Bagian Empat Belas

315 45 16
                                    

Happy Reading
Thank you

________________🖤🖤________________

Rio

Jarang-jarang sekali gue mendengar seorang perempuan. Lebih tepatnya manusia di sebelah gue. Hendak take off, alias critical eleven.

Dia melantunkan doa di pagi hari yang disarankan untuk dibaca. Boleh nggak kalau gue nambah suka dengan cewek ini. Mau tak mau, refleks gue mengikutinya dan membaca ayat serta artinya secara bersama-sama. Manis banget menurut gue.

Yah kan? Iya in. Harus.

Awalnya gue nggak ada niat untuk membayarkan hotel sekaligus membantunya. Sampai gue minta tolong si Hiko.

"Gila ya lo emang naksir sama dia!" Hiko mengejek gue habis-habisan.

"Hati-hati aja kalo sampe regret Yo."

"Ya udah. Pasrah gue soal itu."

Rela mengeluarkan uang untuk membayari hotelnya. Pihak hotel yah kalau soal bayar-membayar gue rasa sih, akan menerima dengan tangan terbuka tanpa bantahan aneh-aneh.

Yuki ingin membayar uang gue. Nggaklah! Gue ikhlas.

Ponselnya yang berada di tangan gue. Masih gue jelajahi lebih dalam. Iya gue tahu dia juga kenal dengan mentor gue.

Intinya dia punya jawaban atas pertanyaan mendasar manusia: "Untuk apa aku diciptakan?"

Daripada pusing akhirnya gue minta aja dia jadi teman dekat secara paksa. Tentunya dengan unsur kesengajaan. Ha ha.

Gue sedang khusyuknya berdoa. Telinga gue mendengar gumaman pelan dari kanan.

"Ganteng banget ya Allah."

Setelahnya gue menyapukan wajah dengan telapak tangan. Tanda doa gue usai.

Terpikirkan suara barusan.

Telinga kanan gue mendengar dengan jelas kalimatnya walaupun suaranya pelan. Ini beneran yang bergumam tadi adalah Yuki? Iya suara siapa lagi? Jelas-jelas Yuki ada di sisi kanan gue.

Memberanikan diri menoleh ke cewek di samping gue, oh. Refleks gue mengambil tisu di meja dan membersihkan air mata yang mendadak meluncur dari pelupuk kanan.

"Kenapa?" tanya gue spontan dengan pelan. Menatap matanya.

Deg.

Gue baru menurunkan tangan. Apa-apaan gue barusan? Hm....

Mendadak canggung. Jantung gue sedang memompakan darah secara brutal. Asoy... Gue deg-degan.

"Enggak ada Mas," jawab Yuki lantang mengalihkan pandangannya."Thanks."

Hah masa?

Tapi, gue berusaha untuk mengontrol ekspresi dengan tersenyum. Sudahlah Rio. Jangan memaksa. Kenapa otak ini kepikiran tentang Yuki. Ada yang ganjil, kenapa dia nangis yang notabenya sedang menghadap gue pula.

Hm. Heran gue.

Yah gue akui heran dengan perempuan. Emosi ada yang panas ada yang dingin. Sepertinya Yuki cenderung tipe emosi dingin.

Apalagi dia aktris. Gue sadar sih, sangat sensitif. Dalam hitungan detik bisa menangis. Dalam hitungan detik bisa marah. Pokonya bisa mengatur emosi dan ekspresi.

"Beneran, Ki?" tanya gue lagi ketika sudah agak tenang. Ya Allah... Gue speechless banget sama reaksi tubuh gue pakai acara memompakan darah gila-gilaan.

Kamu yang Ku TungguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang