Bagian 17

311 20 0
                                    

Maaf masih banyak typo.Terima kasih ya sudah mau baca, tulisanku.

Terakhir aku ke dapur, dan suara itu membuatku bergegas. Ternyata benar Mas Dodi di sana, alhamdulillah. Aku nggak kepikiran di dapur karena selama ini aku selalu masak untuknya. Jika dia di dapur aku hanya minta untuk menemani ngobrol saja.

"Maaf Mas, aku ketiduran, laper ya?" tanyaku.

Aku lupa kalau belum masak tadi pagi karena menyiapkan skripsi. Kami hanya sarapan roti.

"Nggak papa, Dedek pasti juga laper kan? Papa dah masak sayur sop ayam ni, Mama duduk di meja makan saja ya, tinggal Papa ambilin kok." ucapnya sambil mengelus perut yang masih rata.

Aku menatap matanya, senyumnya kembali merekah walau aku tahu ada yang ditutupi. Aku jadi bengong antara bingung dan merasa bersalah.

"Eh...kok malah bengong? Duduk ya," lanjutnya.

Dia menuntunku menuju meja makan dan mengisyaratkan tangannya supaya aku duduk dan diam saja. Aku lihat dia mengambil mangkok dan piring walapun agak bingung, karena selama ini aku selalu menyiapkan semuanya, secapek apa diriku.

Semangkok sayur dan sepiring nasi diletakkan hadapanku. Mas Dodi menarik kursi lebih dekat setelah itu dia mengambil nasi untuk dirinya sendiri.

"Mau disuapin? Kok didiemin saja?" tanyanya. Aku memang diam.karena merasa aneh dengan sikapnya. Melayani tapi dengan menyimpan kegundahan.

"Nggakak usah Mas," sahutku setelah dia menyodorkan sendok ke mulutku.

Tapi aku tak bisa mencegah dan menolaknya. Dengan senyum datarnya dia terus menyuapi. Enak sekali masakannya.

"Kenapa? Nggak enak ya?"

"Enak banget, Mas, masakan aku kalah ni."

"Kenapa merem-melek dan galau gitu?"

"Karena terlalu enak dan...ada yang aneh sama, Mas?" ucapku. Tak tahan juga diperlakukan begitu. Dia hanya tersenyum. Setelah itu kami makan dalam diam. Aku berusaha menetralkan dengan menyuapinya ganti tapi ditolak. "Kenapa sih, Mas apa salahku?" lanjutku.

"Sebentar lagi magrib, sebaiknya mandi dulu kasihan dedeknya kalau terlalu sore, mamanya juga sih. Nanti Papa repot."

Dia berjalan mendekatiku, kembali mengelus perutku dan pergi. Aku membereskan meja dan mencuci piring. Ketika aku membalikkan badan dia sudah ada di depanku.

"Mas ke masjid dulu, mungkin sampai isak, hati-hati Sayang,ajak belajar dedeknya." ucapnya dengan mengulurkan tangan. Aku meraih dan mencium takjub punggung tangan itu.

Dia berlalu, aku jadi makin bingung, kata-katanya manis tapi tatapan dan senyumannya sungguh aneh.

Setelah Isak dan menyelesaikan bacaan Qur'anku, seperti biasa aku mengelus perut sambil bicara apa saja yang baik.

Aku menjawab salam dari luar rumah, pasti itu Mas Dodi. Aku berjalan ke depan membukakan pintu dan mencium tangannya. Dia tersenyum, tangan kanannya merangkul pundakku, tangan kirinya mengusap perut, lalu kami berjalan barengan duduk di kursi depan.

"Mas...boleh aku bertanya sesuatu?"

Dia meghentikan tangannya mengelus perut.

"Kalau tentang Hizam, nanti saja, ya? Mas lagi pengen konsentrasi tentang kita saja. Tidak mau ada orang lain walaupun hanya berupa cerita."

Aku menatapnya kecewa tapi harus menurutinya. Ngggak mau merusak suasana dan kebahagiaan kami saat ini. Aku beranggapan tak ada yang serius kalau dia tak mau membahasnya.

Romansa BintangWhere stories live. Discover now