Bab 35

139 9 0
                                    

Kesedihan kami rasakan sampai empat puluh harinya mama. Papa yang sudah mulai sehat walaupun harus berjalan dengan kursi roda terlihat pasrah sementara adik Dendi sudah mulai ceria.

Papa tidak mau kami ajak tinggal di rumah. Kami memang harus melanjutkan hidup dengan persetujuan Mas Dodi aku sudah buka praktek lagi. Alhamdulillah banyak yang membutuhkan jasa kami. Aku menambahkan satu jasa perawat lagi sementara tempat praktek mama dikelola adik papa.

"Pa ... mikir apa sih?"

"Anak-anak sudah tidur?"

"Akhamdulillah, sudah. Ditanya malah balik nanya. Makan puding ya, Mama ambilin,"

Mas Dodi mengangguk, merubah posisi duduknya dari tiduran di ranjang dengan satu tangan di dahi menjadi duduk berpangku tangan. Aku melangkah menuju kulkas, nanti sajalah menanyaka kegundahannya. Dia pasti juga akan cerita kalau sudah siap.

Aku kembali dengan dua potong puding yang sudah aku siram fla. Senyum tipis nampak sekilas mungkin hanya menutupi rasa nggak enak padaku. Persis dulu ketika awal-awal kami mulai akrab di rumah mama. Mas Dodi tak pernah senyum lama di depanku sehingga membuat penilaianku padanya kurang bagus.

Suapan demi suapan aku paksakan masuk ke mulutnya karena aku tahu dari sore dia kurang nafsu makan. Cwlotehan lucu dari si sulung sengaja aku ceritakan agar dia terhibur. Senyumnya mulai mengembang.

"Papa tadi di bengkel seharian, alhamdulillah ramai tapi untuk pengecetan belum Papa pegang,"

Aku terseyum, akhirnya ceritanya mengalir tanpa kuminta. Dia merasa nggak enak sama aku yang terlalu padat jadwal kerjanya. Padahal aku sudah sering bilang, aku ini anak buahnya dan dia bosnya, tapi tetap saja begitu.

"Mas Dodiku sayang, yang senyumnya hilang melayang terbawa layangan ...."

"Apasih ... Bi, segala berpantun," sahutnya merengkuh ragaku dan berbaring bersama dengan kaki masih menggantung ke bawah.

"Bintang tidak akan seperti ini tanpa uluran tangan almarhum mama, semoga jadi amal jariyah buat mama ya, Mas ...." aku menjedanya dan berucap aamiin bersama sambil memiringkan badan. Tanganku berkelana dalam rahangnya yang semakin tegas dalam kewibawaannya. Diapun sama menelusupkan jemarinya pada anak rambut yang baru tumbuh lagi setelah rontok masa menyusui.

"Bintang juga tak akan bersinar terang tanpa langit luas. Begitu juga dengan Bintangmu ini tak akan seperti ini tanpa ridhomu yang sangat luas Mas. Suamiku ini telah menempatkan istrinya dengan sangat istimewa ...."

"Yang terlihat sibuk kamu, Bi," sahutnya tanpa melepas tangannya yang membuat nyaman di kepala.

"Terlihat oleh siapa? Mas ... apa ada yang berubah dengan Bintangmu ini?"
Tanganku beralih ke pinggangnya, mencari tempat nyaman yang lain. Sementara Mas Dodi mengalihkan tangannya di daguku dengan mata menatap lekat seolah meneliti wajahku.

"Bintangku makin cantik, manis dan matang ...."

Haha haha

Kami tertawa bersama, memangnya aku buah protesku padanya. Dia mengangguk dan mengklaim jika aku buahnya yang selalu membuatnya kenyang dan puas. Aku senang pada akhirnya Mas Dodi kembali ceria.

***

Kami sedang menginap di rumah papa, aku sengaja memasak garang asem. Sayur kesukaan kami semua, berharap semua pada lahap saat makan. Apa yang aku bayangkan ternyata salah. Papa, Mas Dodi malah tidak jadi makan, mereka ingat mama dan memilih masuk ke kamar masing-masing. Hanya Dendi yang semangat makan, katanya jadi berasa ada mama. Aku tersenyum dan menemaninya makan walau sebenarnya gelisah memikirkan kedua papa tersebut.

Romansa BintangWhere stories live. Discover now