7. Movement

306 30 0
                                    

Garasi mobil rumahku terlihat kosong, ibu dan ayah mungkin belum pulang. Sejenak aku lihat pelataran perumahan sunyi sepi diterangi cahaya lampu temaram yang menyelimuti beberapa sudut jalan. Suara samar lolongan anjing tetangga terdengar di telingaku. Untuk pertama kalinya dalam kurun waktu yang lama aku merasa kesepian.

Aku buka pintu dengan kunci cadangan yang ibu berikan untuk jaga-jaga saat ponsel di saku celanaku bergetar menandai ada pesan yang masuk.

> Sam, Ayah dan Ibu pergi keluar. Ada pesta di kantor malam ini. Mungkin akan pulang larut malam.

Aku membacanya sepintas lalu mematikan layar ponselku. Tidak ada hal lain di pikiranku selain merendamkan tubuhku di air hangat.

Lampu ruang tengah padam, begitu juga lampu dapur. Tidak ada niatan dariku untuk menyalakan lampu-lampu itu. Aku sedang ingin merayakan kesendirian.

Kacamataku sudah tergeletak di meja kamar mandi saat aku perlahan membuka baju. Aku tatap tubuhku yang telanjang di pantulan cermin. Otot bisepku sedikit longgar, mungkin aku harus mulai pergi lagi ke Gym.

Speaker bluetooth melantunkan alunan ringan suara piano di sela-sela cucuran air hangat. Aku sentuh tubuhku, meraba setiap bagian lekuknya. Kulit bertemu kulit yang lain. Aku memeluk diriku sendiri.

Pukul setengah satu malam dan belum aku dengar suara mobil, aku turun dari kamarku untuk mengunci pintu rumah. Ibu dan ayah mungkin benar-benar pulang larut malam.

Malam terlampau malam dan mataku masih sulit terpejam, aku jauhkan ponsel dari genggamanku dan memaksa diri untuk tidur. Tapi aku tidak bisa. Otakku tidak bisa berhenti berpikir tentang sesuatu yang tidak seharusnya aku pikirkan. Dari celah-celah itu terbesit satu nama, bagai virus yang menggerogoti sel otak, Lucas muncul di pikiranku.

***

Aku terbangun oleh suara alarm yang berdering terlalu pagi. Entah bagaimana aku bisa tertidur dari kesibukan semalam, kepalaku pusing karena kekurangan oksigen. Segelas air putih di sebelah tempat tidurku menjadi terlihat sangat menarik untuk diminum.

Aku habiskan dua puluh menit di kamar mandi untuk bersiap-siap berangkat pergi ke sekolah. Aku mengganti baju dan turun ke bawah. Ayah sepertinya sudah pergi bekerja karena aku lihat hanya ada ibu di meja makan.

"Good morning Sam," sapa ibuku.

"Morning."

"Ibu sudah siapkan roti isi."

"Terima kasih bu."

"Sam," ucap ibuku mengambang.

"Ya?"

"Ibu mau bilang sesuatu," ucapnya mendadak serius yang membuatku sedikit was-was.

"Ada apa Bu?"

"Ibu dan ayah akan pindah. Maaf ibu baru bilang sekarang, sebenarnya rencana ini sudah dari dua bulan lalu."

Aku terkejut namun memilih untuk diam.

"Ayahmu naik jabatan, dan kepala perusahaan mempercayai ayahmu buat pegang cabang perusahaan di tempat lain. Ayahmu memilih Washington DC," jelas ibuku.

"Pesta malam tadi?"

"Iya." Jawab ibuku singkat menjelaskan semua pertanyaan yang ada dalam benakku.

"Sam belum lulus Bu," ucapku pasrah.

"Ibu juga tahu itu, Ibu nggak maksa kamu buat ikut sama ayah, lagi pula ibu tahu kamu masih harus selesaikan sekolahmu di sini."

"Bagaimana dengan Ibu?" tanyaku.

Ibuku memandangku dari meja makan. "Ibu sudah buat ajuan ke kantor pusat sejak satu bulan lalu untuk pemindahan pegawai."

The Way You Look At MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang