20

2K 399 50
                                    

Tidak ada yang lebih menyakitkan dari sang belahan jiwa yang memilih untuk hidup dalam dunia semu yang dipilihnya. Kegelapan rasanya memeluk Mingyu erat-erat hingga kehabisan napas, pergi dan mati rasanya sama saja. Malam ini rasanya lebih pekat dari malam-malam sebelumnya. Ia berdiam diri di kamar setelah memberikan pelukan dan ucapan selamat pada Wonwooㅡsaudara kembarnya yang manis. Keadaan ini tidaklah adil bagi Mingyu, maka ia akan mengikuti permainan Wonwoo ke manapun pria yang lebih tua lima menit itu membawanya. Mingyu menyunggingkan senyuman, ia juga akan memulai permainannya, memberikan kejutan bagi siapa saja yang mendengarnya nanti. Tangan kekarnya meraih pigura yang terletak di meja belajar berbahan kayu eboni. Foto ketika mereka menikmati musim gugur bersama di Deoksugung Stone Wall Road, Mingyu memeluk Wonwoo erat dari belakang disertai tawa lepas yang membuat ujung hidung bangir Wonwoo mengerut. Terasa natural, ayah mereka yang mengambil gambar itu. Jongin yang saat itu telah mengetahui rasa cinta yang dirasakan Mingyu untuk Wonwoo, memilih diam dan mengabadikan binar cinta di mata kedua anaknya lewat foto cantik yang selalu dipandangi Mingyu setiap akan pergi ke alam mimpinya.

Angin berembus pelan menelusup masuk ke jendela kamarnya yang ia biarkan terbuka. Mingyu menggulung tubuh tingginya di dalam selimut, sebut saja Mingyu cengeng, tapi nyatanya air mata memang tak bisa ia tahan ketika mengalir membasahi pipinya yang terlihat semakin berisi. Mengapa cinta bisa sesulit ini, bukan cinta terhadap Wonwoo yang ia sesali, rasa cintanya tak pernah mengenal sesal. Ia hanya mengutuk jalinan darah yang mengalir di antara keduanya. Derit pintu menyeruak kesunyian yang ia ciptakan di kamarnya, persetan siapa sosok yang dengan lancang membuka kamar dan mengutuk dirinya sendiri karena lupa mengunci pintunya, Mingyu tak peduli. Ia hanya ingin lupa, lupa akan kalimat Wonwoo yang menyatakan bahwa pria manis itu ingin menikah dengan Yebin.

"Gyu ..." Suara berat milik Wonwoo mengudara memecah hening. Disertai desik bunyi gesekan antara kain pakaian dan selimut yang menggulung tubuh Mingyu.

Wonwoo memeluknya, sangat erat. Bahkan Mingyu bisa merasakan bahwa lengan kecil yang melingkari tubuhnya bergetar hebat. Disingkapnya selimut itu, Mingyu berbalik melihat keadaan Wonwoo. Betapa kacau wajah itu, matanya memerah dan basah, hidungnya berair, Wonwoo-nya tidak baik-baik saja.

"Wonie ... Apa yang kau lakukan?"

"Gyu ... Aku menyakitimu, menyakiti kita ... A-aku ... Aku benar-benar akan menikahi Yebin." Suara Wonwoo terdengar parau dan teredam dalam dada bidang milik Mingyu. "Aku tidak bisa kuat menahan sakit, aku tidak bisa membayangkan dirimu di kamar apartemen itu bersama Joohyun, lupakan saja tentang kita Gyu. Menyerah saja pada takdir."

"Baik kalau itu maumu, kita samakan saja hari pernikahannya. Kau dengan Yebin dan aku dengan Joohyun, bagaimana?" Mingyu menantang Wonwoo, memegang lengan atas kembarannya sambil menjatuhkan tatapan intimidasi pada manik rubah yang menyipit itu. Wonwoo sudah menduganya bahwa Mingyu akan dengan mudah menyerah, setelah hal menyakitkan yang Wonwoo lihat siang tadi, kini Mingyu juga akan meninggalkannya bersama Joohyun.

"Mulai detik ini, kau kembali menjadi adikku Kim Mingyu." Wonwoo tersenyum ditengah-tengah tangisnya yang tersisa.

"Aku mengikuti permainanmu, Kim Wonwoo. Silakan anggap aku, apapun kau mau menganggapku. Cinta tak padam semudah itu, silakan berjuang melupakan." Mingyu mengisyaratkan agar Wonwoo lekas keluar dari kamar yang menyimpan sejuta kenangan indah nan pedih milik mereka. "Kau tahu di mana pintu keluarnya 'kan Kim Wonwoo?" Mingyu menunjuk pintu kamarnya yang sedikit terbuka sejak tadi.

Wonwoo mengangguk mengiyakan, dengan langkah gontai ia meninggalkan kamar itu dan menutup pintunya rapat-rapat, karena ia tahu sudah tak ada waktu lagi untuk kembali. Malam nyatanya terasa lebih panjang bagi mereka berdua yang kini memilih untuk menghabiskan waktu di kamar masing-masing.

~~~

"Seulgi-ya, kita percepat saja pernikahan anak-anak kita." Hari masih pagi tetapi ratu keluarga Kim itu sudah berbincang-bincang di telepon dengan sahabat sekaligus calon besannya.

Terdengar desah berat di seberang sana, Kang Seulgiㅡibunda Kang Yebin, entah mengapa memiliki perasaan bahwa langkah yang diambil mengenai pernikahan ini adalah sesuatu yang salah. Ia selalu melihat dari mata tajam putri semata wayangnya, bahwa cinta yang putrinya miliki untuk Wonwoo terlalu dalam, namun ia tak mengerti cinta jenis apa yang bersarang di sana. Seringkali ia juga menjumpai tatapan Wonwoo yang mengguratkan kepedihan ketika sedang bersama putrinya, pedih namun cinta, cinta namun seperti dipenuhi rasa bersalah. Entahlah.

"Apa itu tidak terlalu cepat Kyungsoo? Satu tahun lagi menunggu mereka selesai kuliah rasanya tak buruk." Seulgi mencoba menampik perasaannya.

"Iya, maksudku juga seperti itu. Satu tahun tidak akan terasa kok, karena kita sambil mempersiapkan semuanya. Bagaimana?" Suara lembut Kyungsoo sangat kontradiksi dengan intonasinya yang kian mendominasi.

"Jika itu membuat mereka bahagia, aku sebagai ibu tentu akan mendukungnya." Perempuan cantik bermata tajam itu menyerah, Seulgi tak pernah bisa menolak sahabatnya. Kyungsoo sudah begitu baik dan berperan penting dalam kehidupannya, maka saat ini mungkin saat yang tepat untuk membalas budi.

"Kau sahabatku yang terbaik, Seulgi-ya! Baiklah kututup ya, semoga harimu menyenangkan. Salam untuk calon putriku yang cantik." Kyungsoo terkekeh dan Seulgi hanya tersenyum sambil mengiyakan.

Ibu cantik itu tak sadar jika sejak tadi Mingyu yang baru saja menyeduh teh krisan mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Kyungsoo. Ia tak bisa abai jika itu berkaitan dengan Wonwoo, baru saja semalam kakak kembarnya itu memutuskan hubungan mereka. Mingyu tak habis pikir, kebohongan macam apa yang sedang berusaha dijalankan oleh Wonwoo. Ia tahu, tatapan Wonwoo untuknya masih saja penuh cinta.

"Bu ..."

"Astaga Mingyu! Kau mengagetkan Ibu."

Mingyu hanya memberikan cengirannya ke arah Kyungsoo. "Hehehe, maaf Bu. Jadi kapan rencana pernikahan Wonwoo dan Yebin akan dilaksanakan?"

"Hmm ... Bibi Seulgi ingin menunggu hingga keduanya lulus. Memangnya kenapa?"

"Bolehkah aku juga menikahi Joohyun? Aku rasa acaranya bisa digelar bersama saja."

"Benarkah? Ya Tuhan, putra tampan dan putra manis Ibu sudah dewasa semuanya. Sudah saatnya kalian menghadapi fase hidup yang sebenarnya."

"Bu ..."

"Aku sangat-sangat menyayangi Wonwoo-hyung."

"Itu wajar, kalian telah bersama sejak dalam kandungan." Kyungsoo mengusak lembut rambut cokelat Mingyu.

"Bisakah aku sepanjang hidup bersamanya?"

"Kalian akan selalu bersama sampai kapanpun, Mingyu. Ibu selalu berdoa tentang itu."

Mingyu menyeringai, ibunya telah berucap. Doa seorang Ibu mana yang tak diutamakan oleh Tuhan? Mingyu yakin doa yang bergulir dari bibir Kyungsoo melesat jauh ke kolam penampungan doa di langit sana. Jika Wonwoo menyerah pada takdir, maka kini biarkan Mingyu yang memperjuangkannya meski sendirian. Cinta tak akan pernah padam semudah itu. Ia merapal lagi, meyakinkan hatinya. Raganya boleh menikah dengan orang lain, tapi Mingyu yakin hati dan pikiran Wonwoo akan selalu terikat dalam gravitasinya.

~~~

To be continued

P.S.

Aku senang sekali bisa update lagi.

Selamat membuka kotak Pandora!
🍃🍃🍃

Ursa Major [Meanie] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang