Bagian 5

442 23 0
                                    

Mas Dodi lebih terkejut lagi melihat kedatangan Eni yang tiba-tiba. Dia langsung berdiri tegak seperti patung.

"Silahkan duduk Mbak," ucapku dengan wajah bingung.

"Tidak perlu, sudah jelas sekarang mengapa kamu sulit dihubungi Mas, ternyata kamu malah berduaan," kata Eni dengan wajah kesal.

Aku mencoba mengalihkan perhatiannya dengan menunjuk ke arah Mas Udin tapi Eni malah tambah meracau tidak karuan . Aku jadi tak enak hati.

"Maaf saya ke dalam dulu ya."

Aku berdiri dan mau melangkah tapi Mas Dodi spontan memegang tanganku.

"Kamu tetap di sini saja Bi," aku melihatnya dan menarik tanganku.

"Oh ... maaf. Dengar En...aku memang sedang mengerjakan skripsiku, Bintang sedang membantu karena jam satu siang ini  harus segera mengirimnya via email dan kami tidak seperti yang kamu tuduhkan itu," jelas Mas Dodi.

"Ok...kalau sekarang mengerjakan skripsi, terus kemaren jalan bareng naik mobil mengerjakan skripsi juga?" tanyanya serius.

Ya...Robb, jadi runyam begini. Kok Eni tahu ya? Apa yang aku takutkan kejadian dech. Padahal aku tidak satu kampus dengan dia.

"Ngaku sajalah kalau kalian memang sudah pacaran? Kamu, Bintang, pakai jilbab besar tapi ngrebut pacar orang. Kalau bicara saja sok suci tidak mau pacaranlah, berduaanlah, nyatanya malah dilanggar semua. Malu  sama jilbab panjangnya," cecar Eni.

Aku tidak menyangka dapet serangan seperti itu, bawa- bawa atribut lagi. Tidak tahan dengan ucapannya sekarang, mataku mulai memanas, air mata sudah tak bisa dibendung lagi.

"Eni...kamu keterlaluan ya...kalau kami memang pacaran kamu mau apa?" sahut Mas Dodi tak kalah serius.

Aku jadi melongo, kenapa Mas Dodi jadi ngelantur begitu? Jangan GR Bi...dia hanya menggertak pacarnya.

"Ya...aku minta putuslah," kata Eni pelan.

"Baik kita putus sekarang!"

"Tu...kan begitu mudahnya kamu bilang putus. Bahkan kamu tidak menyesal mengatakannya."

Sekarang bukan aku saja, Eni pun mulai mengeluarkan senjata wanitanya yaitu air mata.

"Tadi minta putus giliran diputus beneran  malah nangis bagaimana sih? Dasar wanita," Mas Dodi duduk sambil mengusap mukanya dan geleng- geleng kepala.

"Ok...kita putus. Permisi!"

Sambil mengusap air matanya Eni berlari keluar rumah, Mas Dodi tidak mengejarnya. Mas Udin yang menyaksikan dari awal sampai akhir sempet menghentikan ngecatnya. Ketika aku menatapnya, Mas Udin baru sadar dan meneruskan kerjanya lagi. Aku duduk sambil mengusap sisa air mata.

"Maaf ya Bi...kamu jadi kena omelan Eni."

Dia bicara setelah menghabiskan kopinya. Kemudan melanjutkan kata-katanya. "Kamu tahu tidak...."

"Tidak....."

Aku langsung memotongnya dan membuatnya kembali tersenyum aneh.

"Kamu tu, ya, bener-bener...."

"Bener apanya hayo?"

Aku sengaja jahil untuk mencairkan suasana. Sebenarnya aku tersinggung juga dengan kata-kata Eni tapi ya kenyataannya begitu. Aku sedang dekat dengan Mas Dodi saat ini. Aku banyak ngobrol sama dia tidak seperti biasanya. Mungkin karena sekarang setiap hari di rumah. Jika dulu dia hanya pulang Sabtu sore Minggu sore sjdah pergi lagi. Ketemu hanya sekilas saja kalau kebetulan. Dia menghabiskan waktunya di toko atau keluar entah sama Eni atau teman lainnya.

"Aku mau curhat ni, mau dengerin nggak ? biar sekalian plong...Senin kalau aku sidang sudah tak ada beban. Itu juga kalau di acc sih."

"Kalau Mas Dodi percaya sama saya, monggo," kataku lirih

Dia menceritakan kisahnya kenapa sampai pacaran dengan Eni dan kebeteannya karena selama pacaran dia hanya jadi tukang tunggu dan tukang anter. Katanya sudah lama pengen terbebas dari Eni tapi tak ada alasan yang pas.

"Bagus hari ini dia yang minta putus jadi aku legaaaaa.... buanget," ucapnya dengan senyum mengembang.

Dia bener-bener lepas bicara begitu, aneh juga sih kisah pacarannya.

"Jadi beneran putus?"

"Ya...iya, lah masak aku main-main. Maaf...ya, yang tadi itu spontan. Aku tidak mau kamu pergi dari sini."

Aku jadi malu begini sih, Aku juga nggak tahu harus ngomong apa lagi kenyataannya beberapa hari ini aku banyak berdua sama Mas Dodi. Sejak peristiwa adik malam itu, aku pikir setelah berbaikan sama Adik akan beres urusan tapi malah panjang begini.

"Bi,"

"Hem,"jawabku. Tangan dan mataku masih fokus di laptop.

"Maafin Aku,"

"Iya. Sudah selesai ni Mas Dodi skripsinya sampai akhir, maaf kalau ada yang terlewat. Aku siapin makan siang dulu ya Mas, kasihan Mas Udin sudah kerja dari tadi pasti sudah laper lagi.

"Segampang itu kamu memaafkan?"

"Jika busa gampang kenapa harus mempersulit?"

"Seringan itu kamu memaknainya,"

"Haditsnya sudah jelas, Mas. Barang siapa memudahkan urusan saudaranya di dunia maka akan dipermudah juga urusannya di akhirat kelak,"

"Karena itu kamu ringan tangan dan suka menolong?" tanyanya. Aku jadi heran kenapa dia bicara begitu?

"Kenapa bilang gitu, Mas?"

"Aku suka lihat...eh sudahlah. Perutku kok bunyi, ya? O...iya aku belum sarapan. Pantesan. cacing-cacing pada teriak. Aku juga mau makan dong. Mas ...Udin makan yuk," celotehnya, cenderung lucu menurutku.

Dia berdiri dengan memutar tangan di perutnya. Ternyata seorang Dodi bisa seperti ini, aku fikir dia selalu serius tanpa canda. Terus berdasarkan apa dia bilang 'aku ringan tangan'. Astaghfirullah kenapa aku jadi senang begini ya? Apa Mas Dodi memperhatikan aku?

"Laper, Neng...katanya mau nyiapin makan tapi malah bengong," ucapnya dengan melambaikan tangan di mukaku. Bintang-Buntang ingat ya, Dodi sama saja dengan majikanmu jangan terlalu dekat. Dia bikan muhrimmu jadi harus ada batasan. Jangan bahagia dengan perlakuan yang belum jelas jatuhnya berprasangka.

Aku menyiapkan makan siang untuk mereka lalu meninggalkannya. Rasanya lelah sekali hati ini. Aku istirahat di kamarku. Mas Dodi tidak berani protes ketika aku meninggalkannya bersama Mas Udin. Dia hanya mengangguk.


Romansa BintangWhere stories live. Discover now