Nembelas : Hujan Kematian di Desa yang 'Damai'

46 6 0
                                    

—Tetes air mulai berjatuhan dari awan yang sudah tidak mampu menampung mereka. Setiap dari tetesan tersebut turun membasahi bumi. Aroma tanah tercium seiring mulai derasnya hujan yang turun.

Aku menatap setiap dari tetesan hujan yang turun tersebut.

Setiap tetesan hujan itu membawa kesedihan yang terpendam. Air hujan seperti air mata. Saat hal tersebut tidak dapat di tampung lagi, tangispun akan pecah dan mulai membasahi daerah di sekelilingnya.

Tetesan air itu menimbulkan suara gemercik dan membuat tanah tersebut menjadi becek. Perlahan, aku bisa melihat genangan air di halaman panti. Genangan tersebut mulai meluas dan bersatu dengan genangan yang lain.

"Hujannya semakin deras."

Seseorang di sebelahku bergumam. Ia juga sama-sama menatap air hujan yang turun sepertiku. Gadis itu bersandar di tiang kayu yang menyangga atap di teras.

Dilihat dari ekspresinya, ia mungkin masih mengkhawatirkan sesuatu.

Setelah aku menemui Sugeng yang bertindak egois, aku menceritakannya kepada Ayu. Aku menceritakan bagaimana aku membiarkan Sugeng untuk memilih jalannya sendiri. Ayu sepertinya mengerti apa maksud dan tujuanku membiarkannya.

Tapi, ia sepertinya masih mengkhawatirkan anak itu.

Jika anak itu mampu menekan emosinya, aku yakin ia tidak akan bertindak gegabah. Aku tidak yakin jika anak itu masih mengikuti hawa nafsunya. Ia bukanlah anak yang bodoh. Ia adalah anak yang memiliki pemikiran yang hebat. Anak yang bercita-cita sebagai pahlawan keadilan itu pasti mengerti apa yang harus ia lakukan.

Kebebasan memilih. Itu yang coba aku berikan kepada anak-anak itu. Tapi, apakah mereka mampu mengatasinya atau malah jatuh karena tertembak.

Aku kembali menatap hujan yang masih turun dengan deras. Seekor burung yang berpikir dirinya sudah bebas mungkin akan berpikir ulang. Keadaan hujan yang turun dengan lebat sangat menghambat bagi dirinya untuk terbang bebas. Jika ia terus memaksa, maka ia akan jatuh karena kerasnya hukum alam.

Begitu pula manusia, mereka juga tidak akan mampu melawan takdir yang sudah ditentukan. Kelahiran, jodoh, bencana, dan juga kematian adalah takdir yang tidak akan mampu diubah oleh manusia. Mereka hanya bisa menunggu kapan takdir tersebut menjemputnya. Takdir itulah hal yang mengekang kebebasan manusia tersebut.

Orang tua itu mengatakan kalau kebebasan manusia itu hanya hal yang semu. Manusia tidak akan pernah bebas semasa hidup mereka. Mereka akan terus terikat oleh peraturan, hukum, dan takdir. Mereka tidak akan mampu menolak hal tersebut.

"Apa Sugeng baik-baik saja?"

Gadis beriris cokelat topas itu masih menatap guyuran hujan. Ia memeluk dirinya sendiri karena merasa kedinginan. Bibirnya tidak menunjukkan senyum seperti yang biasa ia lakukan.

"Yah. Mungkin."

Aku menanggapi pertanyaan Ayu dengan singkat.

Suasana duka masih menyelimuti rumah ini. Anak-anak yang biasanya bermain bersama Ayu jika siang hari, masih meringkuk di kamar mereka. Mereka juga tidak menghabiskan makanan mereka.

Jika saja Sugeng memilih jalan yang salah, maka bisa dipastikan kelompok Laskar Nyawiji akan goyah. Mereka pasti bagaikan anak ayam yang kehilangan induknya. Semangat dan keberanian yang mereka miliki akan meredup. Dan berakhir dengan kehancuran diri anak-anak tersebut.

Aku kembali bertanya kepada diriku sendiri.

"Apakah yang aku lakukan sudah benar?"

Aku menatap langit yang mendung. Air dari langit tersebut bagaikan berlian di antara langit yang gelap. Pantulan cahaya dari tetesan hujan itu seolah bersinar di kegelapan.

Loro [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang