Part 22

1.7K 276 21
                                    

Malam yang gelap membawa mobil mereka melaju cepat, ntah mengarah kemana, banyak amarah didalam kedunya. Mereka menemukan rasa cemburu diantara malam. Dimana keduanya hanya saling beradu kata untuk saling membenarkan.

Mungkin malam tercipta, ketika Tuhan bermuram durja akan tingkah manusia yang tak masuk diakal.
Sebentik buaian angin membuat dinginnya malam penuh syarat kejutan.

Mobil yang melaju cepat itu berhenti, pinggiran Jakarta dengan pemandangan ilalang yang tinggi membuat semuanya terasa sunyi, disana gedung pencakar langit masih terlihat menghiasi padatnya Ibu kota.

Dia masih diam, bersandar pada mobil miliknya, dia tak pernah berfikir kalau Lidya akan bertindak segegabah ini, padahal dia yang selalu memgatakan kalau hubungan ini harus benar-benar tertutup rapat, tapi perkataanya itu seolah berbanding terbalik dengan tingkahnya yang arogan.

Punggung bidang itu sama sekali tak bergerak, dia masih mengamati tiap gerak geriknya, tak ada yang mau mulai berbicara, semua menunggu.

Lidya menunggu Melody menjelaskan semuanya, begitu juga dengan Melody.

Angin berhembus semakin kencang, membawa rasa kekhawatiran di antara kedunya.

"Meeting tadi diluar jadwalku. Aku gak pernah menyangka kalau semuanya buat kamu marah."

Lidya mendengar dengan jelas penjelasaan itu, matanya masih saja memandang tajam, dia terlihat sangat marah.

"Aku pikir tak ada salahnya, karna semuanya ku lakukan untuk kata pekerjaan."

Lidya yang terus diam, membuat Melody bergerak mendekatinya, Lidya masih memunggungi Melody.

"Lid. Jangan pernah bersikap seperti tadi lagi."

Lidya mengumpat dalam hatinya, dia tidak suka Melody yang memojokannya, seolah memgatakan kalau sikapnya tadi itu salah.

"Kenapa? Kamu takut Ardit jadi tahu kalau kita punya hubungan?!"

Melody tak membalas tatapan tajam Lidya, dia lebih memilih memandang segala arah.
"Bukaanya ini yang kamu mau? Menjalankannya secara diam-diam, kenapa semuanya seperti salahku. Aku hanya menjaga tentang apa yang kamu mau."

Ya, memang pada nyatanya seperti itu, Lidya lah yang memilih untuk menjalankan hubugan dengan Melody secara diam-diam, dia belum siap mendapat semua kecaman dari semua orang. Menilainya dengan buruk karna memiliki hubungan dengan Melody.

"Untuk Ardit harus kamu garis bawahi, dia memang perlu tahu, kalau aku ini pacar kamu!"

Melody hanya mengangguk mengerti, karna baginya mudah saja mengatakan pada Ardit tentang ini.

"Kalau begitu bagaimana dengan Shani??"

Walau keadaan begitu gelap, Melody tahu kalau kini Lidya mengerutkan dahinya seolah tak mengerti apa yang dia maksud.

"Apa hubungannya sama Shani?"

"Aku rasa kamu lebih tahu tentang Shani."

"Aku gak ada apa-apa sama Shani, gak usah berlebihan."

Melody tertawa keras, dia mengolok perkataan Lidya itu, Lidya benar-benar tak bisa bercermin.

"Berlebihan katamu?? Kamu pikir tadi itu apa? Bahkan kamu memalukan!"

Lidya langsung membalikan badannya, memunggungi lagi Melody, emosinya begitu naik turun, dia tak ingin karna rasa marahnya dia membuat semua jadi semakin sulit.

Kita memang tidak bisa membuat orang lain sejalan dengan fikiran kita, sering kali butuh rasa sabar untuk menjelaskannya. Dalam hubungan juga seperti itu, kita tak bisa hanya membenarkan apa yang menurut kita benar, karna terkadang yang menurut kita benar,belum tentu benar untuk orang lain.

Sekarang punggungnya terasa berat, Melody menaruh kepalanya dipunggungnya, seolah mengadu kalau dia tak ingin semua seperti ini.

"Aku minta maaf."


..
.
.

Kesalah pahaman yang terus terjadi menjadi ombak yang begitu kerasa bagi perahunya yang baru saja berlayar, semua karna keegoisan yang tak pernah bisa dia kendalikan.

Bahkan sekarang saat gadisnya seolah memohon dia membatu, tetap diam, terkutat akan bayang-bayang yang membuatnya sakit. Lidya memang orang yang sangat keras, selalu berpegang akan pendiriannya.

Mungkin hanya Lidya yang mampu membuat Melody jadi seperti ini, mengalah dan merelakaan kekesalannya juga.

Dan sekarang kepala Melody tak lagi bersandar pada punggung Lidya, dia mengamati Lidya yang terus diam dan semakin membuatnya ingin menangis.

Mungkin dia memang salah tak memberitahu Lidya kalau dia harus pergi dengan Ardit, dan dia jadi berfikir kalau Lidya memang melihat semua apa yang Ardit lakukan terhadapnya, dia mencoba mengerti, memposisikan dirinya menjadi Lidya, kalau dia melihat Lidya dengan seseorang selain dia, mungkin dia juga akan melakukan hal yang sama dengan Lidya bahkan lebih. Cinta yang sedang benar-benar membara sama besarnya akan rasa cemburu yang terjadi.

Dia mendudukan kepalanya, pasrah akan keadaan, Lidya sepertinya sedang tidak peduli tentang nya.

"Tolong jangan pernah main-main untuk ini."

Mendengar suara Lidya, Melody mengangkat kepalanya, Lidya yang lebih tinggi membuat kepalanya sedikit mendoangak untuk menatap mata Lidya.

Melody menggeleng, memberitahu Lidya, kalau dia sama sekali tak pernah main-main.

"Aku cuman takut kamu pergi, saat aku udah benar-benar cinta sama kamu."

Melody langsung menjatuhkan kepalanya didada Lidya, dia seolah menahan tangisnya. Ucapan Lidya tadi membuatnya takut juga, kalau perkataan itu akan berbalik terhadapnya.

"Aku cuman mau kamu tahu, kalau aku gak suka." kata Lidya lagi.

Melody menggerakan kepalanya, tangannya sudah melingkar memeluk tubuh Lidya. "Maafin aku selalu buat kamu marah."

Lidya menarik nafasnya yang panjang, kalau sudah seperti ini dia jadi tak tega melihat Melody, perasaan bersalah langsung menderap datang. Seharusnya dia bisa sedikit lembut, seharusnya tadi tidak seperti itu. Semua bisa dibicarakan baik-baik, tapi lagi-lagi dia memang belum cukup mahir untuk mengendalikan emosinya.

Lidya akhirnya membalas pelukan Melody, dia memeluk lebih erat, meremukan segala kekhawatirannya.

"Aku sayang kamu, Mel. Sayang banget."


















































Bersambung

8/10/18

Masha

Aku sebenarnya tak tahu, didalam hatimu itu ada aku atau tidak.

Melody Lidya [Stop]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang