Limolas : Memberi Pilihan Kepada Burung yang Gegabah

42 4 0
                                    


—Aku mengamati mereka dari kejauhan. Setelah pemakaman Bimo, mereka berkumpul di pinggir lapangan panti. Mereka duduk termenung. Sorot kesedihan terlihat dengan jelas dari wajah mereka.

Kehilangan teman mereka memang sangat menyakitkan. Dan ini berulang kali mereka rasakan. Satu persatu anggota yang mereka miliki berkurang.

Akupun kembali merasa bersalah.

Angin berhembus. Suhupun semakin dingin. Langit mulai bergemuruh. Awan hitam memenuhi penjuru langit. Hujan kesedihan mungkin akan turun di musim kemarau ini.

Jika aku mengingat kata seseorang, ini mungkin adalah hujannya orang yang meninggal.

"Sepertinya mereka sangat sedih."

Kata seseorang yang sedari tadi berada di sampingku. Gadis itu absen dari sekolahnya karena kejadian ini. Jadi, ia masih berada di rumah.

"Yah."

Aku menyetujui pernyataan gadis di sampingku.

"Kau tidak mau menghibur mereka?" Tanyaku.

Ia menggeleng.

"Kenapa tidak Karna saja yang menghibur mereka?"

Ayu tersenyum ke arahku. Sebuah senyum sedih ia tunjukkan ke arahku. Sepertinya ia lebih emosional jika berada di dekatku. Apa hanya perasaanku saja?

"Hah."

Aku menghela napas.

Jika Ayu yang menghibur mereka, mungkin Ayu juga akan merasakan rasa bersalahnya lagi. Iapun memintaku untuk menggantikannya untuk menghibur mereka.

"Lebih baik biarkan saja mereka."

Cara yang terpikir olehku adalah untuk membiarkan mereka. Mungkin itu akan membantu mendewasakan mental mereka.

"Apa Karna yakin?"

Aku terdiam. Mataku kembali menatap kelompok anak-anak itu.

Keadaan mereka sangat menyedihkan. Udara di sekitar mereka menghitam. Aku menelusuri satu persatu anak-anak itu.

Wardo, Gino, Agus, Tuti, Tito, Aisyah, dan Sugeng.

Mereka bertujuh masih bergeming dan tidak tahu ingin melakukan apa. Mereka tidak bisa menentukan apa yang akan mereka lakukan karena Sugeng juga ikut bungkam.

Sepertinya Sugeng adalah orang yang sangat terpukul dengan kepergian salah satu anggotanya. Ia terus menerus menatap ke bawah dengan tatapan kosong. Padahal ia adalah orang yang sangat berkomitmen untuk melindungi anggotanya, tapi ia kembali gagal. Karena itu ia sangat terpukul.

"Entahlah."

Aku menyandarkan tubuhku ke sandaran kursi. Aku lalu mendongakkan kepalaku dan menatap langit-langit atap. Lampu dibiarkan menyala karena hari ini gelap karena mendung.

"Sepertinya Karna juga tidak bisa membiarkan mereka seperti ini kan?"

"Kenapa kau berpikir begitu?"

"Entahlah. Kenapa ya?"

Bibirnya tersenyum manis. Angin kembali berhembus meniupkan rambut panjangnya. Harumnya shampo tercium dari rambut hitamnya. Sepertinya ia mencoba mengatakan 'pasti kau sudah tahu alasannya.'.

Akupun ikut tersenyum tipis dan menoleh ke arahnya. Gadis yang baru ku kenal 2 hari yang lalu ini benar-benar mengerti apa yang sebenarnya aku pikirkan.

"Maaf, aku pulang lebih dulu. Kalian bermainlah tanpa diriku."

Aku menengok ke arah gerombolan itu lagi. Sugeng yang sedari tadi diam berjalan meninggalkan mereka. Ia berjalan sambil menunduk seolah tidak ingin melihat langit. Perlahan, Sugengpun pergi menjauh dan tidak terlihat lagi.

Ditinggal oleh pemimpin mereka, anggota yang tersisa mulai goyah. Mereka tidak memiliki seseorang yang memberikan keberanian kepada mereka.

Kemudian, satu persatu dari mereka meninggalkan tempat itu tanpa ada sepatah katapun yang keluar dari mulut mereka.

Mereka berjalan ke arah kami. Seperti tidak memiliki tulang, mereka berjalan gontai dan duduk di lantai teras. Mereka kembali terdiam. Tidak ada sapaan seperti yang biasa mereka lakukan. Bahkan Tito dan Wardo yang biasanya berisik ikut hanyut dalam kesedihan.

Aisyah datang dan langsung memeluk Ayu. Aku melihatnya dengan iba.

Aku sedikit terkejut saat menyadari Aisyah tidak menangis sama sekali. Ia hanya terdiam di pelukan Ayu.

Akupun beranjak dari tempat dudukku.

"Ada apa Karna?" Tanya Ayu.

"Aku ada urusan sebentar."

Akupun pergi meninggalkan mereka yang masih dalam suasana duka.

****

—Aku melihat ke sekeliling. Aku tengah mencari anak itu. Pasti ia belum jauh dari sini.

Dan benar saja, ia tengah berjalan dengan sempoyongan ke suatu tempat. Akupun mengikutinya dari belakang.

Dari rute yang ia ambil, aku mengerti dia akan pergi kemana. Akupun dengan segera menghampiri anak tersebut.

"Apa yang akan kau lakukan?" Tanyaku.

Anak berambut jabrik itu berhenti.

"Itu bukan urusanmu kan?"

Anak itu tidak mau menunjukkan wajahnya. Sepertinya ia tidak mau wajah sedihnya dilihat oleh orang lain.

"Jika itu menyangkut kalian, itu adalah urusanku."

"Heh. Bukannya kau hanya pengajar biasa di panti? Sayangnya aku bukanlah anak panti. Itu artinya kau tidak berhak ikut campur."

Ia berkata dengan nada merendahkan.

Hoh.

"Lalu, apa yang akan kau lakukan?"

"Tentu saja, aku akan mencari penculik itu dan membalaskan dendam teman-temanku!"

Amarah yang ia miliki sepertinya sudah sampai pada puncaknya. Ia kehilangan pemikiran logisnya dan memilih keputusan yang sangat gegabah.

"Heeeh.. Apa kau memiliki suatu rencana?" Tanyaku memprovokasinya.

Tiba-tiba ia terdiam. Sudah aku duga ia hanya menuruti hawa nafsunya. Jika ia mengikuti nafsunya, sudah dipastikan ia hanya akan menemui jalan buntu.

Akupun berjalan melewati anak itu dan berhenti tepat di depannya. Akupun menoleh ke belakang untuk melihatnya.

"Bagai mengejar langit tanpa tahu bagaimana caranya terbang huh?"

Mendengar itu, Sugeng menggeram marah.

"'Aku tidak akan kehilangan anggota lagi. Aku tidak ingin kalian pergi'. Bukankah itu yang kau inginkan?"

Aku mengutip kata-kata Sugeng saat sebelum semua anak-anak menyelesaikan permainan.

"Apa maumu?!"

Ia menatapku tajam.

"Apa yang akan terjadi jika dirimu yang pergi? Aku hanya ingin kau mengurungkan niatmu. Jangan melakukan hal yang sia-sia."

"Walaupun kau mengatakan itu, aku tidak peduli. Jangan menghentikanku!"

"Aku tidak akan menghentikanmu. Terserah kau mau apa. Aku tidak berhak melarangmu. Aku hanya memintamu untuk memikirkan kembali apa yang akan kau lakukan."

Ia terdiam. Ia mungkin sedang berpikir kembali.

Akupun menghadap ke arahnya.

"Aku hanya ingin memberikan pesan kepadamu. Berpikirlah sebelum kau bertindak."

Akupun pergi meninggalkannya.

"Terserah!"

.

.

.

.

~~Bersambung~~

Loro [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang