Bagian 21

300 17 0
                                    


Dalam alam bawah sadarku, terdengar suaranya. Dia bertanya  apa yang aku pikirkan sehingga membuat tensinya rendah dan malas makan. Aku meremas tangannya yang tergenggam.

"Bi ... sudah bangun, Sayang?" tanyanya.

Aku membuka mata, dia nyata menggenggam tanganku. Aku lihat jam di dinding pukul aempat sore, berarti sudah saru jam lebih aku tidur. Tubuhku juga lebih segar, satu infus telah habis di tempatnya.

"Bintang mau pulang, Mas ...." rajukku.

Dia mengangguk, menempelkan tangannya di dahiku. Aku meraih tangannya dan menciumnya dengan takjub.

"Mas ... ke Dokter Rina dulu, ya. Tadi beliau bilang kalau kamu sudah bangun diberi kabar," jelasnya

Aku mengangguk, Mas Dodi berjalan keluar. Aku mengamnil handphone diatas nakas. Berulangkali benda pipih itu bunyi sejak kepergian Mas Dodi.

Sederet pesan dari Nania, yang memakiku karena dia disalahkan.  Gara-gara aku Mas Dodi marah dan lebih acuh padanya. Hizam juga mengirim pesan, pamit nggak bisa nunggu aku bangun. Tak ada satupun pesan dari orangtua kami itu artinya Mas Dodi belum memberitahukan pada mereka.

Kami memang sudah sepakat untuk sedikit melibatkan orangtua dalam urusan apapun. Yangbpenting tahunya merwka kami bahagia. Kami akan selalu menangani masalah sendiri terlebih dahulu.

"Dokter Rina sedang ada tindakan, sepuluh menit lagi ke sini. Kamu mikirin apa sih Sayang sampai malas makan dan droup begini?"

"Mas nggak apa-apain Nania, kan?"

Auw

Dia mencubit hidungku, kebiasaan kalau lagi kesel dan gemes. Bukannya menjawab dia malah mengusap perutku. Ada pergerakan di sana yangbmembuat kami tersenyum
Aku tahu dia tidak suka jika sedang berduaan ada orang lain walaupun hanya dalam obrolan.

Dokter Rina memeriksa kondisiku, dia tersenyum dan memberi nasihat agar banyak istirahat dan betres. Mas Dodi sudah memintakan izin pada Pak Budi agar aku bisa istirahat di rumah selama dua hari. Setelah semua beres kami pulang.

Mas Dodi tak sengaja membawa mobil, pada saat Hizam menelpon dia panik sampai lupa menyimpan kunci motor. Beruntung bapak sedang ada di bengkel, langsung pinjem tapi nggak sempet bilang buat apa.

Sampai di rumah, tidak boleh ngapa-ngapain selain mandi dan sholat. Mas Dodi  sibuk masak di dapur mengoreng ayam yang sudah aku ungkep tadi pagi, membuat sambel dan  sayur bening.

***
Sebelum tidur, itulah saat yang paling tepat menyelesaikan masalah, waktu itu juga favorit kami bercerita dan bercengkrama. Mas Dodi menegaskan sekali lagi, jika Nania yang mengganggu pikiranku itu salah. Tidak ada apapun diantara mereka. Kalau benar apa yang dikatakan Nania pasti Mas Dodi sudah menyusul ke Inggris atau menunggunya.

"Kenyataannya Mas milih kamu, kan dan sudah ada buah cinta kita di sini," jelasnya sambil mengusap perut. Selalu ada pergerakan jika tangan sang papa mengusapnya.

Maaf Mas, Nania memang hanya sepintas aku pikirkan. Aku percaya dengan cintamu, tapi perkataannya kemaren, terutama tadi yang membuatku drop. Ditambah hormonal yang sedang labil membuatku malas makan.

"Mas ridho, kan Bintang kerja?" tanyaku.

Dia menarik tubuhku sehingga kami berhadapan. Kalau sudah begini aku tak sanggup menatap matanya yang sayu.

"Dengar Sayang ... Mas sangat meridhoi kamu. Dari awal pernikahan kamu sudah mengajukan syarat itu dan Mas menyetujuinya,"

Pada saat di villa, aku menjelaskan padanya bahwa untuk biaya kuliah bapak sampai menjual sebagian tanahnya. Memang bapak tak pernah meminta tapi aku sudah berjanji untuk mengembalikannya. Apalagi masih ada tiga adikku yang harus sekolah. Mas Dodi sebenarnya mau mengganti s tanah yang dijual tersebut tapi aku tidak mau. Selain itu aku juga ingin mengabdikan diriku kepada masyarakat dengan profesiku. Bidan masih sangat jarang di daerahku sehingga selama ini jika ada yang melahirkan hanya dibantu dukun beranak.

Romansa BintangWhere stories live. Discover now