Bagian 24

295 8 2
                                    

Kebahagiaan mewarnai keluarga kecil kami, suara tangis bayi yang kami rindu. Suara panggilan ayah ketika mendengar sang bayi menangis. Celotehan tak henti dariku dan Mas Dodi yang terus memberikan pelajaran apa saja pada yang bayi.

Aku ajak dia baca basmallah sebelum minum susu, membacakan do'a sebelum tidur. Menimang dengan lantunan shalawat dan yang tak pernah ketinggalan  adalah pertanyaan' anak siapa?'

Siapa sih ini ganteng banget?

Anak siapa, ni yang nyusunya pintar?

Anak siapa ini yang sholeh?

Dan entah apalagi ungkapan kebahagiaan itu padahal kami sudah tahu jawabnya dan nggak perlu ditanya lagi.

Belum lagi berbagai tanggapan dari para tetangga yang menjenguk, komennya membutuhkan kesabaran. Ibu dan mama tahu kami orang yang realistis, punya prinsip sendiri dalam mendidik. Mereka juga faham karena kami akan bertanya jika tabu atau tidak tahu. Tetap melaksanakan adat asal tidak bertentangan dengan syariat dan kesehatan

"Lho, Mbak Bintang kok sudah jalan-jalan, harusnya duduk selonjoran di ranjang saja. Toh suaminya mampu bayar pembantu juga buat membantu kerjaannya," kata tetangga depan rumah ibu. Dia memang sangat perhatian.

"Alhamdulillah, Bu. Tidak dijahit jadi bisa sendiri kalau mengerjakan yang ringan-ringan saja," jawabku tersenyum.

"Makannya kok sudah pakai ikan, nanti bau amis lho, pakaian adik bayinya." komentar Mbak Tuti

"Biar bergizi Bu, lagi pula sekarang ada pewangi pakaian. InsyaAllah nggak bau amis," jawab Mbak Atun.

"Bayinya sudah nggak dibedong? Nanti kakinya pekeh, lho."

"Tempat kubur ari-arinya mana kok nggak terlihat ada lampunya, nanti gampang sakit?"

"Topi anaknya nggak dikasih bawang putih sama bengle biar nggak diganggu syetan? Mbak Bintang juga harusnya pakai ditambah gunting malah kalau ada,"

"Kami ajak berzikir saja, Bu, biar nggak diganggu jin," jawab Mas Dodi.

Mereka saling jawab, aku hanya tersenyum saja. Bukan nggak mau jelasin semua korelasinya tapi memang masih agak susah bagi ibu-ibu yang masih memegang teguh aturan leluhur.

Sudah tiga hari sejak pulang ke rumah, ibuku selalu ada dari pagi sampai sore.  Ibu membantu memandikan si kecil karena aku belum berani melakukan hal yang banyak gerak. Di hari keempat aku sudah berani, kasihan juga kalau tiap hari ibu harus ke rumah.

Satu rasa yang tak kalah nikmatnya dengan mules saat melahirkan adalah keluarnya air susu yang sudah banyak sedangkan si kecil masih sedikit minumnya. Rasanya seperti sesuatu banget, bahkan sampai bisa membuat badan meriang. Saat seperti inilah peran suami diperlukan. Mas Dodi sangat tanggap dan mau belajar banyak. Jika malam hari jatahnya dia mengganti popok.

"Masih sakit? Mau dimintain penghilang nyeri ke mama," katanya.

"Nggak usah Mas, Bintang pompa saja buat tabungan. Tolong jagain dedeknya ya?"

"Siap bos," ucapnya sambil terus memperhatikanku. Lucu kali melihat wajahku menikmati rasa antara nyeri dan lega.

"Sakit banget ya, Mam?"

Aku kembali menarik nafas, mengurut bagian atas agar lancar. Suamiku yang memperhatikan dari tadi ikut begidik ngeri.

"Seperti ada batu yang menindih luka, berat dan nyeri banget," kataku sambil terus mengurut.

Mas Dodi berjalan mendekatiku, mengusap pundak dan menciumi kepalaku.

"Panggil mama, ya?"

"Nggak usah, Mas." Kulanjutkan memompa sambil melihat dua wajah tampan di depanku. Aku tersenyum bahagia memiliki mereka, obat tersendiri. Bahkan pesakitan ini cepat hilang. Dua botol sedang ASI aku dapatkan dan segera kuberi tanggal kemudian menyimpannya di prezer.

Romansa BintangWhere stories live. Discover now