Bagian 11

389 18 0
                                    

Aku menunduk menahan rasa bersalah, nggak seharusnya kali ya aku bertanya begitu. Mas Dodi melepas tangannya dan mengangkat daguku.

"Aku mencintai kamu, Bi...bukan Eni. Percayalah," ucapnya lembutpenuh penekanan.qa!

Aku melihat matanya yang teduh menunjukkankan ketegasan. Aku jadi lega, rupanya dia tak marah.

"Walaupun aku suka jalan bareng sama dia tapi  tidak pernah menyatakan perasaan padanya. Karena aku memang tak punya perasaan apa-apa padanya. Aku hanya terbawa gengsi temanku, inget kan tadi temanku bilang ingin menebus dosa saat mereka membelaku di depan Eni? Karena mereka selalu mengejekku dan ngompori  supaya jadian sama Eni. Disebut pecundanglah, bancilah dan sebagainya aku jadi risih akhirnya mau jalan bareng sama Eni tanpa ada menyatakan perasaan. Eni pun menyambutnya karena itu yang dia inginkan dan seperti yang kubilang kemaren aku tak lebih seperti tukang ojek pribadinya dan aku tak tega kalau dia minta tolong," jelas Mas Dodi.

"Apa nanti Mas juga tak tega lagi kalau Eni minta tolong?"

Tanyaku penuh ragu, dia merangkulku erat kemudian memegang kedua lenganku, menghadapkan wajahnya.

"Tidak sayang, aku bukan Dodi yang dulu, aku sudah punya kamu. Sejak tahun pertama  kehadìranmu,  aku jadi penasaran, berusaha mendekatimu tapi tak bisa padahal kamu ada di dekatku. Canggung aja kalau berdekatan, bahkan aku sudah menyusun kata demi kata untuk sekedar berbincang tapi menguap di udara. Yang terjadi kemudian apa? Aku menghindar darimu dan kamupun seperti menghindariku. Makanya aku lebih banyak menghabiskan waktuku di toko dan di bengkel. Di sana aku belajar, belajar apa saja yang membuat aku bisa dekat denganmu."

Dia berhenti sejenak melepaskan tangannya, aku rebahkan kepala di bahunya dengan senyum mengembang. Dia belai kepalaku yang berbalut jilbab pink hadiah dari ibu dan melanjutkan ceritanya

"Aku juga selalu cerita ke Mama dan minta nasihat Mama. Sampai kejadian adik, itu salah satunya aku kesel dengan perasaanku. Malam itu, sebenarnya aku mau mengungkapkan perasaanku tapi setelah tahu jawabanmu tentang jodoh aku mengurungkan niat. Aku ingin tahu dan tidak mau salah. Bi...kamu memang merebut cintaku, tapi bukan dari Eni...langsung dari hatiku. Percayalah padaku."

Dia mengucapkan kalimat terakhirnya dengan penuh penegasan dan kembali menatapku, aku hanya bisa mengangguk tak mampu berkata-kata, dadaku sesak menahan haru. Dia kembali memelukku dengan erat dan tumpahlah air mata bahagiaku. Bahagia karena telah memenangkan cintanya dengan caraku.

"Kenapa menangis?" tanyanya dengan mengusap air mata yang tak terbendung.

"Aku...bahagia, Mas." jawabku terbata.

Dia kembali menyeruput kopinya yang tinggal sedikit, ber 'ah' nikmat.

"O iya, aku pengen dengar ceritamu yang katanya sudah cinta sama aku sejak SD. Kok aku nggak pernah tahu ya? Pinter bener kamu menyembunyikannya."

"Masih inget saja, Mas?"

"Iya lah, cepet nggak atau" jawabnya dengan menggelitikiku.

"Siapa sih Mas yang tidak kenal, Dodi anaknya Bu Dokter yang baik hati itu, apalagi waktu itu kelas 5 SD dan Mas Dodi kelas 6. Mas Dodi yang mulai remaja berbeda diantara yang lainnya. Tinggi, bersih dan pintar. Pembawaan yang kalem turunan ibu membuat cewek-cewek pada gemes. Teman suka membicarakan tapi aku hanya bisa diam menyimpan rasa suka itu, rasa suka yang dibilang cinta monyet. Karena aku tidak mau jadi bahan olokan teman-teman, tahu sendiri, kan kalau ketahuan suka saja sama teman langsung dech, dibuly, diolok-olok, di salam-salamin."

Aku berjalan memilih duduk di rerumputan, Mas Dodi mengikutiku dan duduk di belakangku, memeluk dari belakang. Aku merebahkan kepala di dadanya. Baru melanjutkan cerita lagi.

"SMP aku masih mengagumimu, tapi kita tak pernah satu kelas. Aku suka mencarimu hanya sekedar ingin melihat. Cuma ceperti itu  sudah senang. Pernah  aku pinjem buku, itu juga kalau kamu inget Mas, rasanya jantungku mau copot ketika bilang pinjem buku."

Mas Dodi mempererat pelukannya dan meletakkan dagunya di bahu, Aku elus pipinya.

"Lucu ya ...cara kamu menyukaiku," ucapnya cenderung berbisik.

"Mungkin lucu tapi itulah aku, lagi pula aku sadar diri Mas, aku ini anak kampung mana mungkin bersaing dengan anak kota di SMP kita dulu.  Apalagi ketika kelas 3 SMP aku mulai intensif memperdalam ajaran agama. Orang Islam tak boleh pacaran, walaupun suka pada lawan jenis itu tidak dilarang, aku cuma melihatmu dari jauh saja. Padahal kalau ketemu tak sengaja, rasanya panas dingin. Aku hanya mampu tersenyum saja tak pernah menegurmu padahal kita satu SD, satu kampung. Mas Dodi juga cuma senyum aneh, senyum sebaris doang."

"Terus...."

Dia memainkan ujung jilbabku dan mulai menggelitikiku lagi.

"Bagaimana bisa nerusin cerita kalau begini?" 

Dia terkekeh.

"SMA kita masih satu sekolah lagi, tapi Mas Dodi deket sama Eni. Akhirnya aku simpan rapat-rapat rasa suka itu. Ada beberapa tetangga yang suka denganku tapi aku menolaknya dengan halus. Aku selalu bilang,... tak mau pacaran..., padahal  masih berharap denganmu, Mas. Sampai ibu memintaku tinggal di rumah, aku merasa ada harapan tapi  tak berani memunculkan harapan itu mengingat tujuan di rumahmu untuk belajar dan membantu kerjaan ibu."

Dia mulai usil lagi, meletakkan dagunya di pundakku dan mengelus pipi. Aku genggam kedua tangannya.

"Kau tahu Mas,...Mas Dodi itu nyebelin ternyata kalau di rumah, jutek, kadang ramah, apalagi kalau Eni datang ke rumah, merasa gimana gitu menurutku...."

"Ya...itu efek kamu cemburu dan aku sengaja memanasimu sebenarnya, haha...tadi aku sudaj bilang, aku sudah suka sama.kamu tapi bingung mau menyapa atau mengobrol.apalagi menyatakan perasaan, mengingat kamu seorang jilbaber," 

Dia mencubit hidungku dan berdiri menghadapku tangannya melingkar di pinggang.

"Tapi kini kita sudah menyatu, Sayang, kita sama-sama tahu kan... bahwa memang ada cinta dalam diri kita tapi cara penyatuannya yang unik. Kita sama-sama melangkah menuju Ridho-Nya...ya."

"Iya, Mas."

Senja telah tiba, kami masuk ke villa dengan bergandengan tangan.
----

Dua hari kami menghabiskan waktu di villa, membuat segala perencanaan rumah tangga berikut kesepakatan yang harus kami jalani. Perlukah? Sangat perlu karena rumah tangga kita yang menentukan segalanya tentang kebahagiaan jadi harus direncanakan dengan matang.

Hari berikutnya adalah membantu orang tua menyiapkan resepsi pernikahan, bagian kami adalah membuat undangan, dan konsep pelaminan. Karena aku menggunakan jilbab jadi harus banyak bertanya dan memberitahukan batasan-batasan. Mengingat di kampungku belum banyak tukang rias pengantin yang berjilbab.
-------
Acara pernikahan berjalan sesuai dengan yang kami inginkan walaupun ada beberapa tetangga yang nyinyir dengan pernikahn yang mendadak.

"Mereka tinggal satu rumah, tahu-tahu dinikahkan, sudah ngapain saja mereka?"

"Pantesan Bintang menolakmu Wan, orang dia milih yang kaya dan berpendidikan tinggi. Kamu tu siapa masih nungguin dia."

"Pakai ilmu pelet itu , orang tuanya Bintang, enak banget ya, sudah disekolahkan, dinikahkan pula sama anaknya. Bu Dokter benar- benar sudah ketutup matanya."

"Aliran apa itu? nikah kok cuma begitu? tidak pakai adat?"

Masih banyak lagi ocehan para tetangga bahkan saudara, yang tidak enak di dengar.
Awalnya Mas Dodi sempet emosi ketika mendengar pernyataan itu tapi aku mencegahnya untuk tidak bertindak. Tidak penting bagiku.

Begitulah salah satu hal yang tidak aku suka tinggal di kampungku, suka tidak jelas, menyebarkan berita. Kalau dilayani tambah panjang urusannya, makanya kami memilih diam.

next

ditunggu krisannya, maaf ya masih edisi bulan madu.

Romansa BintangWhere stories live. Discover now