Bagian 22

303 17 0
                                    

Terima kasih ya sudah mampir, silahkan like, vote dan komentarnya.

Bapak agak marah ketika aku dan Mas Dodi ke rumah menyerahkan sertifikat tanah yang sudah kami beli. Sebenarnya uangku belum cukup tapi tanah yang dulu dijual bapak untuk kuliahku dijual lagi. Tetangga. yang baik itu menghubungiku terlebih dahulu sebelum dijual ke yang lain.

Alhamdulullah,  Mas Dodi membayarnya dan meminta menyimpan tabunganku untuk keperluan lain. Aku tidak mau sebenarnya tapi dia berhasil merayuku setelah bilang jika rezekinya berlipat karena do"aku juga sebagai istrinya.

"Bapak sudah ikhlaskan tanah itu, Nduk. Membiayai kamu itu kewajiban Bapak sebagai orang tua."

"Pak, Bu, ini hadiah dari Dodi dan Bintang, semoga berkah dan bermanfaat," kata Mas Dodi.

Akhirnya bapak mau menerima, sangat jelas tergambar di wajah paruh baya ibu dan bapak, raut muka bahagia.

"Ya, sudah kalau begitu makan dulu, ibu masak garang asem. Kata Bintang, Nak Dodi  suka banget garang asem sampai dia kamu suruh masakin, padahal dia belum pernah masak."

"Lha ... kok ibu tahu, Dodi suka garang asem?"

"Bu dokter yang bilang, makanya waktu kamu telpon mau ke sini ibu cepet- cepet masak," ucap ibu.

Akhirnya kami makan bersama dengan bahagia. Aku dan Mas Dodi bergantian menanyakan kegiatan adik-adikku. Setelah itu menikmati malam di halaman rumah dengan menatap langit malam yang saat ini bertaburkan bintang dan bulan.

"Heum ... emang enak ya jadi mantu orang kaya. Gampang banget minta beli sesuatu. Tanah sudah buat sekolah minta ganti ke suaminya. Sebentar lagi pasti minta beliin mobil, tu ," ucapan pedas dari orang depan rumah.

Aku sudah mau membuka mulut tapi Mas Dodi mencegahku dengan mengeratkan pelukannya di pinggang. Matanya berkedip sebelah dan menggelengkan kepala.

"Saya senang kok, Bu, bisa beli tanah buat orangtua Bintang. Kalau mobil kami memang sudah membelinya, itu ... Ibu mau nyoba naik?" ucap suamiku dengan senyum mengembang.

Dengan gelengan kepala sang ibu melenggang masih dengan senyum sinis. Entah kenapa tetangga depan rumah yang satu ini sangat berbeda.

"Mas ... itu bukannya mobil dagangan?" tanyaku setelah sang ibu tak tampak.

"Iya sih ... hehe, tapi kalau dijual sayang. Bodi dan mesinnya masih bagus, Yang, kita beli saja ya? Hadiah buat kamu ...." ucapnya sambil mengerlingkan mata

"Sudah banyak hadiah dari kamu, Mas ...." sahutku.

"Yang ini special, karena mau ada Dodi yunior. Masak iya mau naik motor terus, boleh ya?"

"Uangnya ada? Kemaren sudah buat beli tanah," tanyaku serius.

"Mas ... sudah bilang, rezeki kita sedang bagus. Kita semua sehat, bengkel lancar penjualan motor dan mobil juga melebihi target," ucapnya antusias.

Bagaimana aku menolak? Semua hasil jerih payahnya, cuma satu yang buat mengganjal omongan tetangga. Aku mengangguk tanda setuju, wajahnya sangatlah bahagia. Itu yang aku suka dari kamu, Mas. Walaupun kamu punya uang sendiri beli apapun harus nunggu aku setuju dulu padahal aku tak pernah memintanya.

***

"Kemungkinan salah menghitung, insya Allah tidak akan lewat 42 minggu kok." Ibu menenangkan kami setelah memeriksa.

"Terus harus bagaimana, Ma?"

"Ada banyak pilihan, Mas?"

"Istrimu juga tahu, to."

"Mama saja yang sampaikan." ucapku sembari meminta bantuan Mas Dodi untuk kembali duduk.

"Kemungkinan pertama USG, jika air ketuban tinggal sedikit atau ada kondisi tertentu, ya harus dilakukan tindakan cesar. Kedua diberi obat perangsang dan di vacum. Ketiga menunggu sambil bersabar dan berdoa."

"Terus mana yang terbaik, Ma?"tanyanya khawatir.

"Bintang tentu lebih tahu mana yang terbaik untuk dia dan bayinya,"ibu berkata dengan senyum yang tulus sekali.

"Bintang pilih yang ketiga, Ma, Allah memberi sesuatu sudah dengan solusinya," kataku dengan menatap lembut mertuaku.

Ibu tersenyum dan meninggalkan kami di kamar pasient.

"Mas percayalah Allah akan kasih yang terbaik. Terkadang memang tidak sama dengan HPL, namanya juga hari perkiraan lahir berarti nggak selalu tepat."

"Kenapa bisa begitu?"

"Begini kalau seorang wanita hamil pasti yang ditanya haid terakhir. Kita juga tidak tahu yang berhasil menjadi janin itu dipembuahan yang keberapa. Busa dihari pertama masa subur atau di hari terakbirnya. Nah itu yang buat perkiraan maju atau mundur,"

" Oh begitu ya ... harusnya kalau habis gitu langsung dicek ya, Mam, langdung jadi janin apa nggaknya."

Aku tersenyum mendengar pernyataannya, kupukul bahunya pelan.Mana ingat sampai disitu, Mas. Yang ada lupa dan terlena.

"Kita pulang saja, ya tapi sebelumnya kita minta maaf dan do'a dengan kedua orang tua kita. Mungkin ada kesalahan  yang belum termaafkan tapi sebelumnya ....." Aku sengaja berhenti.

"Sebelumnya, apa?"

"Mas Dodi harus memaafkan, meridhoi dan mengikhlaskan Bintang, ya?"

"Maksudnya apa, Sayang? Kok jadi serem sih?"

"Maafkan semua keslaham dan kekhilafanku Mas, jangan sampai ada yang tertinggal dan ikhlaskan, ikhlas dan pasrah saja. Kita serahkan pada Allah agar diberi jalan terbaik dan ridhoi aku."

"Mas jadi sedih, Mas ikhlas dan ridho Sayang."

Mas Dodi memeluk dan mencium keningku dengan erat kemudian jongkok mencium perut yang gendut.

"Dek keluarlah ... sudah waktunya ya, jangan biarkan Mama kecapaian dan kesakitan lama," ucapnya parau.

Kami keluar kamar, mencari ibu dan bapak untuk minta maaf dan do'anya, kemudian ke Mbak Sri, Mas Udin dan semua pegawai ibu serta yang hampir terlupakan adalah adik.

Mas Dodi mengeluarkan motor dan kami menuju ke rumah orang tuaku. Setelah selesai minta maaf dan meminta do'anya kami segera pulang ke rumah.

Asar kami tiba, setelah sholat dengan sujud yang terlama aku melihat kamar. Untuk merangsang lahiran harus banyak jalan tapi aku tak mau hanya jalan-jalan biasa. Aku mengatur ulang kamar kami, menyiapkan tempat tidur baby.

Aku berjalan mondar mandir, kemudian duduk berdiri sambil merapikan apa saja yang ada di kamar. Setelah rapi aku kembali mengecek tas yang akan kami bawa saat melahirkan, sudah lengkap. Mas Dodi sedang memasak di dapur, dia pengen masak spesial hari ini makanya tak mau diganggu.

Setelah rapi semua tinggal finaly menyapu dan mengepel, sengaja aku pakai lap pel biar aku banyak jongkok ngepelnya.

Semua beres, Mas Dodi masuk ke kamar dan berteriak melihat perubahan yang aku buat. Dia mendekatiku, memelukku dari belakang.

"Ma....." Dia berbisik di telingaku.

"Hemh."

"Aku tak bisa ngontrol diri ini. Tadinya Mas mau ngajak makan, tapi pas lihat kamar yang rapi dan bersih jadi pengen......"

"Pengen tidur?" tanyaku. Dia membalikkan badanku.

"Iya tapi sama Mama tidurnya, pengen jemput Dedek." Dia berkata sambil tersenyum nakal.

"Bagaimana?" Tanpa aku jawab dia langsung mencium dan membuatku tak berdaya.

" Semoga adiknya benar-benar mau keluar." Do'aku dalam hati

"Mas ...!" Aku berteriak di kamar mandi. Dia langsung datang dengan wajah panik.

Romansa BintangWhere stories live. Discover now