Satu jam setelah pesawat lepas landas, Raya mulai rewel. Tzuyu berusaha menenangkan nya dengan menunjukan bermacam barang, bahkan Tzuyu menebak tirai agar Raya bisa melihat keluar jendela. Namun Raya tidak peduli. Susu hanya sedikit membantunya. Segera setelah susu di botolnya habis, Raya kembali marah dan mulai menangis.
Tzuyu menggendong Raya dan menyanyikan lagu Raya bobo seperti yang biasa dilakukan menjelang tidur. Tapi suara tangisan Raya tidak mereda, air mata berlinang andi pipinya yang tembam.
Sehun menutup laptopnya dan menghampiri Tzuyu yang terus membujuk Raya. Tanpa berbicara apapun dia segera mengambil Raya dari gendongan Tzuyu dan menyandarkan kepala balita itu di bahunya.
"Tidak apa-apa, jangan takut..." Suara Sehun terdengar lembut ketika telapak tangannya mengusap usap punggung raya.
Sebenarnya Sehun sama sekali tidak mengerti tentang anak-anak, namun dia masih bisa mengingat pengalaman pertamanya naik pesawat. Dia sangat ketakutan. Jadi Sehun mengambil kesimpulan kalau Raya sebenarnya juga merasa takut, tapi karena usianya masih terlalu kecil maka dia tidak bisa mengungkapkannya.
Suara tangisan Raya perlahan mereda, balita itu kini memeluk leher Sehun. Tidak lama kemudian Raya tertidur dalam gendongan lelaki itu.
Tzuyu yang merasa tidak enak hati segera mendekati Sehun. "Biar aku yang menggendongnya."
Sehun menempelkan telunjuk nya ke bibir sebagai isyarat agar Tzuyu tidak mengeluarkan suara. "Tidak apa-apa," bisiknya pelan dan terus menimang Raya.
Beberapa staf dan pengawal pribadi Sehun memperhatikan adegan itu dengan wajah penuh tanah yang berusaha untuk disembunyikan.
Karena tidak bisa melakukan apa-apa akhirnya Tzuyu memilih untuk duduk tenang di kursi pesawat. Matanya terus mengawasi Raya sementara pikirannya mengembara. Kasihan Raya... Anak itu tidak akan pernah memiliki seorang ayah...
Setengah jam berlalu sebelum Sehun melangkah ke kabin kecil untuk membaringkan Raya yang sudah tertidur. Tzuyu langsung berdiri mengikuti, dia merasa khawatir Raya akan terbangun lagi dan kembali menangis.
Kabin gelap itu yang langsung terang begitu Sehun menekan saklar di salah satu dindingnya. Ranjang dobel sederhana dan sebuah meja tulis, hanya itu yang mengisi kabin. Sebuah jendela kecil tertutup tirai sederhana terletak di sisi ranjang.
Dengan hati-hati Sehun membaringkan Raya di ranjang, kemudian meregang kan kedua lengannya di udara.
"Maaf... dan terima kasih," ujar Tzuyu sambil memandangi wajah Raya yang tertidur tenang.
"Untuk apa?" Tanya Sehun.
"Maaf karena sudah merepotkan mu, dan terima kasih karena sudah membantuku meredakan tangis Raya."
Sehun menutup pintu kabin dan melangkah mendekati Tzuyu. "Duduklah, aku ingin berbicara denganmu."
Tzuyu berusaha menelan ludah ketika satu per satu bayangan yang menyakitkan menerpa nya. Wajahnya memutih sepucat kertas, ada rasa takut yang tiba-tiba mengelilingi nya seperti kabut gelap. Tangan Tzuyu sedikit gemetar ketika dia berusaha untuk duduk di pinggir ranjang, tidak bisakah Sehun membuka saja pintu itu...
"Kau sakit?" Sehun mengamati Tzuyu dengan seksama, perubahan ekspresi wanita itu jelas mengganggu nya.
"Tidak," jawab Tzuyu pelan dan berusaha mengingat kembali sesiterapi yang pernah dijalaninya. Sedikit demi sedikit dia mulai bisa mengatur nafasnya dan kabut gelap itu perlahan sirna. "Ada apa?"
Beberapa detik berlalu ketika Sehun menatap Tzuyu lekat-lekat, kepalanya menggeleng sekali dan dia menghembuskan nafas panjang.
"Ada sebuah perusahaan investasi besar di Freyster yang sedang berusaha menjadi satu-satunya raksasa bisnis yang mengendalikan perekonomian negara, Chester Stamp, menggunakan berbagai cara untuk mengambil alih Bold, tambang berlian milik negara. Badan intelijen negaraku mencurigai perusahaan ini juga digunakan untuk money laundering dari hasil perdagangan gelap barang-barang curian." Sehun memulai penjelasannya sambil mengawasi setiap perubahan pada raut wajah Tzuyu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Permata di Hatiku : ctz - osh
Fanfictionapa pun yang terjadi, cinta layak untuk diperjuangkan.