdiam diri di kamarnya setelah siang tadi berhasil membuat ibundanya bahagia setengah mati, berbanding terbalik dengan Wonwoo yang rasanya justru ingin mati saja. Mingyu sendiri tidak tahu apakah langkah ini akan membuat keadaan membaik atau memburuk. Meminta Joohyun menjadi kekasihnya sebelum gadis itu terbang ke London sungguh sama sekali tidak ada dalam rencana hidup Mingyu, apalagi mengutarakan pada sang ibu bahwa ia ingin juga bertunangan. Seberkilau apapun Mingyu, sekuat apapun pemuda itu, hidupnya tak akan berarti tanpa Wonwoo di sisinya. Jika sudah begini, ingin rasanya Mingyu membawa pergi Wonwoo-nya sejauh mungkin. Berbagi hidup bahagia di negeri antah berantah yang tidak satupun orang tahu bahwa mereka saudara kembar dari satu rahim yang sama.
Senja selalu menjadi waktu-waktu favorit Mingyu. Karena teduhnya senja serupa dengan Wonwoo, redup tapi tetap indah. Seredup semburat jingga yang dibubuhkan dalam bentangan luas lembayung keunguan. Haruskah ia benar-benar membawa pergi saudaranya itu? Sekelebat pikiran itu bersarang di kepala Mingyu, tetapi suara kenop pintu yang diputar seketika memecahkan lamunannya, langkah berat sang ayah adalah hal kedua yang Mingyu sukai setelah usapan lembut pada punggung yang biasa Kyungsoo berikan untuknya. Namun di atas semua itu segala hal tentang Wonwoo lah yang selalu menyita seluruh pikiran Mingyu.
Pemuda itu menoleh, mendapati tubuh tegap sang ayah yang masih terbalut kemeja abu-abu tua yang lengannya tergulung hingga siku melangkah perlahan ke arahnya. Jongin tersenyum, senyuman yang mampu membuat siapa saja ikut tersenyum karenanya. Senyuman yang diturunkan kepada Wonwoo.
"Apakah yang Ayah dengar dari ibumu itu benar adanya, Gyu?" Jongin duduk di sebelah Mingyu sambil menepuk-nepuk bahu bidang putra tampannya. "Sebegitu tidak inginnya kah kau ditinggalkan Wonwoo?"
"Maksud Ayah?"
"Kalau Wonwoo bertunangan, pasti ia akan lebih banyak menghabiskan waktu dengan tunangannya dan secara tidak langsung kau akan merasa ditinggalkan, makanya kau juga ingin cepat-cepat meresmikan hubunganmu dengan gadis itu 'kan?"
Mingyu tersenyum miris, sebuah pemikiran sederhana dari orang tuanya tentang hubungan kasih sayang mereka nyatanya menjadi batu sandungan yang besar.
"Maafkan Ayah telah kasar pagi tadi, Ayah hanya ingin anak-anak Ayah mandiri. Memiliki rencana matang untuk kehidupannya sendiri. Karena kau dan Wonwoo suatu saat nanti pasti akan memiliki keluarga dan kehidupan masing-masing."
"Tapi aku mencintai Wonwoo, Ayah." Mingyu akhirnya berbicara dengan lantang, membuahkan tawa kecil dari bibir Jongin.
"Ayah tahu, Nak." Kali ini kernyitan heran pada kening Mingyu menjadi tanggapan atas kalimat sang ayah.
"Ayah tahu jika aku mencintai Wonwoo?"
"Terlihat dengan jelas, lagipula saudara mana yang tak mencintai saudaranya, hmm?"
Mingyu mengembuskan napas kasar, jelas saja sang ayah tersenyum. Katakanlah Mingyu bodoh, sang ayah pasti mengira cinta yang ia maksud adalah cinta selayaknya saudara kandung. Cinta platonik.
"Tapi bukan cinta yang itu, Yah ... Aku mencintai Wonwoo seperti Ayah mencintai Ibu ..." Mingyu mencicit lirih, Jongin tersentak namun memilih untuk berpura-pura tidak mendengar apa yang diutarakan Mingyu dan beranjak bangun dari sisi putra tampannya.
Tepukan bahu lagi-lagi didaratkan Jongin untuk Mingyu, sebagai sebuah isyarat penguatan atau justru peringatan? Semuanya kini tampak bias untuknya.
"Kau dan Wonwoo akan tetap bersama sebagai saudara, Mingyu. Kau selalu bisa bersamanya, sebagai adik kembarnya. Jangan khawatir, kau tidak akan kehilangan Wonwoo."
Janji seorang ayah pada putranya, tetapi tidak bagi Mingyu, ia justru merasakan bahwa detik itu juga ia telah kehilangan Wonwoo. Jongin memilih berbalik arah memunggungi sang putra, terlalu mudah untuk melihat binar cinta dalam mata Mingyu yang tersirat membara untuk Wonwoo. Jongin menjauh, mengusap air mata yang jatuh dengan jari telunjuknya. Perasaan Mingyu telah salah dan Jongin memilih untuk menutupnya rapat-rapat. Suara pintu yang kembali tertutup membuat Mingyu merebahkan tubuh dan memejamkan matanya dengan kencang hingga terasa perih, sepertinya tidur tidak cukup buruk untuk sedikit melepaskan beban pikirannya.
~~~
Pagi ini, di keramaian bandar udara Incheon gadis itu melangkah seringan angin. Meninggalkan apa-apa saja yang sempat membuat napasnya tercekat dengan kelopak-kelopak kebahagiaan yang memenuhi paru-parunya. Di sinilah ia berada, di sepanjang garbarata pesawat dengan bekas gerimis di kanan kirinya, setelah kemarin siang pemuda pujaan hatinya menyatakan cinta. Joohyun membawa aura positif dalam perjalanan kompetisinya ke London, berjanji kembali ke Seoul dengan hasil terbaik yang akan ia persembahkan untuk kekasihnya. Mengingat kata kekasih, ia tersenyum-senyum sendiri. Kim Mingyu kini menjadi kekasihnya dan hidup gadis itu terasa sempurna sekarang.
From: MingyuKim 💕🍃
Safe flight, pulanglah ke Korea dengan hasil terbaik Joohyun-ah.
Fighting!!!Sebuah dering pemberitahuan pesan masuk membuat senyumannya semakin mengembang, Mingyu memang bukan pemuda yang romantis. Tetapi serangkaian kalimat penyemangat itu sudah membuatnya terbang melambung bahkan sebelum ia menaiki pesawat, tak mau kekasihnya itu menunggu lama maka Joohyun segera mengetik pesan balasan untuk Mingyu.
To: MingyuKim 💕🍃
Thank you my best tutor.
Aku berjanji akan menang untukmu 😊Sebuah pesan balasan yang tidak cukup romantis, tak apa yang penting hati dan perasaannya. Lagi-lagi sebuah pemikiran sederhana dan terlampau positif tanpa prasangka apa-apa.
~~~
Mingyu sedikit tersenyum melihat pesan yang ia terima dari Joohyun, jika memang berhubungan dengan gadis itu dapat mengalihkan perasaan terhadap Wonwoo-nya sedikit saja maka tidak ada salahnya mencoba. Lagipula Wonwoo lebih sering menghabiskan waktu bersama Yebin akhir-akhir ini. Saudara kembarnya itu telah kembali aktif berkuliah meski harus dengan kursi roda, maka mau tak mau Yebin akan selalu di sampingnya dan mengambil seluruh kelas yang sama dengan Wonwoo. Kehadiran Yebin sedikit membuatnya bahagia dikala kenyataan tentang hubungan Mingyu dengan Joohyun memporak porandakan hatinya. Cinta tidak bisa terhapus semudah berbicara. Dan dengan sendu, Wonwoo menatap Mingyu yang sedang tersenyum ke arah telepon selular dalam genggamannya. Ia tahu, bahwa hubungan jarak jauh pasti tak akan bisa lepas dari telepon selular.
Wonwoo cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke atas langit yang mendung untuk mencegah air matanya menetes lagi. Tanpa Wonwoo sadari, Mingyu balik menatapnya lekat-lekat dari kejauhan sedikit tersenyum puas akan hasil jepretannya terhadap wajah polos Wonwoo yang berhasil ia ambil dari tempatnya duduk saat ini dengan menggunakan ponsel. Sebuah tatapan penuh cinta kembali ia layangkan untuk saudara kembarnya yang manis. Mingyu rindu, karena setelah kejadian di kamar Wonwoo bersama ibunya ketika itu, mereka saling menarik diri dan memunggungi satu sama lain. Mingyu tak pernah sekalipun mampu menggantikan tahta tertinggi Wonwoo dalam hatinya dengan orang lain meski orang itu secantik dan secerdas Joohyun. Sebuah tanda merah di salah satu aplikasi obrolan dalam ponsel Mingyu menandakan bahwa ada pesan yang sengaja tidak ia buka. Ia terlalu memusatkan perhatiannya pada Wonwoo yang semakin jauh darinya.
~~~
To be continued
P.S
Selamat membuka kotak pandora!
KAMU SEDANG MEMBACA
Ursa Major [Meanie] ✓
FanfictionMingyu dan Wonwoo selayaknya bintang Mizar dan Alcor di konstelasi Ursa Major.