28

2K 352 32
                                    

Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Dan bulan berganti tahun. Tatanan kehidupan setiap manusia bisa bermacam-macam bentuknya. Ada kedatangan yang ditunggu-tunggu, juga kepergian yang sebisa mungkin ingin dielakkan. Aroma kopi mengepul dari dapur kecil sebuah flat sederhana dengan interior bercat putih. Senandung pelan dari bibir merah nan tipis yang kini lebih banyak tersenyum itu keluar dengan merdunya. Tidak ada lagi garis lingkaran hitam memerah di bawah matanya karena kurang tidur dan asosiasi negatif dalam pikirannya. Kini wajahnya lebih segar, meski tetap tirus tapi aura yang terpancar sangatlah berkilauan. Ia tidak lagi harus menyembunyikan perasaannya yang semakin hari semakin membuncah. Ia bebas mengekspresikan rasa cinta pada orang yang mengisi relung hatinya selama dua puluh tujuh tahun ini.

Sepasang lengan kekar melingkari pinggang rampingnya. Hidung mancung yang terbingkai garis wajah tegas itu sibuk menghidu kepulan asap putih dari balik bahu sempitnya. Mesin pembuat kopi mengeluarkan bunyi gerungan halus dan denting mesin pemanggang roti menginterupsi sebuah peristiwa romansa di antara mereka.

"Aku akan menyiapkan sarapan terlebih dahulu, Mingyu. Lepaskan pelukanmu sebentar." Pria manis itu menggeliat kala ujung hidung Mingyu malah menjelajahi leher jenjangnya yang tak tertutup apapun karena kaus kebesaran yang dipakainya hanya menutup sebatas bahu.

"Jangan lama-lama, aku masih ingin memelukmu, Wonwoo. Rasanya memelukmu tak pernah membuatku puas." Mingyu terkekeh saat Wonwoo hanya mendelik malas melihat tingkahnya.

"Dasar kekanakkan!" Wonwoo meledek Mingyu dengan menjulurkan lidahnya.

"Eiiiyyyy ... Aku 'kan memang lebih muda darimu."

"Hanya 5 menit dan itu tidak berpengaruh apa-apa, Kim!"

"Jangan begitu, kau juga Kim asal kau tahu." Lalu keduanya tertawa, cinta mereka sederhana. Sesederhana marga mereka yang sama namun serumit pertalian darah yang mengalir pada tiap pembuluh di tubuh mereka.

~~~

Mingyu telah memulai hidup bersama Wonwoo setelah Joohyun melahirkan anak pertama mereka. Yebin juga tengah mengandung, memasuki usia dua puluh delapan minggu. Seperti perjanjian awal, empat hari mereka habiskan waktu di flat sederhana yang penuh cinta dan tiga hari mereka menjalani peran sebagai suami yang bertanggung jawab dalam keluarga kecil mereka masing-masing. Lalu Ayah dan Ibu mereka? Jongin dan Kyungsoo bertolak ke Cina untuk mengurusi perusahaan mereka di sana. Takdir seolah-olah melancarkan jalan cinta antara kedua saudara kembar itu. Rumah utama hanya ada Wonwoo dan Yebin serta beberapa pekerja rumah keluarga Kim.

"Kau tahu? Hidup seperti inilah yang aku impikan sepanjang hidupku." Selesai Wonwoo menyajikan sarapan mereka, Mingyu kembali menggelayut manja pada tubuh ramping Wonwoo.

Mingyu laksana matahari yang memancarkan cahaya serta pesonanya pada siapa saja, namun baginya Wonwoo adalah langit ufuk barat yang selalu menjadi tempat pulangnya. Karena hanya di ufuk baratlah matahari merebahkan diri untuk beristirahat dalam peraduan. Ia hanya memperlihatkan semua kelemahan di hadapan Wonwoo, hanya di bahu Wonwoo lah ia menyandarkan semua tangis dan tawanya. Dan bersama Mingyu, Wonwoo pernah berkata bahwa kesesatan-kesesatan itu entah mengapa rasanya menyenangkan. Hilang dalam labirin-labirin buntu yang mendebarkan menjadi sebuah paradoks antara kebahagiaan dan kesakitan yang menjelma menjadi sebuah entitas bernama cinta.

"Ya Tuhan, Mingyu! Kau sudah bukan anak-anak, berhenti bermanja-manja." Meski protes, Wonwoo tak pernah berniat benar-benar melepaskan pelukan Mingyu. Kadang perlakuan dan kata hati memang tidak tersinkronisasi.

"Ini hari terakhir kita bersama di minggu ini, setelahnya aku harus pulang. Bermain dengan Minjoo dan kau juga harus pulang menjaga Yebin, kandungannya sudah besar. Kau harus jadi suami yang baik. Maka biarkan kali ini saja mari kita habiskan dengan mengasihi satu sama lain." Bibir Mingyu merengut lucu, dan Wonwoo selalu tidak tahan untuk mengecupnya jika Mingyu sudah bertingkah seperti bayi.

"Baiklah, baiklah. Jadi apa yang diinginkan bayi besarku ini?" Tangan ramping Wonwoo melingkari leher Mingyu, memberi satu dua kecupan di bibir tebal itu.

"Bercumbu sepanjang hari!" Dengan cepat Mingyu menjawabnya dan membawa kecupan itu menjadi sebuah ciuman lembut yang lama-kelamaan semakin dalam dan menuntut.

"Bersamamu, aku tidak pernah menyesal memilih jalan yang terjal." Wonwoo berkata disela-sela ciuman mereka.

"Terima kasih sudah bersabar, Wonie." Mingyu mengangkat Wonwoo dalam sebuah gendongan koala. Kaki ramping itu seakan telah mengerti apa yang harus dilakukan, maka dengan cepat ia melingkar di pinggang kekar milik Mingyu.

Tanpa melepaskan tautannya, mereka meninggalkan dapur kecil itu menuju kamar tidur yang telah mereka tempati selama satu tahun belakangan ini. Sebuah ranjang yang menjadi saksi bisu bagaimana cinta dan dosa bergelut satu sama lain. Dinding yang diam ketika lenguh dan geram saling bersahutan di antara mereka. Kehidupan ini yang mereka impikan, di mana hanya ada mereka berdua tanpa intervensi siapa-siapa. Ketika jantung selalu tahu untuk siapa ia berdetak lebih cepat. Pagi ini kembali berulang, dengan napas terengah-engah mereka menyatukan diri. Meruntuhkan semua dinding tak kasat mata yang menyekat mereka. Melebur menjadi satu kesatuan yang utuh, Mingyu menggeram di atas Wonwoo yang melenguh. Mereka bahagia dan itu sungguh sangat cukup. Karena satu langkah mereka keluar dari flat sederhana ini, maka saat itu juga kehidupan mereka kembali berubah seratus delapan puluh derajat.

"Sekali lagi ..." Mingyu kembali membelai punggung polos Wonwoo dengan bibirnya.

"Jam berapa kita akan pulang?" Wonwoo menjawabnya dengan suara lemah.

"Sebentar lagi, sayang ..."

"Mingyu ..."

"Ya?"

"Aku mencintaimu. Sangat-sangat mencintaimu."

Mingyu tersenyum dengan linangan bening di matanya yang tajam. Melihat wajah Wonwoo yang begitu bahagia saat mengutarakan sebuah pernyataan cinta adalah impian Mingyu sejak lama. Setelah selama ini cinta mereka hanya terpendam dalam hati atau dalam sebuah ciuman diam-diam di dalam salah satu kamar mereka saat Ayah dan Ibu sudah lelap tertidur. Kini semua itu bisa menguar dengan bebas ke udara. Mereka bebas berjalan bergandengan tangan di ramainya malam kota Seoul. Pergi ke kedai kopi dan saling menyuapi cookies manis. Mingyu mengecup kening Wonwooㅡlama sekali, hingga jarum detik pada jam dinding yang berdetak merasa malu sendiri melihat romansa yang tercipta di antara mereka.

"Aku juga mencintaimu, sangat mencintaimu. Melebihi cintaku pada diri sendiri." Ibu jari Mingyu terulur untuk menghapus air mata bahagia yang meleleh di atas pipi putih kekasihnya yang tirus.

"Terima kasih untuk tidak menyerah, Mingyu. Terima kasih ..."

"Ssst ... Sudah, jangan banyak bicara." Mingyu kembali membungkam Wonwoo dengan ciumannya yang lembut. Menjadikan Wonwoo makhluk paling bahagia di muka bumi yang diselimuti oleh lembaran-lembaran cinta milik Mingyu.

Suara Mingyu masih saja terdengar sejuk di indera pendengarannya serupa kopi dingin yang selalu disesapnya setiap pagi, dengan manis sederhana yang tak membuat lidah terasa kebas. Perjalanan terjal dan berliku nyatanya tak cukup mengenyahkan perasaan di antara mereka. Karena pada hakikatnya, cinta selalu dapat menguatkan meski rasa sakit menghunjam bertubi-tubi. Pagi itu mereka tutup dengan tubuh kembali saling memeluk, mencoba menguatkan sebelum mereka harus kembali ditampar oleh sebuah kenyataan berwujud keluarga kecil yang menunggu di rumah mereka masing-masing.

~~~

To be continued

P.S

Full of Meanie ya dear. Maafkan aku yang selalu membuat warning-scene dengan gaya implisit. Karena aku nggak bisa nulis secara eksplisit hehe.

Sebentar lagi kisah sepasang saudara kembar ini selesai.

Selamat membuka kotak Pandora! 💕🍃

Ursa Major [Meanie] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang