9

2.9K 514 39
                                    

Tidak ada yang lebih menyakitkan dari kesunyian yang memerangkap. Detik yang beradu detak menjadi simfoni pengantar tidur meski mata tak jua dihampiri kantuk. Nasal cannula yang melintang di wajah manisnya terlihat seakan-akan menjebak. Suara dari mesin electrocardiogram menjadi teman Mingyu malam ini. Ia tidak bisa memejam apalagi mengalihkan pandangannya dari Wonwoo yang tertidur pulas di ranjang kokoh kamar rumah sakit. Jika Mingyu bisa menukar posisi antara dirinya dengan Wonwoo, maka bisa dipastikan ia akan rela tanpa pamrih meski itu seujung kuku.

"Pulanglah sayang, biar Ayah dan Ibu yang menunggui Wonwoo di sini. Kau besok masih harus kuliah bukan?" Kyungsoo mengelus rambut cokelat muda milik Mingyu yang terlihat acak-acakan.

"Tidak. Aku akan tetap di sini sampai Wonwoo bangun. Rasanya sungguh sakit, Bu. Sakit. Di sini." Mata Mingyu kembali basah, tangannya menepuk-nepuk pelan dada bagian kirinya. Sebagai seseorang yang pernah berbagi ruang untuk hidup selama sembilan bulan dengan Wonwoo, ikatan batin Mingyu sangat kuat terhadap pemuda manis itu.

Jongin yang sejak tadi diam hanya menghela napas panjang yang berat. Hal yang tidak pernah diinginkan pada akhirnya akan terjadi. Wonwoo yang terbaring di ranjang pesakitan dan Mingyu yang terlihat paling nelangsa karena separuh hidupnya sedang tidak berdaya. Letup sol sepatu yang tergesa dan suara pintu yang berdecit memperlihatkan kehadiran Seulgi dan Yebin. Mata gadis itu terlihat memerah dengan rambut panjang yang diikat asal. Hela napas kedua kalinya berembus dari hidung mancung milik Jongin. Ada lagi, satu orang yang terlihat nelangsa saat memandang Wonwoo yang terbaring diam. Pada sisi baik dalam pandangan Jongin, setidaknya banyak cinta yang tercurah untuk putra sulungnya.

"Kyungie-ya, bagaimana keadaan Wonwoo?" Seulgi menghamburkan dirinya untuk langsung memeluk Kyungsoo.

"Seperti yang kau lihat ..." Kyungsoo menjawab seadanya sambil menikmati sejenak afeksi yang tersalur dari sahabat terbaiknya itu. "Yebin-ah ... Suruh oppa-mu untuk bangun, Nak ..." Kyungsoo beralih memeluk Yebin yang sejak tadi hanya terdiam mematung di sisi ranjang Wonwoo.

"Bibi ... Oppa pasti akan baik-baik saja, ia anak yang kuat ..." Sebuah kalimat pengharapan yang sedikit dipaksakan, entahlah yang terpenting Tuhan pasti mendengar itu sebagai doa.

Jongin mengangguk mendengar penuturan Yebin sambil sesekali mengusap kepala gadis itu. Persahabatan masa kecil Yebin dan Wonwoo kini tak bisa lagi dipungkiri bahwa ada cinta yang tumbuh di hati anak-anak merekaㅡhanya di hati Yebin mungkinㅡyang beranjak dewasa. Tak ada seorang pun yang menyadari bahwa dibalik mata memerah Mingyu ada sebuah tatapan tajam kala Yebin mulai menggenggam jemari tangan kurus milik Wonwoo. Mingyu tidak buta, sebuah pandangan memuja yang seringkali ia layangkan untuk Wonwoo kini ia lihat dari orang lain yang tujuannya samaㅡuntuk Wonwoo.

~~~

"Hyung ... Jangan perhatikan Yebin terus. Aku juga mau diajarkan matematika olehmu."

.

"Jangan dekat-dekat hyung-ku. Kamu bukan bintang, kamu hanya meteor."

.

"Oppa, memangnya meteor itu apa? Mingyu-oppa bilang, aku bukan bintang. Aku hanya meteor yang lewat."

.

"Hyung jangan dijawab. Cih! Dasar anak kecil, meteor saja tidak tahu."

~~~

Mingyu tersenyum iba, iba pada diri sendiri lebih tepatnya. Yebin sejak dulu memang selalu ada dalam orbit mereka berdua dan Wonwoo si pangeran kecil yang baik hati tak pernah bisa dan tak pernah tega untuk menyingkirkan Yebin dari orbitnya.

Ursa Major [Meanie] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang