"Beneran tidak ada ruangan lain?!"
Suara keras dan melengking itu berasal dari mulut Jimin yang terbuka dan menampakkan deretan gigi rapinya. Ia sekali lagi mengitari rumah minimalis yang hanya membutuhkan waktu dua puluh menit agar tiba sejak mereka keluar dari taksi.
"Uncle Patrick hanya tinggal sendiri karena bercerai, lalu membeli rumah ini. Wajar hanya punya satu kamar" jelas Yoongi rinci. Ia mendudukkan bokongnya di sofa yang takjauh darinya. Sedangkan Jimin masih berdiri ditengah ruang tamu itu, merasa tidak nyaman dengan kondisi rumah kosong selama tiga tahun itu.
Banyak debu, serangga, jaring laba-laba, dan bau lapuk. Jimin yang pembersih tentu saja tidak dapat terbiasa dengan kondisi seperti ini. Rumah Yoongi yang kurang penerangan bahkan lebih baik dari ini!
Sebenarnya Jimin takmasalah tidur berdua dengan Yoongi, mereka bahkan baru melakukannya kemarin, namun kejadian saat Yoongi bersiul dan menghembus pelan bibirnya membuatnya waspada.
"Aku mau tidur dulu"
Belum sempat Jimin bertanya lebih, Yoongi berjalan menuju kamar satu-satunya dirumah itu. Jimin segera mengekori Yoongi. Pria pucat itu hampir menidurkan tubuhnya kalau-kalau Jimin tidak menarik tangannya kuat-kuat. Yoongi tertarik kedepan. Tubuhnya hampir menubruk Jimin kalau saja Jimin tidak segera mundur selangkah.
"Setidaknya kita harus bersihkan rumah ini! Ayo!"
"Kau saja, aku ngantuk sekali, belum tidur selama dipesawat"
"Yoongi, kau tadi TERTIDUR SANGAT LAMA. Jangan alasan. Aku tidak tahan menghirup debunya" ucap Jimin, bersamaan dengan batuk yang keluar dari mulutnya. Ia menarik sapu yang bersandar di dinding dan kemoceng. Kemoceng itu ia beri kepada Yoongi.
"Kau sanggup tidur di kasur yang berdebu begitu? Tidakkan? Makanya bersihkan!"
Jimin terlihat seperti seorang ibu dimata Yoongi.
Cerewet sekali.
Namun Yoongi tetap menerima kemoceng itu dan menepuk-nepukkannya asal keatas kasur. Jimin segera menuju sudut ruangan dan menyapu tiap ubin berbentuk kotak dengan ukuran setengah meter itu.
Waktu yang lama mereka habiskan hanya untuk membersihkan rumah minimalis dengan satu lantai itu. Jimin sebenarnya suka dengan aksesoris yang diletakkan pada dinding maupun setiap sudut ruangan itu, hanya saja kondisi awal rumah yang jauh dari kata terawat itu membuatnya kurang tertarik.
Setelah sampah telah berkumpul menjadi satu di teras, Jimin mengalihkan pandangannya ke gudang besar yang berada disampingnya. Gudang itu tertutup rapat. Jimin mendekati gudang yang terlihat berkarat.
"Isinya apa?" Gumam Jimin. Angin tiba-tiba bertiup lebih kencang, rambut pink-nya bergerak tak beraturan diatas kepalanya.
"Dingin sekali" gumam Jimin sekali lagi. Ia hanya memakai kaus lengan pendek yang tipis, tentu saja dingin sudah merambat sampai memeluk tulang-tulangnya.
Kedua tangan Jimin dilipat, mencoba membungkus dirinya sendiri.
"Kau ngapain?" Tanya Yoongi yang tiba-tiba saja berada dibelakang Jimin. Jimin agak kaget jadinya, sehingga menghadiahkan tamparan pada lengan Yoongi.
"Ini kuncinya gak ada?" Tanya Jimin. Tangannya berusaha membuka pintu gudang namun nihil, pintunya tak bergerak.
"Ada samaku."
Yoongi merogoh saku celana bahannya, mengambil dua kunci yang diikat menjadi satu dengan kawat yang dibengkokkan.
"Mengapa kuncinya samamu?" Tanya Jimin lagi. Sedekat itukah Yoongi dengan pamannya? Bukankah Yoongi punya sepupu jauh juga di Amerika selain paman Patrick?
KAMU SEDANG MEMBACA
Count Me In (yoonmin)✔
Fanfiction[COMPLETED] Min Yoongi, pria idealis yang berkecimpung di dunia pernovelan. Menjadi novelis terkenal dengan mengangkat genre roman. Pergi ke Amerika hanya untuk menyelesaikan epilog dari novel bestseller-nya. Dengan mengajak Park Jimin, tentunya.