Bagian 32

202 13 0
                                    

"Cinta harus selalu dirawat agar lebih kuat dan indah.

******
Malam ini kami dikagetkan dengan pintu yang digedor-gedor, aku segera membangunkan Mas Dodi dan berganti pakaian. Kemudian keluar kamar berdua setelah memastikan Fadhil tidak ikut bangun.

Kami intip lewat jendela, ternyata tetangga yang sedang menggendong anaknya, sepertinya sakit. Mas Dodi langsung membukakan pintu.

" Maaf Mbak Bintang tolongin anak saya , sa-ya nggak tahu harus ke mana, ingetnya Mbak Bintang saja," ucapnya dengan nafas memburu.

Aku segera melihat anak berusia lima tahun yang kejang-kejang digendong bapaknya, di mulutnya sudah digigitkan sendok sebagai tindakan pertama.

Aku meminta ditidurkan miring di sofa dan segera kuperiksa tekanan darah, panas dan segala macamnya sambil terus aku panggil namanya dan melonggarkan pakaiannya. Alhamdulillah tidak lama anak ini sadar.

"Awalnya panas biasa Mbak, hanya kami kasih penurun panas, baru saja kok kejangnya terus kami lari ke sini."

"Panasnya 39 dedajat, dia sudah sadar biarkan dulu di sini beberapa menit ya, Bu. Sambil saya buatkan obatnya. Ibu temani saja dulu,"pintaku.

Aku membuat racikan obatnya, Mas Dodi membantuku menggerus. Tak lama mereka pamit pulang setelah anaknya diberi obat. Bapaknya yang pulang mengambil motor sudah kembali lagi.

"Terima kasih lho Mbak Bintang, saya harus bayar berapa?"

"Nggak usah Bu, kalau ada apa-apa hubungi saya lagi atau besok bawa ke puskesmas kalau belum reda panasnya."

Bu Doni sudah pulang, aku lihat jam di dinding satu jam lagi subuh . Mas Dodi masih duduk di sofa depan.

"Mas, Bintang siapin makan sahur dulu ya, atau mau tidur lagi nanti Bintang bangunin" tanyaku sambil ikut duduk di sampingnya dan melepaskan jilbabku.

"Tanggung Bi ... aku jadi kepikiran ya,"gumamnya.

"Kepikiran apa, Mas?"

Dia membaringkan kepalanya dipangkuanku dan meluruskan kakinya di sofa. Sudah lama kami tidak santai seperti ini.

"Kenapa kamu nggak buka praktek di rumah saja?"

"Sebenarnya aku juga sudah berpikir lama begitu, Mas, apalagi maaf bengkel  belum seramai dulu . Mas bisa bantu usaha di rumah, yang menyediakan obatnya, dan fasilitas lainnya. Intinya Mas sebagai managernya, " jelasku.

"Terus kenapa kamu nggak ngomong?"

Dia memandangku dengan mata sayunya.

"Aku takut Mas tersinggung."

"Ya, nggaklah Bi, kamu ada-ada saja."

"Jadi Mas setuju kita buka praktek di rumah?" Aku balas menatapnya sambil mengusap rambutnya.

"Iya, Sayang."

Dia menggenggam tanganku,  meyakinkan keputusan kami.

"Tapi nanti waktuku berkurang lagi buat Mas dan Fadhil?"

"Niatnya menolong orang, Sayang, Mas ikhlas dan Ridho. Kalau ramai bisa ambil anak baru atau yang lagi praktek. Mama punya teman dan adik kelas yang tak sedikit," ucapnya tanpa keraguan

Aku mencium keningnya tanda terima kasih.

"Makasih ya Mas, Janji Allah memang benar sesudah kesulitan ada kemudahan dan rezeki itu tidak mungkin tertukar."

"Maksudnya?"

" Setelah kebakaran dan kecurian di bengkel kita dikasih jalan usaha yang lain, dan tak perlu menyalahkan siapapun karena rezeki kita sudah pasti ada dan tak kan tertukar hanya jalannya yang beda. Mungkin Mas yang kurang suka dengan dunia kesehatan jadi dipaksa masuk didalamnya karena Ibu dan Istrimu ini irang kesehatan."

"Hehe...pinter kamu, Bi, Mas kangen." Dia bangun dan duduk di sampingku.

"Kangen bagaimana? Orang tiap hari kita ketemu dan serumah Mas, aneh." Dia menyandarkan kepalaku di bahunya.

"Kangen berdua begini Sayang, pacaran lagi kita. Selama ini kita memang bersama tapi mengerjakan hal masing-masing. Mas fahamlah, tapi kita juga perlu waktu berdua begini."

Aku mengangguk dan mencium pipinya serta mengelus dadanya. Memang sejak punya anak dan masuk kerja kami jarang menghabiskan waktu berdua, hidup seperti diburu waktu, kerja ngurus anak, ngurus rumah tak kami pikirkan hati dan cinta kami. Cinta pun perlu dirawat dan terus dirawat agar tidak pudar.

"Aku mencintaimu Mas, takkan ke mana-mana, hati dan seluruh perasaanku tetap sama. Mas ingat janjiku,kan? Kalau toh kita dipisahkan oleh ajal aku tak akan pernah menikah lagi, karena aku hanya ingin bersamamu di dunia bahkan sampai akhirat." Dia memelukku erat sekali.

"Maafkan Mas, yang belum bisa membahagiakanmu."

"Aku bahagia Mas, justru aku takut kamu salah memilihku seperti kata orang sehingga Mas selalu kena musibah."

"Hai kenapa kamu jadi berfikir begitu? Tak ada kesalahan dalam memilihmu Bi, aku juga sangat mencintaimu."

Aku melepaskan pelukannya ada air mata di sudut mata kami masing-masing, air mata bahagia yang hampir kami lupakan. Kami saling menghapus air mata ini.

"Mas, ayo sahur sebentar lagi shubuh lho."

"Eh ... Mas belum mandi, gimana dong?" tanyanya heboh.

"Ada waktu tiga puluh menit, wudhu dulu, makan lima belas menit terus langsung mandi," kataku.

"Mama sudah mandi?"

"Sudah ... malem langsung mandi," kataku jadi malu. Ingat peristiwa semalem. Dia menjawil pipiku.

"Masih malu aja," bisiknya di telingaku sambil berlalu ke kamar mandi.

-------
Ketika Aku dan Mas Dodi lagi belanja buat keperluan praktek di rumah, kami bertemu dengan Om Agus.Wajahnya tampak kusut dan penampilannya juga tidak seperti biasanya.
Dia mengajak kami singgah di kedai bakso dekat toko furnitur ada yang akan disampaikan katanya, kami hanya mengikutinya tanpa tanya.

Romansa BintangWhere stories live. Discover now