—Sore hari. Waktu mengajarku telah tiba. Aku berdiri di depan papan tulis dan memegang sebuah kapur.
"Selamat Sore, anak-anak."
""Selamat Sore, pak Angga.""
Mereka secara kompak menjawab salamku.
"Perkenalkan, aku guru pembimbing kalian yang baru. Mungkin kalian sudah tahu, tapi akan aku akan memperkenalkan diriku lagi. Namaku Anggara Karna. Berasal dari Universitas Kuntawijaya Jakarta. Aku akan mengajar kalian setiap sore di sini. Salam kenal. Ada yang ingin ditanyakan?"
Aku memperhatikan ke enam anak yang sedang duduk di depanku. Sepertinya mereka antusias dengan pelajaran yang akan aku berikan.
Sepertinya, mereka semua tidak ada yang ingin bertanya.
"Baiklah. Karena ini hari pertama aku disini, bagaimana kalau kita perkenalan saja?"
Andini menyarankan hal ini saat pertama kali harus mengajar.
Yah, sebenarnya aku punya kenangan buruk tentang perkenalan itu sendiri, sih. Itu masa lalu yang memalukan.
"Di mulai dari anggota nomor 3, Agus Purnomo."
"Ah! Baik!"
Dia sepertinya terkejut.
"Nama saya Agus Purnomo, umur saya 11 tahun."
"Hobimu? Dan apa cita-citamu?"
"Hobi saya bermain bersama kelompok Laskar Nyawiji. Cita-cita saya menjadi seorang polisi."
Sepertinya ia memilih menjadi polisi karena ingin menegakkan keadilan.
"Baiklah selanjutnya. Anggota nomor 4, Wardoyo."
"Nama saya Wardoyo, umurku 10 ta— atau 11 yah? Saya lupa. Hehe. Hobi saya mungkin kalau tidak main ya tidur. Kalu tidak tidur ya makan. Cita-cita mungkin ingin jadi dokter, oh mungkin satpam juga bisa. Hehe"
Aku tersenyum tipis saat melihat tingkah anak yang satu ini. Ia memiliki banyak keraguan, tapi ia sebenarnya memiliki potensi yang tinggi sebagai pemimpin.
"Selanjutnya anggota nomor 6, Siti Pujiastuti!"
Aku mengalihkan pandanganku ke Tuti.
"Nama saya Siti Pujiastuti, umur saya 11 tahun. Hobi saya menggambar. Cita-cita saya ingin menjadi guru."
Ia memikirkan kemungkinan menjadi guru untuk anak-anak yatim piatu seperti dirinya. Itu yang aku tangkap dari apa yang ia cita-citakan.
"Anggota nomor 7, Tito Yulianto."
"Oke, whatss ap bro? Nama gue Tito Yulianto. Umur gue—"
"Bicara yang sopan!"
Tiba-tiba Tuti memukul kepala Tito dengan buku yang ia pegang.
"Maaf-maaf. Soalnya gaya kayak gitu lagi ngetren."
"Haha, oke. Ulangi" Kataku.
"Nama saya Tito Yulianto, umur saya 12 tahun. Untuk hobi, saya suka menciptakan jurus tendangan baru. Oh, akhir-akhir ini saya mempelajari jurus Tendangan si Mudan! Pak Angga mau liha— Aduhduduh eiy sakit."
Tangan Tuti mencubit kaki dari Tito. Tuti menatap tajam Tito seolah mengatakan 'Aku akan lebih kejam dari ini jika kau mulai ngawur'. Sikapnya mengingatkanku pada Andini yang sekarang.
"Kenapa kau selalu jahat padaku, Tuti? Aduh. Dan selanjutnya cita-cita saya menjadi hoka— maksudku pemain Timnas Indonesia!"
Sepertinya kecintaannya terhadap sepakbola melebihi apa yang aku perkirakan. Tujuannya sangat bagus bagi anak seusianya.
"Selanjutnya anggota nomor 10, Nurul Aisyah."
"Eemm... Nama saya Nurul Aisyah. Umur 10 tahun. Hobi saya melihat orang senang. Cita-cita saya membuat semua orang bahagia."
Suaranya yang kecil hampir tidak terdengar olehku. Namun, aku berhasil menangkap apa yang ia katakan.
Satu lagi sebuah impian polos anak kecil yang mungkin sulit untuk diwujudkan. Namun, tidak ada salahnya bermimpi seperti itu. Selama kau bisa bermimpi, kau bisa membayangkan apapun walaupun hal itu sangat mustahil.
Ah, sepertinya perkiraanku tentang usia Aisyah sedikit meleset.
"Anggota terakhir nomor 16, Sugino Tejo."
"Sugino Tejo, 12 tahun, membaca, tidak ada."
Perkenalan yang tanpa 'babibu' dari seorang Sugino. Aku mengernyitkan dahi mendengarnya.
Yah walaupun aku sudah mengetahui kepribadiannya, aku hanya sedikit terkejut.
"Bukannya itu tidak jelas, Gino?"
Tuti menyangkal perkenalan Gino yang terlalu singkat. Kepribadian Tuti yang cukup tegas bagi seorang anak perempuan membuatnya seperti leader ke 2 dari kelompok yang dipimpin oleh Sugeng.
"Terserah aku kan? Lagipula pak Angga tidak masalah dengan itu."
Bukannya tidak masalah sih. Tapi aku tidak ingin mempermasalahkannya.
"Hahah. Ya bolehlah, Gino" Kataku.
"Uhh, pak Angga terlalu lembek dengan Gino dan Tito."
"Kenapa aku dibawa-bawa juga?"
Tito yang namanya dibawa-bawa merasa sedikit jengkel.
"Sudah-sudah."
Aku mencoba menenangkan mereka. Sepertinya mereka akan sulit dikendalikan. Aku bingung bagaimana cara Ayu mengatur mereka.
Akupun tersenyum lebar dan menarik napas dalam-dalam.
"Kita mulai pelajaran hari ini ya?!"
Setelah mereka tenang, kamipun memulai kegiatan belajar kami.
*****
—"Besok bulan purnama muncul lagi kah?"
Gadis itu bergumam di bawah sinar rembulan yang hampir membulat sempurna. Gadis bersurai hitam panjang tersebut mendongak ke atas dengan ekspresi resah dan khawatir.
Aku tidak mengerti apa yang ia khawatirkan dengan fase purnama. Sebenarnya aku ingin menghampirinya dan menanyakan apa yang ingin ku ketahui kepadanya. Namun, aku rasa malam ini bukanlah waktu yang tepat juga.
Setelah selesai mengajar anak-anak panti, ada seorang tamu yang mengantarkan sesuatu untuk gadis itu. Karena itulah aku berada disini. Tapi, sepertinya ia tidak ingin diganggu oleh siapapun.
Jadi, aku memutuskan untuk bersembunyi sambil mengamati gerak-geriknya.
"Ini bukanlah hal yang aku inginkan."
Gadis itu memejamkan matanya. Bibirnya bergetar. Setetes air mata keluar membasahi pipinya yang memerah.
Sebuah angin sepoi-sepoi mengibarkan rambut hitam panjangnya. Tangan mungil gadis itu menyeka rambutnya agar tidak menghalangi wajahnya.
"Aku benar-benar tidak tahan dengan hal ini."
Gadis itu terus menggumamkan hal yang sukar aku mengerti. Sepertinya gadis tersebut memiliki masalah yang cukup besar.
Ia mungkin sangat terpukul dengan insiden yang terjadi akhir-akhir ini.
"Aku hanya ingin pulang."
Gadis tersebut kembali menyeka air mata yang keluar dari mata topas cokelatnya.
"Ibunda, apa yang harus aku lakukan—"
Ia memanggil nama seseorang yang berarti baginya. Ia menggantung kalimatnya dalam satu tarikan napas.
"—untuk menghentikan keserakahan manusia?
Gadis yang bernama Ayu tersebut, menggeretu di bawah hembusan angin malam. Tanpa menyadari, ada seseorang yang mengamatinya dari jauh.
.
.
.
.
~~Bersambung~~
KAMU SEDANG MEMBACA
Loro [END]
ActionPenculikan yang marak terjadi akhir-akhir ini mulai meresahkan warga. Kebanyakan korban penculikan yang kembali, tidak ada yang hidup. Kebanyakan dari mereka dikembalikan dalam kondisi mati mengenaskan dengan organ dalam yang hilang. Sisanya, hanya...