Sembilan

334 30 0
                                    

Satu minggu disini. Gue ngerasa, gue kayak babu! Bayangin gue disuruh Ali bersihin rumah, ngepel, nyapu, masakin dia, nyuci dan lain - lain. Plis deh!

Dan parahnya gue mau disuruh - suruh! Padahal negara sudah merdeka! Tetapi, nyatanya diriku masih dijajah.

Ntah, kenapa gue ngerasa nyaman dengan suasana rumah ini. Nyaman dengan Ali juga. Nyaman deh pokoknya!

"Eh, wait.. wait.. gue tadi bilang apa? Gue nyaman dengan Ali? Masa gue cinta? Gak--gak--gak mungkin." Gerutunya.

Ali yang melihatnya merasa ada aneh. "Len.."

"Gak.." lena masih terlihat menggerutu.

"Len.. kamu kenapa?"

Lena kaget. "Ha? Ali? Gak--gak mungkin." Frustasinya.

"Len, ada apa?"

"Oh! Gak kok." Sesekali diiringi kekehnya.

"Lena belum gila kan?"

Lena mengerucutkan bibirnya sebal. "Belum lah."

Suasana tiba - tiba hening. Rasa canggung menyelumuti diri mereka. Suara jangkrik yang sekarang menemani keheningan malam.

Tak lupa deruan angin meniup dedaunan pohon yang menimbullkan tampak daun melambai - lambai.

"Li../len.." ucap mereka barengan.

"Eh, barengan." Ucap mereka lagi. Tawa mereka sama - sama renyah.

"Yaudah, kamu duluan li."

Ali terperangah kaget. Apa ia salah mendengar? "Kok raut muka lo gitu sih li?"

"Hah? Engga len. Cuman kaget aja. Tadi, kamu panggil aku dengan sebutan kamu. Biasanya lo."

"Hah? Masa sih?"

Ali mengangguk. "Iya, len."

Namun, lena tak ambil pusing. "Ntahlah.. lo, duluan aja! Mau ngomong apa tadi?"

"Ladies first."

"Ya! Terserah." Lena menghela nafas sejenak. Lalu dia angkat bicara lagi. "Gini li, sebenarnya gue gak betah disini."

"Ya, terserah. Kamu mau pulang?"

Lena mengangguk. "Ya."

"Oh."

Rasanya ingin lena menjedotkan kepalanya ke tembok. Ia rasa tak ada gunanya berbicara dengan air dingin. "Kok, jawabnya gitu sih. Elah, gak mau nyegah gue?"

Ali terheran. Memang dia siapa? Sok penting banget! "Sama sekali tidak!. Karena aku pikir, kamu bikin ribet."

"Ok, fine!" Lena mendengus sebal.

Ali terkekeh. "Gak! Tadi, cuman bercanda. Aku tahu kamu kangen keluarga kamu. Cuman kan kita belum belajar ngaji. Ntar, kalau kamu sudah lebih baik lagi. Boleh deh pergi." Tukasnya panjang lebar.

Lena melirik sesekali. "Beneran?" Wajah lena terlihat sumringah. Pipi chubbynya terlihat mengembang.

Tapi, seakan sirna. Senyumnya meredup. "Tapi, masih lama. Gimana dengan sekolah gue? Gue mau UN."

"Masih mikirin UN? Gimana kamu masih mikirin itu? Kalau kamu masih suka tawuran?"

"Lo, gak pernah tahu hidup gue! Jadi, gak usah sok tahu li."

Ali menggeleng. Memang harus extra yang lebih. Jika, berbicara dengannya. "Bukan sok tahu. Tapi, nanti aku bakal nyariin guru buat kamu."

Lena terperangah kaget. "Maksud lo apa?"

Secangkir Teh (ENDING)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang