Bagian 33

202 11 0
                                    


Di sinilah kami bertiga, ternyata selama ini Om Agus nggak tahu kalau Eni pernah suka dengan Mas Dodi. Selama pernikahannya dengan Eni banyak peristiwa yang tidak mengenakkan tapi Om Agus baru menyadarinya.

Diantaranya adalah cincin keluarga yang hilang, ternyata Eni yang mengambil dan diserahkan pada orang suruhannya untuk menghancurkan bengkel Mas Dodi dengan berbagai macam cara.

Termasuk membuat bengkel tandingan atas nama adiknya Eni. Bengkel itu tidak menguntungkan sama sekali karena memberikan discount yang tak terkira sehari-harinya.

"Om ... pasrah Dodi, terserah kalau kamu mau lapor polisi. Om pengen pisah sama Eni, tapi dia sedang hamil."

"Aku sudah ikhlas kok Om, bagi kami rezeki sudah diatur, diambil dari yang satu diberikan dari yang lainnya."

"Maksud kamu apa Dodi?"

"Alhamdulillah, kami buka praktek di rumah Om, Mas Dodi yang modali. Saya sebagai karyawannya hehe."

"O ... gitu? Bengkelnya bagaimana?"

"Bengkel masih tetap buka Om, kalau pagi sampai asar, setelah asar aku bantuin Bintang di rumah."

"Kalian benar-benar serasi dan kompak ya, Om senang sekaligus iri lihat kalian."

"Terima kasih Om," jawabku

Akhirnya kebenaran terungkap, tapi kami sudah tidak mau mengurusnya lagi. Membuka kasus sama juga mendekatkan Eni dengan Mas Dodi lagi. Aku tidak mau hal itu terjadi.

--------

Praktek di rumah kami semakin ramai, Mas Dodi membuatkanku ruang khusus, bahkan kami sudah punya ruang buat inap persalinan.

Kami pun dikaruniai anak perempuan, alhamdulillah tidak merepotkan selama hamil dan melahirkan. Aku mengambil satu asisten buat bantu praktek dan satu asisten lagi buat menjaga anak-anak kalau siang sampai sore. Malamnya tetap dengan kami.

"Mas ... handphonennya bunyi, aku siapkan tumpengnya dulu ya."

Hari ini adalah ulang tahun putri kami, kami mengundang keluarga terdekat dan tetangga sekitar untuk makan-makan.

"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun," kata Mas Dodi dengan suara gemetar. Badannya meluruh di lantai, ponselnya jatuh.

"Ada apa Mas?"

Aku menghampiri Mas Dodi yang terduduk lemas, mengambil ponsel yang masih menyala dan berbicara dengan orang di seberang sana.

Mobil Mama mengalami kecelakaan ketika menuju rumah kami, dan saat ini mama, papa dan adik sedang berada di ruang UGD.

Aku, Mas Dodi dan beberapa keluarga dekat berada di ruang tunggu, aku menguatkan Mas Dodi yang terlihat sangat sedih dan gelisah. Hampir setengah jam kami menunggu dan akhirnya dokter pun keluar.

"Keluarga pasien"

"Iya Dok, saya anaknya." Sahut Mas Dodi cepat dan langsung menghampiri dokter, aku mengikuti di belakangnya.

"Kondisi adik dan bapak sudah stabil tapi masih pingsan sedangkan ibu ...."

Dokter menghentikan ucapannya, membuka kaca matanya, dan langsung memeluk Mas Dodi yang memang masih kerabatnya.

"Mama ... mama kenapa Om?"
Mas Dodi melepaskan pelukannya.

"Yang sabar ya Nak, mama sudah dipanggil Allah."

Seketika Mas Dodi berteriak, menghambur ke dalam tanpa mempedulikanku, aku mengikutinya dengan perasaan hancur dan rasanya tak sanggup berjalan. Ibu yang sangat baik, yang sangat perhatian dan segalanya bisa dijadikan contoh. Telah pergi untuk selamanya. Mas Dodi menangis histeris, memeluk dan menyiumi wajah ibu.

"Mama ... kenapa pergi begitu cepat, Mas belum bisa memberikan kebahagiaan buat mama, Mas belum bisa menjadi yang seperti mama inginkan, hiks - hiks - hiks."

Suaranya terdengar parau dan begitu menyayat hati. Aku juga merasa sesak di belakangnya. Terbayang semua kebaikan mama, bagaimana dia meyakinkan aku meraih mimpi, menikahkan aku dengan anak yang sangat dia sayang dan selalu menguatkanku dikala orang lain meremehkan.

Mas Dodi memeluk tubuh mama dan menangis sesenggukan. Aku juga sangat terpukul dengan kematian mama, aku berjalan mendekati Mas Dodi yang masih memeluk jasad mama. Tapi tiba-tiba pandanganku kabur dan aku tak tahu lagi apa yang terjadi.

Setelah sadar aku berada di kamar Mas Dodi, dia terlihat sedih dan memijit kakiku.

"Mas ... mama ...."

Aku takut tidak bisa melihat ibu yang terakhir kalinya.

"Mama sedang dalam perjalanan ke sini. Mama baik -baik saja, kan?"

"Iya Mas, maaf Mama malah merepotkan."

Dia memelukku sangat erat dan kembali menangis sesenggukan. Kemudian aku melepaskan pelukannya dan memegang erat tangannya.

"Kamu sama pentingnya dengan mama, Bi, Mas sangat khawatir tadi, Mama lebih terpukul dari Papa rupanya."

"Adik dan Papa bagaimana Mas?"

"Papa dan adik belum sadar, kecelakaan itu sangat dasyat Bi, mobil papa sampai tidak berbentuk, bagaimana orangnya juga ..."

Mas Dodi tidak bisa melanjutkan kata-katanya, aku memeluknya dan mengelus punggungnya.

Tak lama kami dikabari kalau jenazah sudah tiba, kami segera keluar menyambutnya. Hati kembali rapuh tapi aku harus kuat, ada beberapa hati juga yang harus aku jaga.

Tangisan dan jeritan kembali terswngar dari saudara dan kerabat. Kami semua sangat terkejut sehingga membuat kami histeris.

Mas Dodi duduk di samping jenazah dengan membaca ayat-ayat Al Qur'an sambil sesekali menyalami tamu, aku terus di sampingnya untuk memberi kekuatan.

Urusan pemakaman dan yang lain, sudah ada yang mengurusnya.

Kesedihan kami bertambah saat mengantarkan ke makam, papa dan adik masih terbaring koma di rumah sakit.

Romansa BintangWhere stories live. Discover now