"A-aku bisa tidur sendiri!" Elak Jimin segera. Ia segera meraih ponselnya lalu menghidupkan senternya. Sebenarnya saat Jimin menghidupkannya ia sempat melihat bahwa baterainya hanya 10%. Pantas saja, seharian penuh ponselnya tidak ia charge dan main game online yang menguras banyak energi.
"Kalau pakai ini terang" ucap Jimin dengan nada kelewat yakin. Yoongi menatapnya dengan satu alis terangkat lalu ikut menghidupkan senter dari ponselnya. Ia sebenarnya tidak selera kalau makan dengan pencahayaan minim, tapi ia lapar. Yoongi hanya malas membalas Jimin yang keras kepala, lebih baik ia menghabiskan makanannya cepat-cepat dan segera mengedit novelnya yang masih diketik beberapa lembar halaman.
Begitu pula Jimin. Ia sekarang sudah menyendoknya nasi terakhir dari piringnya. Ia menaruh piringnya di tempat cuci piring dan segera ke kamar. Jimin menutup pintu kamarnya dan segera berlari memasuki selimut. Terdengar jelas hujan yang seakan mengetuk-ngetuk jendela disisi kirinya. Jimin menggelengkan kepalanya, mencoba menghilangkan suara-suara seperti itu. Ia tidak pernah benci hujan, namun ia benci hujan ketika ia sendiri. Apalagi ada petir yang tak lelah menyahuti petir lainnya. Dan dalal kegelapan seperti ini.
"Sial, tinggal 8%" umpat Jimin. Ponselnya hanya akan bertahan hingga sepuluh menit, itu yang terlama. Jimin memikirkan hal-hal yang akan membawanya ke alam mimpi cepat-cepat. Pertama ia mengingat kalau studi mengatakan bahwa menghitung domba membuat orang-orang akan mengantuk.
"Satu, dua, t-tiga, empat, lim..."
Jimin tidak dapat melanjutkan lagi, suara hitungannya selaras dengan bunyi ketukan pada jendelanya, membuatnya semakin takut.
"Penakut"
Suara itu tepat disamping Jimin, dan pemilik suara itu segera duduk diatas kasurnya.
Suara kaki pria itu terhapus oleh derasnya hujan.
Tidak ada sahutan dari Jimin. Ia perlahan mengintip dari balik selimutnya, maniknya menangkap sesosok pria pucat yang menyebalkan baginya.
"Pergi kau" desis Jimin, tidak yakin. Suaranya pelan, Yoongi bahkan menangkap makna yang lain dari perkataan itu karena mata Jimin yang menyiratkan ketakutan.
"Aku disini" ucap Yoongi lalu memosisikan dirinya telentang. Ia menggunakan kedua tangannya sebagai bantal.
"Sudah berapa hari aku tidur di sofa? Sakit sekali" eluh Yoongi. Ia menggerakkan tubuhnya yang terasa kaku lalu segera memiringkannya ke kiri agar berhadapan dengan Jimin. Bahunya bersentuhan dengan milik Jimin. Pria berambut oranye yang hanya kelihatan dari ujung rambut hingga mata saja menggeser tubuhnya menjauh.
"Hujannya berhenti" ucap Yoongi tiba-tiba. Sepertinya memang ada hal magis (atau mistis) dirumah itu. Jimin yakin tadi hujannya deras bahkan ada petir yang bersahutan, namun sekarang hanya suara gerimis kecil. Tidak ada suara ketukan di jendelanya.
"Kalau begitu kau bisa pergi" balas Jimin sinis. Dari suaranya ketara bahwa ia senang.
Ayolah pergi. Ayolah pergi.
"Hari ini saja. Punggungku sakit. Dan panggil aku hyung. Terimakasih. Selamat tidur. Geser sedikit, tolong" Yoongi menarik selimut yang Jimin kenakan dan menyibakkannya, memasukkan tubuhnya kedalam sana.
"Ayo tidur, mochi"
"Mochi?"
Tangan Yoongi terulur memegang selimut yang menutupi pipi kenyal Jimin.
"Mochi rasa apa ini? Matcha? Vanila? Coklat?" Yoongi terkekeh saat bertanya. Ia mengelus selimut itu.
"Rasa aku ingin menampar bokongmu" balas Jimin dengan sinis. Tawa Yoongi terdengar tipis. Ia menutup mulutnya dengan tangan kirinya. Jimin rasa imut sekali ketika hanya jari-jari pucat Yoongi yang terlihat dari piyama oversized yang dikenakan Yoongi.
"Err... itu terkesan agak dewasa. Masih ingin coba?" Tanya Yoongi, suaranya menggema di ruangan tertutup itu. Tidak ada lampu sebagai penerangan, jika kalian lupa. Namun, ada cahaya rembulan yang menerangi kedua wajah pria itu. Mereka masih dapat melihat wajah satu sama lain jika jarak mereka sedekat ini. Saling berbagi tempat tidur dan bertukar oksigen.
"Bodoh sekali! Sudahlah aku mau tidur!" Jimin berteriak, untungnya suaranya teredam dibalik selimut. Kalau tidak Yoongi sudah peka. Yoongi melihat ada semburat merah muda di pipi pria yang lebih muda darinya sebelum pria itu membelakanginya. Suara deritan bahkan gaduh terdengar dengan jelas. Sekali hentakan Jimin menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.
"Kau malu?" Tanya Yoongi menggoda. Jari-jari panjangnya menari diatas punggung Jimin. Tidak ada balasan.
"Kalau aku peluk, kau akan marah? Hanya ada satu guling dan kau sedang pakai itu. Aku tidak bisa tidur tanpa guling" ucap Yoongi sambil tersenyum kecil. Jimin tidak bergerak sedikitpun.
Yoongi tidak tahu saja isi pikiran Jimin.
Kalau ia bisa menyelaminya pikiran Jimin, mungkin yang ia dengar hanya teriakan namanya ditambah hujatan kasar dan kata-kata jorok.
"Tidak apa," tangan Yoongi melingkari perut Jimin, isi perut Jimin seakan mau meledak, "kan?"
Dapat Yoongi rasakan tubuh yang ia rengkuh menegang, membuatnya terkekeh.
"Tegang sekali"
"Loh, kok cepat sekali?" Tanya Yoongi, pura-pura terkejut, ketika tangannya merayap kedepan jantung Jimin yang memang berdebar cepat. Jimin sedang menahan gejolak untuk ti--
"Apa artinya kau suka sa-AW SIALAN!"
-dak menyikut tulang rangka Yoongi.
Jimin duduk dari tidurnya, segera mendorong tubuh Yoongi hingga jatuh berguling kebawah. Yoongi kembali meringis, kali ini lebih keras. Jimin bangga dengan karyanya. Ia segera tidur di tengah-tengah kasur dan merentangkan tangannya.
"Tidur saja di sofa sana! Kau saja dua hari berturut ini tidak pakai acara peluk-peluk guling saat tidur disana! Aku tidak peduli kalau punggungmu sakit dan bungkuk selamanya!
"Dan aku tidak penakut!"
Nada Jimin tegas, dan Yoongi dibuat kaget olehnya. Dulu saat ia sering mem-bully Jimin, pria kecil itu bahkan tidak berani mengangkat kepalanya dan menatapnya. Apa yang membawa Jimin ke jalan yang seperti ini?
Yoongi segera berdiri, mengusap bokongnya yamg sakit. Sebenarnya tidak hanya bokongnya, namun seluruh tubuhnya. Mungkin Yoongi hanya takut kalau bokongnya semakin rata.
Pria pucat itu segera keluar kamar. Sebenarnya ia tidak tahu mengapa ia melakukan hal tadi. Hanya ingin bercanda, mungkin? Ia sudah lama tidak mengerjai Jimin. Dulu hal itu menjadi favoritnya ketika jam istirahat di sekolah.
Apa ia keterlaluan? Yoongi tidak tahu.
Yoongi juga tidak tahu, kalau Jimin menatap kepergiannya keluar kamar dengan debaran yang tidak kunjung reda.
"Min bajingan, kenapa aku berdebar?"
Pipi Jimin memanas.
Sepertinya malam ini ia tidak akan tidur.
"Sudah sampai berapa hitungan dombaku tadi? Eh, domba atau sapi?"
Jimin merenungi antara domba atau sapi hingga memejamkan matanya yang lelah. Tubuhnya lelah dan siap menyambut hari esok.
***
Maaf kalau part yang ini singkat:( aku mau bikin sampe hari besok tapi kayaknya kalau dipenggal gak cocok.
Hope u'll like it!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Count Me In (yoonmin)✔
Fanfic[COMPLETED] Min Yoongi, pria idealis yang berkecimpung di dunia pernovelan. Menjadi novelis terkenal dengan mengangkat genre roman. Pergi ke Amerika hanya untuk menyelesaikan epilog dari novel bestseller-nya. Dengan mengajak Park Jimin, tentunya.