Pitu : Air Mata di Danau yang Indah

66 7 1
                                    

—Hari ke dua, pukul 07:23 A.M

Aku masih berada di dalam kamarku. Memikirkan kemungkinan penyelesaian masalah dari beberapa informasi yang aku dapatkan kemarin.

Aku menuliskan di secarik kertas apa yang aku pikirkan saat ini. Jika waktunya sudah tiba, aku akan menghubungi Wijaya untuk mendiskusikan hal ini.

Yang belum ku dapatkan adalah waktu kapan terjadinya penculikan tersebut. Itu yang masih aku pikirkan.

Apa waktu kejadiannya beraturan atau secara acak?

Mungkin aku bisa menanyakannya ke beberapa penduduk desa. Tapi, jika seperti itu sepertinya aku akan terlihat mencolok. Mungkin saja ada kemungkinan aku akan diawasi oleh seseorang dari komplotan penculik itu.

Mengenai Ayu yang tadi malam mengkhawatirkan malam purnama sepertinya bukanlah tanpa alasan. Mungkin bisa saja ada kejadian yang akan terjadi malam ini.

Baiklah, sudah ku putuskan. Aku akan mengikuti arus yang akan membawaku ke lautan malam ini.

Aku mengambil secangkir teh yang sudah ku tuangkan beberapa saat lalu. Bau harum melati tercium jelas oleh hidungku.

Aku menyeruput air teh tersebut dan menumpahkannya ke tenggorokanku. Rasa hangat langsung menyelimuti tenggorokanku. Teh yang tersedia disini lumayan enak juga.

Meletakkan kembali cangkir kosong tersebut, aku kemudian berdiri dan beranjak dari tempat dudukku.

Mataku melihat keluar melalui jendela yang terdapat di samping ranjangku. Suasana desa yang asri masih terasa di daerah ini membuatku beberapa kali merasa takjub.

Udara yang bersih tanpa polusi, tanaman hijau yang tumbuh dimana-mana, dan banyaknya lapangan terbuka. Ini benar-benar desa yang nyaman. Tapi kekurangannya adalah keamanan dari desa itu sendiri.

Penculikan yang terjadi semenjak 8 bulan yang lalu menjadikan desa yang indah ini seperti neraka bagi anak-anak. Kebebasan mereka sangat terkekang di daerah ini. Mereka seperti burung dalam sangkar.

Dan dari beberapa burung tersebut, ada burung yang memberontak. Ia ingin terbang bebas sesuai keinginannya. Ia mempengaruhi burung-burung lain agar mengikuti dirinya.

Aku penasaran, apakah akhir dari mereka adalah mati tertembak oleh pemburu atau jatuh karena kerasnya alam.

Akupun menolehkan pandanganku ke secarik kertas yang tadi aku gunakan.

Batas waktuku dibawah 2x24 jam lagi. Aku harus melaksanakan strategi ini sebelum hari ke tiga. Fakta bahwa aku masih hidup seperti ini mungkin masihlah sebuah keberuntungan.

Aku yakin dari pihak oposisi sudah mengetahui keberadaanku saat ini. Tapi, mereka masih belum bertindak sebelum memiliki banyak bukti tentangku.

"Anda sepertinya menikmati waktu anda ya, Mas Angga?"

Aku menoleh ke arah pemilik suara itu. Ayu sedang berdiri di depan pintu. Ia mengenakan pakaian santainya saat ini. Karena ini hari Minggu, pasti sekolahnya libur. Jadi, aku memanggilnya kesini.

"Ah masuklah."

Aku mengajaknya masuk ke dalam kamarku. Mungkin ini sedikit melanggar norma untuk membiarkan seorang gadis masuk ke dalam kamar laki-laki.

Merasa diizinkan, Ayu masuk ke kamarku dan berdiri di belakangku. Ia seperti membuat jarak denganku.

"Kau sudah memikirkannya?" Tanyaku.

"Ah.. iya."

Gadis beriris topas cokelat itu menundukkan wajahnya. Sepertinya ia memiliki sedikit keraguan.

Loro [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang