Bagian 10

395 19 0
                                    

Kami ke masjid dulu sebelum ke kantin, sepanjang jalan Mas Dodi dan teman-temannya bercerita sidangnya, aku hanya pendengar setia. Aneh rasanya berada di kampus orang, apalagi ada beberapa mahasiswa yang memandang kami.

"Santai saja, Bi. Nanti kita kasih undangan mereka. Cewek-cewek itu shock melihat idolanya gandeng cewek," sela Mas Dodi.

Dia seperti tahu ketidaknyamananku, genggaman tangannya lebih erat di tangan. Senyumnya mengembang saat mata kami bertemu.

Kami sholat zuhur berjama'ah, setelah merapikan mukena, baru inget belum mengabari ibu. Aku lihat handphone tidak ada pesan juga, mungkin ibu tidak mau mengganggu sampai menunggu aku yang memberi kabar.

Aku kirim sms ke ibu, memberitahukan kabar gembira ini, ibu sangat bahagia.
Beliau berpesan kalau mereka semua sudah pulang, sengaja mereka lakukan agar aku dan Mas Dodi bisa bulan madu tanpa gangguan.

(Silahkan nikmati bulan madunya sesuka hatimu Sayang, salam dari kami semua yang turut bahagia).

( Terima kasih banyak ibu).

(Kunci Villa ada di bawah pot bunga mawar ya, Sayang) balas ibu lagi.

Ah, ibu selalu ada cara untuk kami. Aku benar -benar bersyukur atas semua ini.

-----
Setelah bercengkrama dengan temannya kurang lebih dua puluh menit kami pamit pulang.

Sekali lagi aku melihat Eni sedang manangis di bawah pohon dengan beberapa temannya. Ya, Robb apa aku jahat? apa benar aku telah merebut Mas Dodi darinya?

Sepanjang perjalanan aku  lebih banyak mendengar Mas Dodi bercerita dengan antusias  proses sidangnya tadi, Sesekali aku menimpali dengan senyuman dan kalimat pendek. Rupanya momen sidang benar-benar membuatnya terkesan.

Sebenarnya aku ngantuk banget tapi aku harus tetap terjaga menemaninya mengendarai mobil. Beberapa kali aku menguap, sampai mengeluarkan air mata. Mas Dodi menyuruhku tidur tapi aku tidak mau.

Mobil melaju dengan cepat saat sudah memasuki kawasan villa. Rupanya sudah tak sabar suamiku ini.

Begitu sampai di Villa dia membukakan pintu mobil untukku dan bergegas menuju pintu villa, dia terkejut melihat pintu villa yang terkunci. Aku menepuk pundaknya dan memperlihatkan kunci yang barusan kuambil.

Ketika aku beri tahu mereka sudah pulang semua dan sudah tahu Mas Dodi lulus. Dia sekali lagi mengangkatku berputar-putar kegirangan. Aduh, bisa begini juga ya, orang yang selama ini aku anggap selalu serius.

"Mas ... buka dulu pintunya, aku pusing ni." Dia menurunkanku dan tersenyum pada.

"Kok kamu nggak bilang sih, Sayang dari tadi?"

"Mas Dodi cerita terus seperti gerbong kereta yang sedang jalan. Lagi pula ... biar surprise sih," ucapku sambil melenggang masuk dengan berlari kecil. Mas Dodi menyusul dengan cwpat setelah mengunci pintu.
------
Villa ini telah rapi seperti pertama kami datang. Aku pergi ke dapur, masih ada masakan yang sengaja disiapkan untuk kami. Kusiapkan dua gelas hendak mengisinya dengan air di teko tapi suara Mas Dodi menghentikanku.

"Mas lebih suka air dingin kalau habis bepergian, Bi," ucapnya setelah duduk di dekatku. Aku mengangguk dan mengambil air dingin yang tersusun rapi di kulkas. Oh, ya kenapa aku tidak tanya dulu ya? Belum tentu kebiasanku sama dengan kebiasaan Mas Dodi.

"Mas ke kamar dulu ya," ucapnya sambil mengusap kepalaku. Serasa ada yang aneh apa ya? Aku masih duduk di meja makan sambil mikir. Oh, ya, Mas Dodi mengubah sapaan buat dirinya sendiri. Bukan aku lagi, aku tersenyum kemudian beranjak menunu kamar.

Ternyata dia sudah merebahkan badannya di ranjang seperti bayi yang sedang tidur merdeka. Kedua tangan ke atas badan telentang tanpa mencopot sepatu.

Aku buka sepatunya, dia hanya tersenyum, mungkin dia sangat lelah dan sekarang sangat menikmati buah kelelahannya. Dia lulus menjadi sarjana Ekonomi setelah bersusah payah karena dia bukan tipe orang yang suka teori. Sebulan lagi baru wisuda.

"Makan dulu, Mas," ajakku. Mas Dosi hanya membuka matanya sedikit terus merem lagi. "Mas tadi baru makan bakso saja, kan?" lanjutku.

"Masih kenyang, Bi, Mas ngantuk banget ni," ucapnya manja seperti anak kecil.

"Paling tidak ganti baju dulu, nggak enak kali, Mas tidur pakai ...."

"Gantiin," potongnya. Matanya masih tetap terpejam. Aku masih diam ketika Mas Dodi menarik tanganku ke kemejanya. Walaupun sudah bersama semalam tapi kagok juga kalau harus mengganti bajunya.

"Kemejanya saja, Mas pakai kaos kok," ucapnya lirih dengan mata terpejam.lagi, "sama sabuknya sekalian," lanjutnya ketika aku baru membuka satu kancing kemejanya. Kenapa aku gemeteran ya?

Tanpa menjawab aku buka satu demi satu kancing bajunya. Nafas Mas Dodi teratur berarti dia benar-benar ngantuk dan tertidur. Aku rapikan pakaiannya kemudian mengganti bajuku. Tidak biasa tidur siang membuatku serba salah. Akhirnya aku buka email dan group mengecek tugas kuliah.
-------
Setelah Asar kami duduk di bangku yang tertata rapi di halaman villa. Segelas kopi dan makanan ringan menemani kami.

"Mas ... boleh aku bertanya?"

"Bolehlah, Sayang, ada apa?"

Mas Dodi meminum kopinya dan melihatku serius banget, aku jadi takut.

"Apakah benar ... aku merebut Mas Dodi dari Eni?" tanyaku pelan.

Mas Dodi melotot, menatap dan meletakkan kedua tangannya di bahuku. Menakutkan swkali kalau dia seperti ini, apa aku salah bicara? Ya, Rabb, aku takut. Ampuni hamba yang telah membuat suami murka seperti ini. Aku hanya ingin kepastian dan  nggak enak melihat wanita lain menderita karena perbuatanku.

Aku takut jika kebahagiaanku ini malah menyebabkan wanita lain yang tak bersalah menderita. Kenapa Mas Dodi jadi seseram ini?

Romansa BintangWhere stories live. Discover now