Wolulas : Malaikat Kecil yang Memberi Senyuman

53 6 0
                                    

Aku kecolongan, aku kecolongan, benar-benar kecolongan. Aku lengah, sangat lengah, benar-benar lengah. Ini salahku, salahku, salahku.

Aku memegang kepalaku yang terasa sakit. Rasa sakit ini benar-benar berbeda dari rasa sakit yang pernah aku rasakan. Baru pertama kali aku merasakan kegagalan yang cukup fatal kali ini. Aku terus-menerus membenamkan wajah ke tangan ku. Mencoba untuk mengurangi rasa bersalahku.

Andai saja waktu itu aku mencegah anak itu, pasti tidak akan terjadi seperti ini. Aku pasti tidak akan merasakan hal seperti ini.

Pak Karto memutuskan membawa mayat Sugeng lebih cepat sebelum anak-anak panti yang lain menyadari kematian Sugeng. Setelah Pak Karto membawa mayat Sugeng pulang, aku pergi ke tempat ini tanpa diketahui oleh Ayu atau oleh siapapun.

"Haaaaaaaah."

Aku menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Aku melakukan hal itu berulang-ulang agar diriku sedikit merasa tenang.

Perlahan, aku mendengar suara aliran air danau. Akupun menoleh ke arah danau yang ada di depanku. Aku mengambil bebatuan di sekitarku dan melemparkannya ke air danau.

Aku berkali-kali melakukan hal tersebut untuk mengurangi emosiku.

Merasa emosiku sudah mereda, akupun berjalan terhuyung-huyung menuju pinggir danau. Mataku menatap air yang mengalir di danau tersebut. Tidak, aku sebenarnya menatap bayanganku sendiri di danau tersebut.

Aku benar-benar payah kan? Sialan!

Aku membasuh mukaku menggunakan air danau tersebut.

Dingin. Begitu dingin.

Tapi belum cukup untuk mendinginkan pikiranku. Pikiranku sekarang sangat kacau. Aku sudah tidak mampu memikirkan tentang untuk apa aku disini dan untuk apa aku melakukan hal seperti ini. Aku mulai merasa kalau misi yang diberikan oleh Wijaya ini sangat berat.

Apalagi ini adalah misi tingkat menengah perdanaku. Sial!

Aku kembali melempar batu ke tengah danau.

Aku mencoba melupakan hal tersebut. Pandanganku kemudian menelusuri danau ini. Air tenang yang aku lihat perlahan membuat pikiranku dingin.

Entah kenapa aku merasa apa yang dikatakan oleh Ayu itu benar. Air di danau ini sangat menenangkan.

Ah, aku melihat pantulan rembulan dari balik air tersebut. Sontak, akupun menoleh ke atas. Bulan purnama sedang bersinar terang. Langit yang gelap itu di taburi oleh cahaya bintang yang sangat indah. Awan mendung yang sejak pagi memenuhi langit sekarang sudah tidak ada.

Perlahan ku rasakan angin sepoi-sepoi menerpa tubuhku. Angin itu membuatku merasa sedikit lebih tenang sekarang.

"Apa yang Pak Angga lakukan di sini?"

Sebuah suara yang lembut menyadarkan diriku dari lamunanku. Sebuah suara yang sangat familiar bagiku.

Akupun dengan ragu menoleh ke asal suara tersebut. Sesosok anak kecil tengah berdiri di belakangku. Pakaiannya berkibar tertiup oleh angin sepoi-sepoi. Iris hitam oniksnya menatapku dengan tatapan khawatir.

Aisyah? Kenapa dia ada di sini?

"Aisyah mohon, jangan menangis."

Ia mengatakan kata-kata itu dengan nada yang lembut. Hal itu menyentuh perasaanku.

Perlahan angin kembali bertiup kencang. Akupun menutup mataku untuk menikmati semilir angin yang berhembus. Kemudian aku mengusap bekas air mata yang ada di pipiku dan tersenyum.

Akupun menatap Aisyah dengan pandangan lembut.

"Aku tidak menangis kok. Mataku hanya kemasukan debu."

Loro [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang