Duapuluh delapan

402 31 0
                                    

"Ha--ya." Hati lena semakin tak karuan. Sebenarnya ada rasa takut menghinggapi hatinya kini. Takut jika malah kenyataan pahit yang ia terima.

"Len.." ucapan itu mengusik lamunan lena. Hingga lena tersadar.

"I--iya." Ucapnya gugup.

Kali ini Ali harus tegas. Tak mau lagi dia merasa menyesal nantinya. Karena perkara ini sudah dipikirkan matang - matang sebelumnya.

"Siap gak siap kamu harus siap."

"Gue siap li."

"Aku bingung harus mulai darimana." Ucapnya sambil berpikir.

Lena hanya diam. Ali kembali melanjutkan katanya. "Soal buku diary kamu. Aku minta maaf, udah lancang baca. Maksudku gak sengaja baca."

Lena memaklumi. Karena ia yang teledor. "Gapapa li." Ali tersenyum lega.

"Soal abel itu semua bohong." Lena makin tak paham.

"Maksud lo?" Ucapnya sedikit bingung.

Ali menghela nafas kasar. "Abel mengarang cerita tentang aku len. Bahkan Umi dan Abi tidak merestui hubunganku dengan abel."

Ada rasa yang begitu lega. "Lalu?"

Deguban jantung Ali begitu berpacu lebih cepat sekarang. Ingin rasanya dia berhenti tak ingin melanjutkan penjelasannya.

Tapi, itu tak mungkin karena dia sudah ingin menjelaskannya pada lena. Biar hatinya makin tenang tak ada lagi kesalah pahaman.

Ali lagi dan lagi menghela nafas kasar. "Lo kenapa sih? Udah cepetan!"

"Aku sebenarnya--" belum sempat menjelaskan sudah terpotong.

"Li.." teriak Ira lalu menghampiri Ali dan lena. Lena rasanya kesal.

"Ada apa mah?"

"Ini umi mirna telpon."

"Mirna yang kena kopi sianida itu?" Tanyanya polos. Ali mendelik seketika. Padahal sambungan telphone diseberang sana sudah terhubung. Umi mirna terdengar tertawa.

Bagaimana lena tak tahu nama uminya. Gawat! Ira terkekeh geli. "Bukan, itu loh uminya Ali." Lena tampak kaget. Muka kagetnya seperti orang konyol.

Malu rasanya. "Maaf li gue gak tahu." Ali mengangguk tersenyum.

"Ini li.." sembari mengulurkan benda pipih nan ramping ke tangan Ali.

"Assalamu'alaikum umi.."

Lena tak begitu jelas mendengar Ali bicara. Yang dia dengar pas udah selesai telphone.

"Iya mi. Ini lagi proses doain ya. Wa'alaikumsalam." Sambung suara terputus. Kemudian Ali mengembalikannya.

"Yaudah kalian lanjutin ngobrolnya. Mama kedalam dulu ya li, len." Ali mengangguk sembari tersenyum. Sementara lena hanya mengangguk.

"Li, sebelum lo cerita. Kasih tahu nama bonyok lo dulu. Biar gue tahu." Ali mengernyit heran.

"Untuk apa?"

"Yaela. Ya, biar gue tahu. Malu - maluin kalau calon mantu tapi, gak tahu." Ucapnya lirih sambil menunduk.

"Hah? Tadi ngomong apa?" Lena mengelus dadanya. Untung Ali gak denger.

"Iya, pengen tahu aja. Nama Abi dan Umi siapa?"

Ali pasrah saja. Harusnya memang ini kelewatan. Masa dia gak tahu. "Umi namanya Mirna. Kalau Abi namanya Halim."

Lena lega sekarang karena dia sudah tahu. "Yaudah lanjutin cerita yang tadi." Ali lagi dan lagi menghela nafas.

"Sebenarnya abel itu bohong."

Secangkir Teh (ENDING)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang