23. Manta Ray

228 15 4
                                    

Aku berjalan sedikit lambat dibanding Thomas saat deru suara ombak terdengar semakin halus di telingaku. Orang-orang seperti penonton yang usai menyaksikan pertunjukan teater, satu persatu pergi dari pasir pantai saat matahari sudah benar-benar hilang dari pandangan. Thomas menjinjing papan selancar dengan tangan kirinya. Pundaknya yang basah seperti memantulkan cahaya dari lampu jalan yang menerangi perjalanan kami di sepanjang trotoar. Aku baru sadar kalau ia memiliki tato kecil di punggung dekat dengan lehernya. Tato itu seperti rasi bintang atau layang-layang. Aku perhatikan lagi - bukan, bukan keduanya. Ukiran hitam dengan garis-garis tipis itu menyimbolkan bentuk ikan pari.

Belum berani aku simpulkan, tapi sepertinya Thomas benar-benar menyukai ikan pari. Aku lihat corak bahkan warna yang sama di skateboard dan papan selancarnya.

Entah jalan Thomas yang melambat, atau aku yang mempercepat langkah kakiku. Kini kita berjalan berdampingan.

"Ada apa dengan ikan pari?" Tanyaku penasaran.

"Oh," Thomas tersenyum. Ia sontak melirik papan selancarnya. " Hanya suka saja."

"Kayaknya kamu obsesi banget sama ikan pari."

"Manta ray, Aku klarifikasi."

Ucapan Thomas tentang manta Ray mengingatkanku pada sebuah cerita tentang bangsa Polinesia yang terkenal sebagai bangsa petualang sejak dua ribu tahun yang lalau. Mereka berkelana dari satu pulau ke pulau lain, berlayar berdasarkan rasi bintang dan ombak laut. Manaruh kepercayaan pada gelombang dan gelembung. Manta ray mereka percaya sebagai 'spirit of the path'. Makhluk yang dipercaya sebagai petunjuk arah dan nasib seseorang. Bentang 'sayap' mereka melambangkan takdir, hitam punggung mereka melambangkan kematian, putih perut mereka melambangkan kehidupan. Bangsa Polinesia percaya, bertemu dengan manta berarti bertemu dengan kehidupan baru. Petunjuk bagi mereka yang tersesat.

Namun, bagai kabut yang menghilang di tengah luasnya samudra pada siang hari. Kisah bangsa Polinesia lenyap tanpa jejak yang pasti.

"Sedang memikirkan apa?" tanya Thomas disela-sela lamunanku.

"Sejarah kuno. Tentang manta ray dan-"

"Bangsa Polinesia." Ucap Thomas berbarengan denganku.

"Sudah sering aku dengar cerita itu, sayangnya kisah mereka nggak berlanjut. Kayak hilang dari peradaban," lanjut Thomas.

Aku mengangguk setuju, kisah manta ray itu seperti terlupa oleh zaman, atau lebih jelasnya. Dilupakan.

Setelah berjalan sekitar dua kilometer, masih di daerah pantai. Akhirnya aku sampai juga di tujuan. Toko musik Rocky itu berada di tengah tengah bangunan yang sepertinya sebuah cafe dan mungkin penginapan. Posisinya menghadap pantai, dengan hiasan neon warna-warni berbentuk saxophone di ujung tembok dekat dengan pipa air.

Thomas membuka pintu yang disambut dengan suara dentingan lonceng tembaga pemberi tanda bagi pemilik toko jika ada pelanggan yang masuk.

"Hello Thomas," sapa seorang laki-laki yang sedang sibuk mengepak barang. Yang aku yakini adalah pamannya.

"Hi Dev," Thomas menyandarkan papan seluncurnya ke dinding, "temanku Sam sedang mencari keyboard."

"Oke, tunggu sebentar, aku harus pindahkan dus ini dulu ke gudang."

"Baiklah. Sam aku mau mandi sebentar, kalau kamu sudah dapat alat musiknya, biar nanti aku antar lagi ke parkiran," ucap Thomas.

Aku mengangguk.

Thomas dan Dev pergi ke dalam ruangan di samping meja kasir, meninggalkan aku sendirian.

Aku melihat ke sekeliling, lumayan banyak juga alat musik di sini. Aku lihat belasan gitar, beberapa biola, bahkan sampai harpa.

The Way You Look At MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang