Bab 36

128 6 2
                                    

ROMANSA BINTANG
PART35

#RB_35
#17+
#rumahtanggaonly

👉Perlu waktu lama untuk sampai ke part ini, sungguh berat menuliskannya.

Semua terkuak ketika Dandi memanggil Mas Dodi. Dia bilang dipanggil papa mau membicarakan Mbak Atik. Aku yang baru mendengar nama itu segera bertanya, Mas dodi diam dan segera ke kamar papa. Ingatanku melayang pada kontak hanphone Mas Dodi yang diberi nama Yan, dan chatingan yang kulihat sebuah pertanyaan dari dia tentang ‘bagaimana seharusnya.’ Bodohnya saat itu aku membalasnya, ‘enaknya bagaimana?’

Aku tak meneruskan kecurigaanku, hanya kejailan saja, pikirku.  Aku terlalu percaya dengan suamiku, dia yang selama ini selalu pulang, mendukung semua apa yang kulakukan. Bahkan tidak pernah protes apapun yang aku lakukan, karena memang aku tidak pernah melakukan sesuatu yang buruk, tapi sebagai manusia biasa aku juga punya khilaf. Mas Dodi juga tidak pernah protes jika aku tak sempat memasak, dia tahu aku harus berangkat pagi. Dia juga tidak pernah protes jika aku tinggalkan anak-anak belum mandi. Ternyata ini balasannya, ini akibat semuanya yang baik-baik saja.

“Bicara dong, Ma … maafin, Papa khilaf Ma,” pintanya.

Saat ini kami berdua saja di kamar, kedua anak kami sengaja kutitip di ibu dengan alasan ada keperluan. Perlu menyelesaikan sesuatu yang cukup meluruhkan semua tulangku, menghancurkan semua persendianku. Bahkan kata mati  selalu kuucapkan.

Pengakuan Mas Dodi membuat semua hancur, mengalahkan peluru, bahkan sedasyat ulat yang memakan daun. Begitulah tubuhku saat ini terasa habis tak bersisa dan tak bertenaga. Air mataku terus saja mengalir, walaupun Mas Dodi selalu mengusap. Bahkan dia juga menangis, menangis untuk apa? Apa dia juga menangis ketika melakukannya dengan wanita itu?

“Apa yang harus Bintang bicarakan, Mas? Cerai ….”

“Tidak, Mas tidak akan menceraikan kamu, Mas sangat mencintaimu, Bi.”

“Heeh, mencintai kok dikhianati,” ucapku sinis.

“Ok. Mas nggak tahan dengan rayuan dan perhatiannya, Bi …."

“ Oh … jadi selama ini perhatianku kurang dia lebih memperhatikan kamu?” ucapku lirih dengan derai air mata lagi. Entah sudah berapa ember aku menumpahkannya sejak pulang dari rumah ibu.

“Bukan gitu, Bi … aduh Mas serba salah kalau sudah begini,”ucapnya bingung. Apa kamu juga bingung saat wanita itu mengghabiskan waktu bersamamu.

Kalian memang pintar, tidak pernah banyak mengambil waktuku dengan banyak tapi memanfaatkan waktu saat aku bekerja. Kamu susah dihubungi dengan alasan sibuk, dan menghubungiku dengan segala rayuan dan kata-kata manis. Ternyata semua itu untuk menutupi sebuah kebusukan.

Kemana hasil ngajimu selama ini, Mas. Aku tahu ini bukan salah ngajinya tapi setidaknya kamu punya kendali. Pantesan kamu agak susah kalau disuruh ngaji dan paling semangat memintaku mengisi pengajian ibu-ibu di malam minggu agar kamu bisa keluar dan pulang sedikit terlambat saat aku pulang. Kamu selalu beralasan mencari udar segar dan ide untuk kemajuan bengkel.

“Ya, memang salah, kan?”

“Iya … tapi Mas nggak mau cerai, Bi.”

“Bunuh Bintang saja kalau begitu, Mas.”

“Apalagi itu,” Dia merengkuh tubuhku, antara tak rela dan jijik tubuhku kaku dalam pelukannya.

Jika bicara tak rela sudah hampir setahun mereka berkhianat. Jika dibilang jijik, aku sudah berhubungan dengannya  setelah dia melakukan dengan wanita itu. Allah … apa yang harus aku lakukan? Beri aku pikiran yang waras agar bisa memutuskan dengan baik.

“Apa kurangnya aku, Mas?”

“Kamu tidak kurang, Bi … justru kamu banyak kelebihan ….”

Pertanyaan yang bodoh, sudah pasti itu jawabannya, penelitian itu tidak sembarangan. Pasti tidak ada yang kurang, tapi kenapa berlabuh ke wanita lain. Apa aku juga harus meyakini penelitian jika laki-laki tak mau berselingkuh tapi tak tahan jika digoda terus. Allah … kenapa harus hamba ya, Rabb? Jika selama ini aku selalu mengingatkan dan memberi pembinaan agar jangan bercerai pada pasangan yang curhat padaku, tapi aku ….”

“Lebih kok dikhianati.”

“Bi mendingan kamu jangan tanya dech, bilang saja Mas harus bagaimana? Karena kalau kamu bertanya apapun jawaban pasti salah di mata kamu, kamu sempurna kamu hebat, kamu ….”

“Gampang dan dengan mudahnya dikhianati?”

Mas Dodi menggeleng, tengkurap dan meletakkan kepalanya di pangkuanku. Dia ikut menangis, buat apa? Masihkah ada gunanya? Malam semakin larut, taka da pembicaraan apapun diantara kami. Hanya air mata yang terus mengalir, Mas Dodi juga tak beranjak sedikitpun dari sampingku. Otakku masih berputar membayangkan mereka berdua, kemudian Mas Dodi mendatangiku. Kok bisa ya dia begitu? Apa yang ada diotaknya?

“Mas terbawa teman, sudah pengen lepas juga ssebenarnya tapi dia tidak mau ….”

“Putuskan sekarang juga,” sahutku.

“Besok saja.”

“Sekarang jika masih ingin bersamaku, atau kembalikan aku ke rumah bapak. Mumpung anak-anak sudah di sana,” kataku tegas. Dia duduk, menarik nafas dan meraih handphonennya.

“Loudspeaker,” perintahku.

Mungkin saat ini aku sangat jahat, wajar nggak sih apa yang aku lakukan saat ini? Sebuah suara bertanya dengan lembutnya, Allah aku nggak kuat ketika mereka punya sapaan Mas dan Adik. Sama aku saja panggilnya nama kalau tidak panggilan mama, hatiku bergemuruh ketika suara di sana mengatakan tidak mau diputuskan. Aku meraih handphone dan bicara padanya masih berusaha untuk bicara dengan intonasi baik.

“Aku nggak menuntut apa-apa Bu, nggak bisa dong putus begitu saja.”

“Maaf ya, dia suamiku. Apa kamu sekarang masih mau berbohong? Kemaren dengan bangganya kamu bilang dan bertanya padaku apakah aku cemburu padamu?” Aku sengaja menjeda, Mas Dodi sempat heran. Dia memang tidak tahu jika aku sudah mengambil nomor aneh itu dan kirim pesan. Ternyata dengan bangganya dia bilang jika hanya teman dan apakah aku cemburu padanya?

“Kenapa diam, masih mengelak nggak punya hubungan dengan suamiku? Wanita macam apa sih, kamu? Mas Dodi itu punya anak dan istri ….”

“Tapi dia juga suka kok sama aku,” sahutnya dengan suara yang meninggi.

“Dan kamu bangga, memang kalian sama saja!” Kuberikan handphone pada Mas Dodi dan psti air mata tambah deras. Apa yang sudah dikatakan suamiku sehingga dia begitu percaya diri? Sambungan terputus setelah sekali lagi Mas Dodi bilang tak bisa meneruskan hubungannya lagi.

“Jadi kamu pernah saling kirim pesan?”

“Dia suka menelpon privat number, mungkin,” jawabku lirih

“Jika aku susah dihubungi, dia pasti akan menelpon mama, dia mau  bilang .”

“Dan Mas Dodi merayunya menemuinya, memberikan kehangatan padanya?”

“Sudah dong, Sayang … kamu pasti akan tambah tersiksa nanti, jangan terus bertanya dan memaksa Mas harus menceritakan apa saja yang pernah kami lakukan. Mas salah.”

“Dia nggak? Dia hebat datang mengisi kekosongan hati yang tak pernah kuisi. Membawakan makanan padamu ke bengkel saat aku sudah di tempat kerja, mengajakmu makan siang di luar. Begitu? Pergi bersamanya dengan alasan bisnis pada anak buahmu?”

Mas Dodi diam saja, dia hanya memelukku yang berusaha berontak, tapi tubuhnya yang semakin kekar setelah menikah membuatku tak berdaya. Aku lemah selemah-lemahnya. Satu hal yang menjadi pikiranku apa yang harus aku lakukan sedang ada dua anak yang tak berdosa ditambah janin yang sudah beberapa minggu berada dalam rahimku, dan Mas Dodi tidak tahu. Apakah wanita itu juga hamil? Sampai dia tidak mau diputuskan?

Astaghfirullah apa yang harus aku lakukan. Engkau memberiku sesuatu yang tak pernah aku sangka-sangka. Apa ini teguranmu karena mungkin selama ini aku abai dengan suami? Atau Engkau akan meningkatkan derajat keimananku dengan memberi ujian yang sangat berat ini?

Romansa BintangWhere stories live. Discover now