Bagian 23

240 8 0
                                    

Ada apa?"

"Krannya mati ...."
Aku berkata tanpa dosa, wajahnya panik habis.

"Astaghfirullah, Ma, Mas pikir bayinya keluar."

Dia berlari ngos-ngosan kemudian berkata sambil mengotak-atik kran air kemudian ke pompa dan tak lama air keluar lagi. Dia tersenyum sambil memainkan kabel stop kontak pompa air.

"Bagaimana bisa nyala bumil jika nggak ada listriknya."

Aku ikut tersenyum, mana tahu jika kabelnya copot. Biasanya juga tetap berada di tempatnya.

Setelah Magrib aku merasakan perutku mules tapi aku tak bilang sama Mas Dodi karena belum rutin. Setelah shalat isak datang lagi mulesnya tapi masih hitungan jam, aku mencoba tidur tapi tak bisa. Apalagi kalau pas mules luar biasa aku sampai meringis tapi masih kutahan agar Mas Dodi tak panik. Aku bangkit ambil air wudhu, kubaca lembar semi lembar alqur'an. Aku berhenti dan mondar-mandir di dalam rumah.

"Ma ... belum tidur?"

Rupanya dia mendengar saat aku menarik nafas yang terakhir tadi. Aku ingat perkataan dokter kandungan, jika mules datang dan belum waktunya untuk mengezan tarik nafas dan keluarkan.

"Iya Mas, sudah mulai mules dari tadi sebenarnya?" ucapku lirih.

"Kenapa nggak bilang? Kita ke rumah mama ya?" katanya sambil bangkit dari tidurnya.

"Nanti saja, belum cepet kok waktunya."

Aduh ... tiba-tiba mulesnya datang lagi. Mas Dodi segera mengelusnya, sekitar 5 menit sudah hilang lagi. Aku mencoba memejamkan mata dan banyak dzikir, Mas Dodi masih mengelus perut sampai aku terlelap.

Shubuh mulesnya mulai cepat, setelah subuh aku segera mengajak Mas dodi ke rumah mama.

Mama langsung memintaku berbaring di ranjang bersalin kemudian memeriksanya.

"Bagaimana Ma?" Mas Dodi yang sudah tak sabar langsung bertanya.

"Iya, sudah dekat, habis ditengok juga ya?" Aku malu mendengar pertanyaan mama, sementara Mas Dodi menjawabnya dengan senyum tak berdosa.

"Kok Mama tahu sih?"

"Ya tabu, Mas." Mama melihatku, dan mengerti apa yang ada di kepala.

"Tidak usah malu Mbak kalian kan suami istri lagi pula hal itu perlu juga kok, selain menambah romantisme keluarga juga bisa membantu proses pembukaan." Mama kembali melihatku dengan tersenyum.

"Mbak Tari tolong siapkan semuanya ya?" Mama memberi perintah pada asistennya.

"Mama infus ya, biar tenaganya banyak, makannya kurang ya? Kalau mulesnya sudah seperti mau BAB panggil Mama ya, Mas, Mama ke dalem dulu temani istri dan anakmu."

Kali ini mama melihat Mas Dodi sambil mengelus pundaknya memberi kekuatan. Sebenarnya dari tadi yang paling nevers justru dia, entah sudah berapa kali Mas Dodi bolak balik ke kamar mandi.

"Mas ......"

Aku merasakan mules yang luar biasa, Mas Dodi kembali mengelus perutku.

"Mau dipanggilkan Mama."

Aku masih memejamkan mata dan beristighfar menahan sakit.

"Bentar Mas, aku membuka mata karena masih hilang lagi mulesnya. Mas Dodi pamit ke kamar mandi lagi.

Mama dateng, sambil tersenyum beliau mengelus perutku sangat lembut dan teratur ciri khas bidan.

"Bagaimana? apa si raja sudah mau keluar?"

Aku mengangguk tetap dengan zikir panjangku karena mulesnya lebih hebat dari sebelumnya.

"Kalau mau teriak, teriak saja Mbak, sudah siap? ikuti instruksi Mama ya, Mas bantu di dekat kepalanya ya, Mbak Tari dekatkan alat-alatnya."

Aku memperbanyak Istighfar.

"Tahan dulu ya sayang, sebentar,  sudah ... ayo mulai ngedennya ya, terus, terus sayang ...."

Dengan 3 kali mengeden akhirnya terdengar tangisan bayi, aku melepas suaraku saat terakhir dan berucap Hamdalah. Mas Dodi langsung menciumiku dan pamit ke kamar mandi lagi. Hilang sudah semua rasa mules tadi, aku tidak merasakan apa-apa lagi karena fokus pada bayi yang gerak-gerak di dadaku.

"Alhamdulillah beres semua, Sayang, aman tidak perlu ada jahitan," kata mama sambil  menciumku.

"Kamu pinter, Sayang, Mama beres-beres dulu ya, biar Masmu yang temenin."

"Alhamdulillah, terima kasih Ma."

------

Kami hanya semalam menginap di rumah mama, aku ingin merasakan semua sendiri, memandikan, mengganti popok dan sebagainya. Walaupun tak bisa dipungkiri aku tetep butuh bantuan Mas Dodi untuk urusan yang berat. Dia menjadi suami siaga, walaupun aku tahu kadang dia tertidur dalam menjaga kami.

Mas Dodi pun menjalani harinya dengan kebahagiaan, banyak tugas tambahan yang harus dikerjakan, belanja, memasak, mencuci dan yang lainnya hanya menyetrik pakaian yang enggan dia kerjakan karena harus duduk terus.

Orang tuaku dan Mas Dodi bergantian ke rumah untuk menengok cucunya sambil membawakan makanan dan mengingatkan banyak hal.
-----
Para tetangga bannyak yang menjenguk, termasuk tetangga orang tuaku. Seperti biasa mereka selalu mengomentari apa yang kami lakukan.

"Aneh ya pasangan ini, masak ari-ari ditanem begitu saja tidak ditandai apalagi dikasih lampu kasihan kann anaknya pasti kedinginan itu."

"Iya Mbak, aku kemaren lihat suaminya pas nanemnya cuma dikasih garem doang dalemnya, padahal kasih buku , pulpen , bunga dan yang lainnya kek biar anaknya pintar."

Mama yang mendengar hanya tersenyum, aku? senyum juga.

-----

Romansa BintangWhere stories live. Discover now