Dia melambaikan tangannya, menatap mobil yang mulai bergerak meninggalkannya. Dia masih berdiri menunggu mobil itu hilang, mobil minicopper kecil berwarna putih itu hilang dengan senyum yang kini tergambar pada wajah cantik gadis yang menjabat sebagai general manger jeketi.
Dia pikir Lidya teman yang sangat lucu, dia memang sudah lama mengenal Lidya, mengenal yang dia maksud, mengenal nama tentu saja, Lidya member generasi dua yang selalu menyebutkan dengan malu-malu kalau dia mengidolakan seorang Veranda. Dia jadi iri, kenapa harus Veranda yang Lidya idolakan? Kenapa tidak dirinya? secara dia adalah nama dari besar nya JKT48.
JKT48? Melody ya?
Langit yang awalnya cerah, tanpa diduga malah menurunkan gerimis kecil, membuat dia berlari, mengangkat tas nya untuk menutupi kepalanya, cardigan tipisnya sedikit basah, dia mengibaskannya, sebelum kakinya melangkah, melanjutkan masuk kedalam apartemannya.
Aparteman yang sudah dihuni dua tahun terakhir ini, memang tak terlalu besar, bahkan hanya memiliki satu kamar, tapi jika disebut sebagai kamar kos ini terlalu mewah, fasilitas yang memadai tak mungkin ada disebuah kosan. Tapi ntah kenapa, Melody selalu mengatakaan dia tinggal di Jakarta hanya di sebuah kosaan kecil,
Ya itu mungkin bentuk kerendahan hatinya, biar dipandang sebagai atasan yang down to earth.
Sebuah kode untuk membuka pintu masuk apartemannya sudah dia tekan, pintupun bisa dia buka, dia menghela nafasnya, saat dia melihat meja ruang tamu yang terlihat berantakan, kaleng minuman soda yang berserakan, kulit kacang yang tak semestinya ada, ini terlihat seperti tong sampah dibanding sebuah ruang tamu.
Dia akan menyimpan semua potret ruang tamunya, dan dia akan meminta pertanggung jawaban Frieska nanti malam, karna siapa lagi kalau bukan Frieska, mungkin Beby dan Rachel juga akan ikut andil untuk mempertanggung jawabkan ini.
Kemaren Melody memang tak berada di Aparteman, setahunya Frieska mengajak Beby dan Rachel untuk menginap disini.
Dengan mulut yang terus menggrutu layaknya ibu-ibu, dia mulai memungut satu demi satu sampah itu memasukannya dalam tong sampah.
Saat di rasa semuanya sudah cukup enak dipandang, dia berkaca pinggang, memandang sekelilingnya, tapi pikirannya tanpa dia sadari malah memikir kan Lidya yang sedang berada dijalan, diluar hujan semakin deras, apa Lidya sudah sampai? Apa dia terjebak macet? Atau mungkin mobilnya mogok ditengah jalan dan dia jadi terkena hujan?
Dari pada pikirannya semakin tak menentu dia menekan tombol call pada aplikasi whatsapp.
Suara khas bunyi panggilan sudah berkali-kali dia dengar, hingga suara kesekian dia baru bisa mendengar suara Lidya yang menggelitik.
"Selama sore ka, monmaap ada apa ya?"
Hampir saja dia tertawa, suara Lidya seperti petugas customer service, yang akan menyapa dengan ramah, customernya.
Melody mengatur nafasnya, dia mulai berbicara tak kalah serius dari Lidya. "Selamat sore juga Lidya, maaf mengganggu waktunya sebentar."
Lidya yang disana terdengar begitu sangat kaku menimpali ucapan Melody. "Ohenggak gangu kok, lama juga gapapa, ada apa ka?"
Lagi-lagi Melody menahan tawanya yang akan pecah, dia pikir dialah manusia terkaku di dunia ini ternyata semenjak kenal Lidya, dia merubah pikiran itu.
Dia tersenyum, suaranya dia rubah jadi seperti biasanya."Mau banget ya ngobrol lama sama aku?"
Menggoda Lidya sudah menjadi kebiasaanya sekarang, dia jadi terbayang wajah malu-malu Lidya dan itu membuatnya bahagia, dia sempat heran dam bertanya-tanya, kenapa Lidya selalu terlihat salah tingkah? Padahal dia bukan lah seseorang yang Lidya idolakan, begitu pikir Melody.
"Eh gak gitu ka, duh gimana ya...."
"Oh jadi gak mau nih? Yaudah aku matiin ya."
"Eh- ka Mel gak gitu, iya mau kok mau banget ngobrol lama, ada apa ka?"
Melody pun tak kuasa menahan tawanya mendengar suara Lidya yang terkesan panik, mungkin Lidya berfikir Melody akan marah.
"Gak ada apa-apa sih, cuman mau mastiin aja kamu udah nyampe atau belum?"
Melody bisa mendengar suara nafas Lidya yang terdengar lega, mungkin lega karna Melody tak benar-benar marah. "Ohehehe-Udah kok, ini udah mau make up."
"Syukur deh, aku pikir kamu keujanan "
"Keujanan? Kan aku naik mobil ka."
Melody mengerutkan dahinya, perkataan Lidya ada benarnya juga, Lidya kan menggunakan mobil, bagaimana bisa dia takut kalau Lidya akan terkena hujan?
"Yaa-bisa aja atap mobilnya bocor."
Sekarang dibalik telpon itu Lidya tersenyum, hatinya menghangat walau diluar, hujan sedang deras-derasnya.
"Gengsi banget bilang khawatir ka."
.
..
.Ada beribu kenangan yang tidak bisa dijabarkan, sekalipun penuh dengan makna. Itu mengapa banyak hal yang hanya tersimpan rapat diingatan. Yang hanya bisa dia simpan sendiri. Meninggalkan sisa-sisa luka dalam waktu dan keabadian yang entah sampai kapan akan berakhir. Tiada memar tanpa benturan. Seringkali dia harus dibingungkan saat dia menjumpai lara yang berbekas dan enggan mengering lagi.
Dia tersenyum memandang layar hapenya, bahkan untuk sesuatu sekecil ini saja dia tak menyangka, dia sama sekali tak pernah membayangkan kalau Melody akan menelponnya.
Walau tadi Melody tetap keukeuh kalau dia tak mengkhawatirkannya, dia jadi tersenyum miris, mungkin ini yang namanya sakitnya berharap.
Guyuran air yang turun deras menyentuh tanah, meskipun telah dijatuhkan berkali-kali tetap ia mau kembali. Bagaimana mungkin dia dapat dengan gampang menyingkirkan memorinya bila hujan juga menjadi saksi bisu yang mempertemukan dia dengan Melody.
Berbekal eksotisme dan segudang daya tariknya, kata-kata tentang hujan dan cinta tidak pernah absen menjadi bahasan kata pemikirannya maupun goresan penanya, cinta akan selalu mengubah cara pandang seseorang.
Wajahnya yang sudah terpoles dengan make up tipis, sudah terlihat cantik menurutnya, seragam atau biasa sering disebut seifuku pun sudah dia kenakan dengan rapih, jam sudah menunjukan pukul 7 malam, suara penonton yang mulai memasuki ruang dalam teaterpun sudah mulai terdengar, walau hujan belum berhenti dia berharap penonton akan tetap ramai.
Tak ada hal yang lebih besar yang diharapkan dari seorang member jeketi dari sekedar teater penuh dan yang menonton pulang dengan rasa bahagia.
Baru saja hendak meninggalkan kursi duduknya, fokusnya kembali pada layar hapenya yang dia biarkan tergletak diatas meja rias, hapenya bergetar menampilkan nama Melody lagi, Lidya mana tahan untuk tak membukanya sekalipun suara Vienny sudah berteriak meminta agar semuanya berkumpul.
Persetan dengan Vienny, begitu pikirnya.
"Semangat perfomnya, aku tunggu dirumah ya, aku udah masakin buat kamu nih."
Bersambung.
#TeamVeNalID
Hari ini gw sedikit muntah-muntah, diare, dan gatal-gatal, ini adalah sebuah efek samping dari momen shansak yang berlebih. Saya gemas. Wassalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melody Lidya [Stop]
FanfictionSebuah regresi kisah Melody dan Lidya dari cerita Dibalik Layar. Cover by Widya Syarif.