18 : Pacar Pengertian

3.9K 426 4
                                    

Kamu akan menyesal jika kamu sudah kehilangannya.

Elvanda Jason Gravio.

Sudah hampir setengah hari Kak Jason mengurung dirinya dikamar. Sepulang dari restorant tadi, Kak Jason memang terlihat murung. Entah apa yang terjadi sebelumnya. Akupun tidak tau.

Yang aku tahu. Kak Jason ke restorant menemui Kak Alice. Katanya dia ingin menjelaskan semuanya kepada Kak Alice. Tapi, bukannya pulang dengan wajah gembira malah pulang dengan keadaan seperti itu.

Aku mulai khawatir dengan keadaan Kak Jason. Pasalnya setelah pulang tadi dia belum makan ataupun minum sama sekali.

Aku memberanikan diriku untuk membuka pintu kamar Kak Jason. Beruntunglah pintu kamarnya tidak dikunci. Saat aku memasuki kamar Kak Jason. Aku melihatnya duduk disofa dekat jendela. Matanya menatap kosong keluar jendela.

Aku menghampirinya. Mendudukkan diriku disebelahnya.

"Kak Jason kenapa ?" Aku menyentuh tangan kanannya. Kak Jason hanya menggeleng.

"Kalo ada apa-apa cerita sama Jeslyn. Kak Jason udah janji nggak akan sembunyiin apapun dari Jeslyn."

Kak Jason masih diam tak membalas ucapanku. Kini tatapannya berubah menjadi datar. Keadaan seperti ini yang aku takutkan.

"Kak.." ucapku lirih.

"Kakak gagal.. semuanya berakhir." Akhirnya Kak Jason membuka suara.

Tapi aku masih belum mengerti apa yang dia maksud. Gagal dan berakhir, apakah ini ada hubungannya dengan Kak Alice.

"Seb--" Perkataanku terpotong saat aku melihat Kak Jason menitihkan air mata. Aku kembali menggenggam tangannya. Kuusap perlahan untuk menenangkannya.

"Alice akan menikah." Mataku membelalak kaget mendengar itu. Menikah. Apakah itu mungkin. Aku tau hubungan mereka memang cukup rumit. Tapi aku tahu betul jika Kak Alice sangat mencintai Kak Jason. Bagaimana bisa dia menikahi laki-laki lain.

"Maafin Kakak karena tidak bisa menepati janji Kakak ke kamu. Maaf karena tidak bisa menjadikan Alice sebagai kakak iparmu. Dan--" Aku menunggu Kak Jason melanjutkan perkataannya.

"Mungkin kamu tidak akan memiliki Kakak ipar." Lanjutnya.

"KAK." ucapku sedikit berteriak.

Aku mengusap wajah ku kasar. Apa yang dikatakan Kak Jason sangatlah tidak masuk akal. Perkataannya itu menunjukkan dia tidak akan menikah. Oh God. Bagaimana aku bisa aku melihat Kakakku seperti ini. Sudah cukup selama ini dia menderita dengan kondisi keluarga kami.

"Lupain perkataan Jeslyn waktu itu. Jeslyn cuma bercanda. Jeslyn nggak masalah kok kalau Kak Jason menikah dengan wanita lain."

"Tidak Jeslyn. Kak Jason hanya mencintai Alice. Kakak tidak bisa menikah dengan wanita lain. Dia orang pertama yang membuat Kakak jatuh cinta. Bagaimana bisa Kakak menikah dengan wanita lain sedangkan cinta Alice selalu bersama Kakak." Kak Jason kembali menitihkan air matanya. Kini air matanya telah membanjiri permukaan wajahnya. Sampai isakan yang keluar dari mulutnya terdengar.

"Kakak emang brengsek. Seharusnya Kakak tidak memperlakukan Alice perperti itu. Bodoh! Argh.." Kak Jason melempar vas bunga yang ada dimeja sebelahnya ke lantai hingga pecah.

Untuk pertama kalinya aku melihat kak Jason seperti ini. Aku tak tahan melihatnya. Melihat Kak Jason seperti ini membuat hatiku tersayat. Air mataku hampir tumpah, tapi aku menahannya. Aku tidak ingin menangis dihadapannya.

"Kakak sekarang istirahat ya." Ucapku sebelum pergi meninggalkannya. Aku menutup pintu kamarnya. Aku ingin melangkahkan kakiku. Sayangnya tidak bisa. Tubuhku merosot didepan kamar Kak Jason. Kini tubuhku bersandar pada dinding luar kamarnya. Tangisku pun pecah ketika aku mendengar isak tangis Kak Jason semakin keras. Aku juga mendengar suara berisik didalam sana. Yang aku yakini, Kak Jason telah menghancurkan barang-barang dikamarnya.

***

Sebelum berangkat ke kampur aku mengecek keadaan Kak Jason. Ternyata dia masih terlelap. Aku menaruh beberapa makanan dan minuman dikamarnya. Semoga saja Kak Jason mau mencicipinya. Aku juga sudah membereskan barang-barang yang semalam dia hancurkan.

"Kak, Jeslyn berangkat kuliah dulu ya." Aku mengecup pipinya singkat. Syukurlah Kak Jason tidak terganggu dengan keberadaanku.

Setelah itu aku menghampiri Kennant yang sudah menungguku didepan. Selama perjalanan aku tidak berbicara sepatah katapun. Padahal biasanya aku mengoceh panjang meskipun Kennant hanya menanggapi dengan senyuman. Otakku masih terfikirkan dengan Kak Jason.

Aku terkejut ketika Kennant memberhentikan mobilnya secara tiba-tiba.

"Kenapa ?" Tanyaku heran.

"Seharusnya aku yang tanya kamu kenapa dari tadi diem aja." Aku hanya menggeleng lemah.

"Jangan bohong."

Aku menghembuskan nafasku kasar. "Aku lagi mikirin Kak Jason. Orang yang dia cintai akan menikah. Kak Jason kelihatan stres banget."

"Kalau gitu kamu nggak boleh ikutan sedih. Kalau kamu sedih terus siapa nanti yang akan menguatkan Kakak kamu."

Aku tersenyum simpul. Benar juga yang dikatakan Kennant. Aku harus bisa menguatkan Kak Jason. Bukan malah ikut larut dalam kesedihan.

"Gimana nanti kalau pulang kuliah kita jalan-jalan. Kemanapun yang kamu mau. Pokoknya kamu nggak sedih lagi."

"Maaf Ken aku nggak bisa. Pulang kuliah nanti aku ada janji sama Kania mau belanja gitu." Kennant-pun mengangguk.

Saat aku mengingat rencana belanjaku dengan Kania. Tiba-tiba aku teringat satu hal lain. Aku menepuk dahiku ketika mengingatnya.

"Kenapa ?"

"Semua credit card aku itu aku titipin ke Papa. Dan sekarang Papa lagi ada diluar kota. Kenapa aku bisa lupa minta sih." Aku memukul pelan kepalaku.

Kennant mengeluarkan dompetnya. Diambilah salah satu credit card didompetnya. Kennant menyodorkan credit card itu kepadaku.

"Nggak usah Ken. Aku bisa cancel kok rencana belanjaku sama Kania."

Kennant meraih tanganku. Memaksaku untuk menerima credit cardnya.

"Pakek aja."

"Aku nggak bisa Ken. Aku nggak bisa belanja pakai uang kamu."

"Kamu pacar aku. Wajar kalau aku belanjain kamu. Selama ini juga kamu nggak pernah minta apa-apa sama aku. Kamu terima ya." Kennant kembali menyodorkan credit card nya.

Mau tidak mau aku menerimanya. Tidak enak juga menolak tawaran Kennant. Apalagi ekspresinya sekarang membuatku tidak tega.

Setelah menerima credit card itu aku mengamati credit cardnya. Sepertinya ini berbeda.

Oh God, ini gila. Kennant memberikanku BLACK CARD. Sungguh tidak bisa dipercaya. Bagaimana bisa Kennant memberiku itu.

"Ken ini kan.."

"Kalau kamu mau ambil aja. Kamu bisa pakai itu kapan aja." Aku langsung melotot kearahnya. Apakah pria ini gila. Bagaimana dengan gampangnya memberikan black card kepada wanita yang baru saja menjadi pacarnya.

Tbc

I Can Hear Your VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang