01: invitation

13.7K 845 23
                                    

Angin sore yang berhembus cukup kuat membuat helaian pink itu menari-nari. Didepan pemilik surai itu berdiri dengan kokoh rumah yang jauh dari kata terawat. Nuansanya gelap, bahkan ada jarak yang lumayan antar rumah lainnya yang memiliki pekarangan bunga.

"Aish, kenapa harus sama si Yoongi itu?" Sebal pria itu sambil menggenggam beberapa buku berbeda ukuran. Ia baru pulang kampus setelah latihan basket. Pria itu masih memakai seragam basket kampusnya dan tas jinjingnya semakin berat karena mata kuliah hari ini cukup banyak, ditambah pakaian yang ia lipat asal-asalan dan dimasukkan kedalam tas.

"Kalau bukan karena disuruh Ibu, sudah langsung pulang saja aku!" Gerutunya lagi.

Dengan beban berat disalah satu pundak, membawa tumpukan buku, dan pegal karena telah berdiri selama tiga puluh menit tanpa adanya kepastian dimana pria bersurai hitam itu berada, cukup membuat Jimin ingin merutuki pria yang tinggal sendiri dirumah terkutuk itu.

Akhirnya, Jimin mendudukkan dirinya ditanah. Ia mengambil botol minum dan meneguk hingga habis air yang tersisa. Rasa dingin dari air bercampur es itu menyegarkan tenggorokan Jimin, membuat mood-nya agak meningkat walaupun tidak signifikan.

"Mau apa kau?"

Jimin segera menengadahkan kepalanya. Ia tidak mendengar suara langkah kaki menghampirinya. Didepannya, dari dalam rumah ada pria pucat yang memakai kaus hitam dengan lengan 3/4 sedang menatap jengkel padanya.

'Bukannya seharusnya aku yang menatapnya begitu' batin Jimin kesal. Ia segera berdiri lagi dan menatap pria bersurai hitam yang hampir sepantaran tingginya dengannya.

"Hell! Kau daritadi dirumah saja? Kenapa tidak keluar saat aku memencet bell sialanmu sampai berpuluh-puluh kali?!" Umpat Jimin. Jelas saja ia kesal, apa yang Yoongi lakukan sampai tidak mendengar bell rumah?

"Oh. Itu sudah lama rusak" ucap Yoongi sambil mengelus dagunya dengan jempol dan jari telunjuk kirinya sambil melihat bell berwarna putih yang melekat didinding samping gerbang rumahnya. Jimin dapat lihat ada kilatan bahagia dari manik matanya dan bibirnya bahkan takkuasa menyembunyikan senyum miring.

"Hey, mayat hidup! Kalau bukan ibu yang memaksaku, aku tidak akan sudi ikut denganmu!" Teriak Jimin. Kakinya yang pegal dan pundak sebelah kirinya yang sakit sudah tidak menyita perhatiannya lagi. Pasalnya pria yang sekarang membukakan gerbang rumahnya itu sungguh mengesalkan.

"Bau keringat." Timpal Yoongi. Ia segera melangkah menuju rumahnya disusul oleh Jimin yang memaki-makinya dibelakang.

Setelah Jimin memasuki bangunan itu, ia tak bosan-bosannya memaki si pemilik rumah. Rumah itu tak terawat sama sekali, ada jaring laba-laba disetiap sisi asbes rumah, debu dipermukaan sofa, piring kotor tidak dicuci, dan lampu rumahnya bahkan tidak dihidupkan. Membuat Jimin ingin segera melangkahkan kakinya keluar rumah.

"Jangan maki rumahku" ucap Yoongi. Ia segera duduk diatas kursi makan dan menyilangkan kaki kanannya agar menimpa kaki yang sebelah kiri.

"Apa lagi sekarang?" Tanya Jimin. Ia melipat tangannya. Ingin duduk tapi permukaan sofa berdebu, rasanya Jimin tidak sudi duduk disitu dan membawa debu-debu hina dari rumah itu.

"Epilog novelku, padahal aku menyuruh ibumu untuk membawa adikmu saja, tapi dia masih sekolah" ucap Yoongi menjelaskan.

Jimin memutar manik matanya, ia menyadari bahwa kalimat itu hanyalah sarkasme. Tentu saja Yoongi sebenarnya ingin membawa Jimin karena ia suka menyuruh dan membuat Jimin kesusahan dan menderita.

Dan sekedar memberitahu, Jimin baru saja menyelesaikan semester keduanya, dengan artian ia memiliki waktu libur tiga bulan dari kuliah. Meski begitu, Jimin agak senang ketika mendengar tentang 'epilog novel', pasalnya ia diam-diam membaca novel karya Min Yoongi, anak dari sahabat ibunya.

"Kau akan membuat epilog? Judulnya apa kali ini? Beruang yang Makan Bunga Bangkai?" Tanya Jimin lalu tertawa meremehkan.

Yoongi sedikit tersenyum mendengar judul aneh itu, lucu saja ketika kalimat itu keluar dari mulut Jimin, rival sekaligus sahabatnya dari saat SMP.

"Tidak, bocah. Judulnya tidak akan jauh dari semut seperti buku pertama. Tapi kau harus pulang dulu. Rapikan barangmu, kita akan pergi pagi buta" ucap Yoongi. Ia melirik jam tangan bermerek Rolex yang melingkar sempurna dipergelangan lengan kirinya.

Disisi lain, Jimin hanya menghela nafas gusar. Saat kecil ia sudah capek dikerjai oleh Yoongi yang notabenenya berumur dua tahun diatasnya. Ia sering mendapat luka ditubuhnya karena di-bully juga oleh Yoongi.

"Antar aku" pinta Jimin. Ia terlalu capek sekarang. Latihan basket tadi menguras tenaganya.

Yoongi merogoh saku celananya lalu melempar kunci yang Jimin raih dengan mudah.

"Bawa mobilku"

Seringaian tipis muncul diwajah manis Jimin.

"Sip".

***

"Sialan!" Umpat Yoongi. Ia ingin membunuh Jimin yang dengan bangga membawa mobil BMW hitamnya kembali dalam kondisi lecet yang memanjang di badan mobil kesayangannya.

"Mian, Yoongi. Tadi ada balap liar dan aku keseret masuk kesana" ucap Jimin dengan senyum yang takkunjung layu dari mulutnya. Dengan santai ia membuka jok belakang mobil itu dan mengambil koper yang berisi pakaian dan beberapa keperluan lainnya.

Yoongi menatap gusar pada pria bersurai pink itu. Seharusnya ia tidak mempercayai mobil yang ia beli dengan uangnya sendiri pada pria sialan Park.

"Berangkatnya pagi buta? Ayo tidur nanti terlambat" ucap Jimin lalu memasuki rumah itu. Ia masih taknyaman dengan kondisi rumah jorok itu, dan terkejut ketika kamar Yoongi sangat bersih.

"Cih. Kamarnya saja yang layak" ucap Jimin lalu mendorong kopernya mendekati lemari pakaian Yoongi. Ia melirik ruangan yang pertama kali ia lihat lalu jatuh pada kasur berukuran kingsize yang terlihat empuk.

Jimin langsung menidurkan badannya dan menutup mata sipitnya. Berharap ia memiliki tidur yang cukup untuk perjalanan pagi buta yang tujuan destinasinya belum ia ketahui.

Perlahan mata itu kembali terbuka ketika melihat Yoongi ikut tertidur disampingnya. Ia menggelengkan kepalanya ketika Yoongi menurunkan suhu AC sehingga paling bawah. Setelah itu pria bersurai hitam itu memainkan ponsel pipihnya.

"Dingin, sialan" ucap Jimin lalu menaikkan selimut sampai menutupi mulutnya. Ia melihat Yoongi sibuk menggulir layar ponselnya seperti tidak takut ada berita penting yang terlewat saking cepatnya menggulir layar itu.

"Ganti warna rambutmu" ucap Yoongi pelan. Ia memiringkan badannya agar berhadapan dengan Jimin. Suhu udara yang mulai menusuk membuat Yoongi yang sedaritadi tidak memakai selimut menyibakkan selimut yang dipakai Jimin dan memasukkan tubuhnya.

"Kenapa? Jungkook suka warnanya" ucap Jimin lalu memegang poni rambutnya dan memelintirnya.

"Tidur" titah Yoongi. Ia lalu membalikkan tubuhnya membelakangi Jimin. Jimin tertawa kecil tanpa suara melihat wajah Yoongi yang kesal tadi.

"Oke, Yoongi"

"Hyung" gumam Yoongi pelan, namun Jimin masih dapat mendengarnya.

"Never in you wildest dream" ucap Jimin lalu memejamkan matanya.

Sudah lama baginya bertemu dengan Yoongi. Sudah satu tahun mereka tidak bertemu satu sama lain karena kesibukan Jimin untuk kuliah dan Yoongi untuk novelnya. Kendatipun mereka dari dulu tidak akrab, tidak seperti ibu mereka.

***

YOONMIN IN UR AREA

Aku jadi bucin yoonmin gilaaa KSKSKSK. dan cerita sebelah *ups lagi males lanjutin karena writer block dan ide disini ngalir(?).

Jadi, ini ff pertama dengan tema yaoi. Yoonmin!!!

Please spread love to this one:)

Count Me In (yoonmin)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang