siedemnaście | seventeen
❝last breath.❞
++
dosen itu terdiam sesaat, membuat harry tersenyum sambil mengelap dahinya yang berkeringat.
"gue pinter kan, mau apa lo," ucap harry disela-sela senyum liciknya.
tuan william ikut tersenyum, dan harry bersumpah dia merasa kakinya lemas. dia tiba-tiba merasa takut. senyuman dosen itu seolah membunuh harry pelan-pelan.
"hidup itu pilihan, harry styles," ujar dosen itu memulai. dia berdiri, lalu duduk di ujung mejanya, menghadap harry. "ilusi diciptakan untuk mengelabui pikiran. sebelum kamu kembali ke kehidupan nyata, harus ada ingatan yang dicabut bersama ilusinya."
harry mencoba memproses ucapan dosen itu, lalu mendesah. "cabut ingatan temen-temen gue. liam termasuk."
dosen itu tersenyum lagi. "selalu ada cara untuk jadi sopan di depan orangtua, styles."
harry memutar bola matanya. "cabut ingatan teman-teman saya. liam termasuk."
"bukannya itu tindakan egois?" dosen itu memainkan jarinya di dagunya. "kamu ingat semuanya, tapi teman-teman kamu enggak."
"setidaknya ini wish saya, pengalaman saya. bukan mereka."
dosen itu mengangkat alisnya lalu bertepuk tangan, tapi harry bisa tahu itu tepuk tangan sarkastik. "kamu paling pintar ya kalau disuruh mencecar omongan orang. berapa nilai bahasa inggrismu di kelas?"
"tolong. jangan. main. main."
dosen itu tertawa karena harry berubah jadi emosi lagi. dia mengambil setumpuk kartu yang terletak di mejanya, lalu mengocoknya dengan cepat.
"luke dan emily, ya? ahhh, mereka pasangan favorite saya di kampus ini," kata dosen itu sambil menatap langit-langit dan tersenyum. "kamu mau merebut emily lagi?"
harry tidak menjawab, dia hanya menatap kartu-kartu yang terus dikocok oleh dosen itu.
"lihat? kamu bertindak egois lagi, styles. kembali ke 2014, menghilangkan ingatan teman-teman kamu tentang masa depan mereka, lalu merebut emily," gumam dosen itu sebelum melanjutkan, "dari sahabatmu sendiri."
harry mencibir. "emily suka sama siapa duluan? saya, hello. saya menang."
dosen itu tertawa lalu berhenti mengocok kartunya. "kamu itu... antara polos dan pinter ngomong, ya."
"bapak udah bilang begitu ratusan kali," kata harry sebal.
dosen itu tak menjawab. dia menatap kartu-kartu yang ia pegang. harry ikut menatapi kartu-kartu itu dan melihat itu hanya kartu remi biasa.
"kamu kira kamu bisa merubah takdir. dasar anak SMA, tahu apa sih," kata dosen itu lalu melesatkan kartu pertamanya pada harry. kartu pertama berhasil mengenai pipi harry yang sekarang berdarah.
"woy!" harry menutupi wajahnya yang sekarang diserbu oleh kartu-kartu yang melesat cepat dengan kedua tangannya, dan harry bisa merasakan perih di sekujur tangannya.
"pikiran kamu akan melesat secepat kartu ini melesat di hadapan kamu, harry styles."
harry merasakan tangannya semakin perih. tapi harry terus bertahan, atau wajahnya akan jadi korbannya. harry mencoba tidak berteriak atau meringis sama sekali.
semakin kita terlihat lemah, semakin mudah dikelabui.
tepat sebelum harry ingin menyerah menurunkan tangannya, kartu-kartu tidak lagi melesat menyayat tangannya. perlahan, harry menurunkan tangannya.
hal pertama yang ia lihat adalah sinar matahari jam 9 yang menyilaukan matanya. cowok itu langsung menutupi bagian matanya dengan tangan untuk beberapa saat, lalu melihat sekeliling.
mata harry membelalak dan dia bisa merasakan tangannya membeku.
harry berdiri di tempat yang sama saat ia dan emily terlibat perbincangan tentang bagaimana emily menyukai harry sejak pertama kali mereka pertemu.
lalu sebuah suara yang sangat familiar mengalir melewati telinganya.
"harry?"
untuk beberapa saat, nafas harry tercekat seolah dia tidak akan bernafas lagi setelah ini.
***
this chapter is a mess muuph