1. Heterochromia

2.2K 67 10
                                    

Kita sudah terlalu sering memendam dan khawatir akan banyak hal. Sehingga kita lupa cara mencintai layaknya manusia.

***

Jika kini kau sudah tidak mencekikku lagi? Lalu apa yang masih membuatku sulit bernafas?
—-—

Lucas mendorongku ke loker, meremas kerah bajuku dan manariknya ke arah dagu. Siswa yang berada di lorong terlihat panik namun tidak mau ikut campur. Sekolah masih sangat pagi, jadi belum banyak guru yang datang. Beberapa siswa mencoba untuk tidak peduli dan langsung pergi menuju kelas mereka masing-masing.

Mata Lucas sangat tidak bersahabat, ia seperti bisa membunuhku jika kejadian ini bukan terjadi di lorong sekolah. Tidak ada niatanku untuk memberontak selain hanya menatapnya nanar. Nafasku berat, nafasnya juga. Pasrah mungkin bukan kata yang tepat saat ini, aku hanya merasa bosan. Aku bahkan sudah tidak peduli jika ia menghajarku dan membuatku terbaring di rumah sakit sekolah.

Aku menunggu kepalan tangannya menghajar pipi atau hidungku. Mataku berair namun aku mencoba untuk tetap menatapnya. Belum  pernah aku seperti ini sebelumnya. Mataku tertutup dan aku sudah membayangkan rasanya hidung yang akan patah atau pipi yang membiru. Tapi tinjuan itu tidak terjadi. Mataku terbuka perlahan, terkejut melihat raut wajahnya yang menjinak. Lucas menatapku aneh, kepalan tangannya melemas dan perlahan melepaskan cengkraman tangannya di kerah bajuku.

Ia menjauhkan badannya dariku dengan canggung dan mengambil tasnya yang tergeletak di lantai, lalu berjalan pergi melewati beberapa siswa. Nafasku masih satu-satu. Perlahan aku rapikan lagi kerah baju dan jaketku sambil berdiri mematung dan dipenuhi banyak tanya.

Aku balikkan badanku menghadap loker lalu menempelkan jidatku di salah satu pintunya. Butuh waktu yang lama sampai aku bisa berjalan tegak dan pergi menuju kelas.

Aku menaruh tasku di meja, duduk di kursi dan menutup wajahku dengan kedua telapak tangan, rambutku terasa sangat berantakan. Ponselku  memantulkan bayangan wajahku yang terlihat samar-samar. Moodku sangat buruk dan ini masih sangat pagi. Beberapa temanku menyapa dan aku hanya membalasnya dengan senyuman hambar. Aku tidak melihat Lucas di kelas, tapi aku melihat tasnya sudah tergeletak di atas meja.

Bel berbunyi, teman-temanku masuk ke dalam kelas di buntuti oleh Mr Chuck yang sudah siap dengan buku dan penggarisnya. Aku melihat Lucas memasuki kelas, wajahnya berair, seperti baru saja cuci muka. Ia merapatkan jaketnya saat memasuki kelas dan matanya seperti mencoba untuk tidak menatapku. Jujur saja, ia bertingkah sangat aneh. Tapi aku tidak peduli.

Aku kehilangan fokusku dihampir setengah jam pelajaran, Mr Chuck sedang sibuk membual tentang pitagoras. Harus aku akui. Aku dan teman sekelasku sudah mengerti di bab matematika yang satu ini. Aku tidak tahu kenapa Mr Chuck terus saja membahas materi ini.

Kuselesaikan tugas yang diberikan Mr Chuck hanya dalam waktu beberapa menit, kulihat beberapa orang di kelas juga melakukan hal yang sama. Aku menaruh tugas di atas meja Mr Chuck lalu meminta izin untuk pergi ke toilet. Aku bisa mati bosan jika harus tetap diam di mejaku dijam pelajaran matematika.

Setibanya di toilet, aku menyalakan keran westafel dan menatap wajahku di cermin. Aku melepas kacamata dan memandangi wajahku yang memiliki sepasang bola mata dengan warna lensa yang berbeda, mata kananku memiliki lensa berwarna biru langit dan mata kiriku memiliki lensa yang berwarna coklat redup. Dokter pribadiku bilang jika aku mengalami Heterochromia atau bisa disebut kelainan mata yang membuat lensa mata penderita memiliki warna yang berbeda. Sahabatku Sidney pernah bilang jika aku memiliki lensa mata yang paling indah di dunia. Menurutku lensa ini adalah kelemahan. Tapi aku tidak pernah marah atau menyesalkan ini, lagi pula ayahku mengalami hal yang sama.

The Way You Look At MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang