Part 15

2.5K 102 4
                                    

Warning! Part ini berisi cerita masa lalu Ry. Kalau tak suka silakan skip saja wkwk.


Aku berangkat ke kantor lebih siang dari biasanya karena sedang malas saja. Renata tidak suka aku melihatnya atau hanya sekedar berbicara singkat padanya, terlihat jelas dari raut wajahnya ketika berhadapan denganku. Sebagai seorang lelaki aku sendiri merasa kesal pada sikapnya, kekanakannya, dan yang paling parah sikap ngambekan yang tak bisa ia rubah itu. Tiba-tiba marah tak jelas tanpa kutahu alasannya dan tiap kali aku bertanya ia selalu mengeluarkan kata pamungkasnya “ya”, “tidak”, “terserah”, “gak tau”. Siapa lagi kalau bukan wanita itu? Iya, Andrea Renata.

Ketika berada di meja makan pagi tadi entah mengapa aku bisa menceritakan masalahku dengan wanita itu pada Bi Inah, pelayan di rumahku. Bi Inah sudah bertahun-tahun menjadi pelayan di rumah ini. Sebelum menjadi pengasuhku saat kecil dulu ia telah lama ikut dengan ibu sewaktu masih gadis saat ayah belum mempersuntingnya. Kesetiaannya pada keluarga kami sampai ia rela tak digaji saat perekonomian keluarga kami sedang buruk.

Kala itu aku masih sangat kecil kira-kira masih di bangku SD tepatnya kelas berapa aku sudah lupa. Krisis moneter melanda negeri ini, bisnis ayah jatuh terpuruk sehingga kami yang terbiasa hidup berkecukupan terpaksa memulai dari nol kembali. Ibu mengajari anak-anaknya, aku dan kakak perempuanku untuk bisa hidup mandiri tidak hanya mengandalkan kekayaan orang tua saja. Kami dididik terbiasa hidup susah mulai saat itu. Aku marah dengan keadaan mengapa semua berubah begitu cepatnya. Siang hari biasanya kami menghabiskan waktu untuk bermain atau tidur siang kini berubah dengan pelajaran kehidupan. Apa itu? Ibu yang pandai memasak mewarisi sifat nenekku menggunakan kecakapannya untuk sedikit membantu keberlangsungan hidup keluarga ini. Karena tidak ada tenaga yang cukup, hanya ibu dengan bantuan bi Inah, mereka memasak dengan resep warisan turun temurun dari keluarga ibu.

Kemudian tugasku dan kakak yaitu membantu mempersiapkan, packing, mencuci perkakas, hingga berjualan berkeliling kampung menjajakan barang dagangan ibu. Tak jarang olahan ayam yang kami buat masih tersisa cukup banyak. Ibu sedih, tapi ia menyembunyikan kesedihannya dibalik senyumnya kemudian ia berkata. “Tak apa kita bisa menggunakannya sebagai menu makan malam hari ini.”

Rumah kami sudah pindah sejak bisnis ayah bangkrut. Kami menetap di sebuah rumah kecil di tengah perkampungan padat penduduk. Seratus delapan puluh derajad dari kehidupan kami sebelumnya. Jadi aku hanya bisa tertawa saja bila mendengar perkataan orang yang tak mengetahui sejarah keluarga kami dan hanya bisa menjudge seenaknya. Aku, Ryshaka Bagaskara juga pernah menjalani kehidupan yang pahit bukan dari titik nol lagi bahkan sampai minus.

Masih kuingat malam itu hujan rintik-rintik rumah kecil kami dengan atap yang bolong di sana-sini membuat kami menjadi seniman dengan memasang ember dan baskom di mana air menetes. Kami kelaparan, tak ada lauk nasipun juga seadanya sisa dari nasi kemarin yang sudah ibu panaskan kembali. Ibu menerjang ribuan rintik hujan saat memasuki pekarangan rumah. Handuk di kepalanya seakan percuma karena hujan turun dengan derasnya sehingga angin menerpa rintik air dari arah manapun.

Ibu tersenyum menangkat plastik di tangan kirinya berisi telur asin dua buah dan di tangan kanannya ada beberapa lembar karak. Jika tak mengetahuinya silahkan buka google karena saat ini teknologi sudah maju. Aku malas mendeskripsikan pada kalian, ya pokoknya itulah. Pipinya basah entah basah karena air hujan atau air mata. Aku mengintip ibu dari kamar, rumah kami hanya memiliki dua kamar satu dengan tempat tidur besar untuk keluarga kami dan yang satu ada ruangan kecil digunakan untuk bi Inah. Tempat tidur kami berhubungan langsung dengan dapur bersekat papan triplek, di ujung ada sebuah lubang kecil aku dapat mengintip ke dapur dari sana.

Kulihat ibu membagi tiga sebuah butir telur asin kemudian dibaginya pada tiga piring yang sudah ia beri nasi. Satu telur asin utuh dengan porsi paling banyak ia berikan yang sudah pasti untuk ayah kami. Sisanya satu piring dengan nasi paling sedikit ibu taburkan butiran putih ke atasnya, aku menebaknya garam. Diambilnya selembar karak kemudian ia letakkan di atasnya. Aku hampir meneteskan air mata saat melihatnya, segera aku menahannya dan bergegas keluar dari kamar saat ibu membawa piring ke depan, kami tak memiliki ruang tamu.

Your Heart is Frozen OverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang