Bagian 7

373 22 0
                                    

Ibu mengajak sholat zuhur berjama'ah di kamarku, aku jadi deg-degan. Selepas zuhur ibu tidak langsung pergi, Ibu langsung membalikkan badannya menatpku.

"Mbak...apa yang sudah kamu lakukan untuk Mas Dodi sehingga dia sangat berubah?"

"Maksudnya apa Ibu? Maaf kalau saya salah."

Ibu tersenyum menatapku, memegang daguku dan mengangkatnya agar aku tidak tertunduk.

"Kamu tidak salah Mbak, sesuai dengan namamu kamu bagaikan bintang di atas sana yang menerangi bumi tanpa lelah. Sejak kecil Ibu mengenalmu, memperhatikan dan suka berandai-andai. Andai Ibu punya anak perempuan, pengennya seperti Mbak Bintang, Ibu selalu berdo'a agar punya anak sepertimu, rajin sekolah, membantu orang tua dan pandai bergaul. Sampai waktunya tiba , bapak kamu tanpa sengaja cerita pada Ibu tentang kuliahmu. Akhirnya kamu menjadi bagian dari keluarga Ibu," kata ibu. Dia berhenti sejenak tersenyum penuh rona bahagia.

"Awalnya Ibu juga beranggapan tak ada jarak diantara kita, kamu sudah Ibu anggap sebagai anak dan kamu pun memposisikan yang sama. Kamu selalu membantu Ibu lebih dari sekedar anak. Sampai suatu waktu Mas Dodi cerita betapa susahnya dia bicara sama kamu. Tadinya Ibu jawab santai saja 'tinggal bicara kok susah' tapi saat Mas Dodi bilang kamu bukan muhrimnya, akhirnya Ibu tahu ada jarak yang tak bisa dilanggar,"

"Tapi saya tidak bermaksud membuat jarak, Bu," kataku pelan.

"Dengarkan Ibu sampai selesai ya, Sayang. Ibu mau jarak itu tak ada lagi dan kami sudah membicarakan ."

Ibu berhenti lagi, dia menatapku dengan senyumnya yang teduh seperti suasana villa siang ini. Aku tak berani menyelanya lagi.Tapi malah membuatku semakin tegang.

"Ibu melamarmu untuk Mas Dodi, Nak. Apa kamu bersedia?"

Spontan kutatap ibu, tak pernah membayangkan hal ini, mengharap saja aku tak berani karena dibiayai kuliah menurutku sudah terlalu berlebih bagiku, kini ibu mau menjadikakku menantunya.

"Bagaimana Mbak...bersediakah?"

"Alasan apa yang bisa membuat saya menolak Ibu, ini anugrah yang luar biasa tapi apa yang membuat Ibu melamarku untuk Mas Dodi dan bagaimana dengan Mas Dodi sendiri?"

"Mas Dodi yang memintanya Nak, setiap saat Mas Dodi selalu cerita kepada Ibu bahkan sebelum kejadian Eni, Mas Dodi juga banyak belajar tentang agama setelah banyak mengenalmu. Dia meminta restu bapak dan Ibu tadi malam dan meminta Ibu untuk melamarmu. Dia tidak mau pakai cara yang salah untuk membina rumah tangga," jelas Ibu.

Ibu bercerita panjang lebar mengenai perubahan sikap Mas Dodi, aku hanya belum percaya seratus persen.

Pintu kamar terbuka, Mas Dodi yang berdiri di sana, ibu memberinya isyarat untuk mendekat. Mas Dodi langsung merangkul ibu duduk menghadapku. Dia menatapku dengan senyumnya yang aneh tanpa bicara.

"Mbak...anak lelaki Ibu ini sudah tidak sabar rupanya. Padahal tadi kita sudah janjian kalau Ibu keluar masih menggunaan mukena berarti sukses. Tapi Ibu belum keluar dia sudah di sini."

Lucu juga ya, kesepakatan ibu dan anak ini, aku jadi makin tersanjung.

"Jadi...Ibu buka mukena apa tidak, ni?" Godanya,  aku yakin dia juga tegang tapi dibawa becanda.

Ibu kembali menatapku dan memintaku untuk menjawab sekali lagi di depan Mas Dodi. Aku menatap Ibu dan Mas Dodi.

"Saya ...tidak bisa menolak lamaran ibu,  untuk menjadi istrimu, Mas."

Dia langsung sujud syukur, ibu memelukku erat sekali dan berterima kasih padaku.

"Mbak ada satu lagi permintaannya?"

"Apa Ibu?"

"Masmu pengin pada saat sidang kamu sudah menjadi istrinya?"

"Sidangnya, kan hari Senin Ibu...."

"Nikahnya besok pagi ya...?" dia langsung menyamber saja pertanyaanku.

"Bi...kita menikah secara agama dulu kalau kamu setuju, nanti ada yang mengantar bapak dan Ibu kamu ke sini. Sebenarnya semalam habis magrib aku dan Papa kerumahmu untuk menyampaikan hal ini. Orang tuamu tergantung jawabanmu. Kita sudah berbagi tugas. Maaf ya kamu tidak dilibatkan dulu soalnya biar surprise."

Jadi malam itu bapak dan Mas Dodi ke rumah? Kenapa bawa motor? Apa bapak tidak mau dilihat tetangga karena biasanya akan heboh jika ada tamu bermobil. Maklum sajalah tinggal di kampung.

"Emang yakin diterima?" tanyaku kemudian.

"Buktinya, " jawabnya.

Kami bertiga tersenyum bahagia, aku tidak menyangka masa gadisku akan berakhir besok.

"Aku sudah menghubungi bapak, siap meluncur. Dan ...Nuri juga sudah aku hubungi.."

"Nuri....?"

"Ya...Nuri sahabatmu, dia aku minta datang sekaligus membawakan pakaian untuk kita besok. Dia tahukan bagaimana selera dan langganan kamu beli baju? Semoga ada baju yg cocok untuk pernikahan."

"Mas...sudah sejauh itu dan aku tidak tahu, Ibu...?"

"Ibu tahu semuanya Nak...Mas mu selalu cerita ke Ibu sekarang Ibu persiapkan semuanya ya? kamu hanya siapkan mental untuk besok pagi, dan mulai detik ini juga kalian dipingit, tidak boleh ketemu dan tidak boleh keluar kamar.

Kami berdua menatap Ibu bersamaan,

"dipingit???" Mas Dodi berkata lirih.



next

Romansa BintangWhere stories live. Discover now