Rolas : Sebelum Aku Menyadarinya, Itu Semua Sudah Terjadi

48 5 0
                                    


—Hari mulai gelap, aku memutuskan untuk pulang ke panti. Setelah penelusuran itu, aku masih belum mengerti pasti apa yang akan terjadi pada malam purnama.

Aku mendongakkan kepalaku dan melihat bulan yang sudah membulat sempurna. Sebuah angin sepoi-sepoi berhembus dan menggoyangkan rambutku yang sedikit panjang.

Akupun kembali mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Entah perasaanku saja atau bukan, suasananya menjadi sepi. Kemana para warga? Biasanya ada beberapa orang yang bisa terlihat di sini. Tapi, kali ini tidak ada sama sekali.

Akupun mengabaikan hal itu dan memilih jalan yang berbelok ke kiri.

Saat aku melihat ke depan, di sana terdapat pos ronda. Disana ada 2 orang yang ku kenal sedang berjaga.

"Hei Angga."

Salah satu dari mereka memanggilku. Pria berambut ikal yang ku kenal bernama Asep itu melambaikan tangannya.

"Kalian sedang berjaga?" Tanyaku kepada dua pria itu.

"Kau lihat kami sedang apa?" Jawab pria yang bersama Asep, dia adalah Mahesha.

"Ahaha, benar juga."

Aku mengenal mereka kemarin saat selesai mengajar di panti. Aku bertemu mereka di halaman panti saat mereka mengantarkan sesuatu untuk Ayu. Dari yang aku tebak, sepertinya mereka berdua menyukai Ayu.

"Sepertinya disini sedikit sepi ya?" Tanyaku.

"Yah, mungkin seperti itu," jawab Asep.

"Hei, kau ingin ikut kami berpatroli?" Tanya Mahesha.

Patroli kah? Ide yang cukup bagus.

"Oke."

Akupun menyetujuinya. Lagipula, aku hanya ingin memastikan apa yang akan terjadi di malam purnama ini.

—Kami bertiga berjalan bersama. Aku menyadari kalau kami sedang menyusuri jalanan menuju panti. Sepertinya patroli hanya alasan untuk mereka menemui Ayu.

Akupun menghela napas.

"Apa kau pikir nanti kita akan bertemu dengan penculik itu?" Tanya Asep.

"Jangan mengatakan hal buruk seperti itu. Itu membuatku takut." Kataku.

"Hei kalian, lihat itu."

Mahesha menunjuk ke depan. Dari kejauhan, kami melihat keramaian di depan rumah kepala desa. Para warga mengerumuni rumah kepala desa. Ini terlihat seperti demo.

"Ada apa disana?"

Asep sepertinya penasaran.

"Ayo kita lihat!" Ajak Mahesha

Karena penasaran, kamipun mendekati kerumunan itu.

Akupun bertanya kepada pria di depanku, "Ada apa ini pak?"

Pria itu menoleh ke arahku. Ia terlihat sedikit sedih dari sorot matanya. Apakah ada berita duka?

"Itu mas, anaknya Pak Kepala Desa.—"

Anaknya Kepala Desa? Ada apa dengan Bimo?

"Kenapa pak?"

Saat aku bertanya seperti itu, pria tersebut hanya menundukkan kepalanya seolah ia bungkam dan enggan memberikan jawaban. Ada apa ini?

"Hey Angga! Tunggu!"

Akupun langsung menerobos kerumunan warga. Aku tidak menghiraukan teriakan Asep dan Mahesha yang terdengar di belakangku.

Setelah sampai di depan pintu rumah pak Kepala Desa, aku melihat seorang ibu-ibu sedang menangis. Ia terlihat sangat histeris.

Aku menoleh ke arah lain. Pak Slamet sedang bersandar di dinding sambil menundukkan kepalanya. Melihat hal tersebut, aku memiliki berbagai spekulasi. Tapi, yang lebih memungkinkan hanya 1 hal yang aku pikirkan.

Itu membuat perasaanku terasa sesak.

"—yang kembali hanya pakaiannya saja."

"Heh yang benar?"

Aku mendengar bisik-bisik di belakangku. Yang kembali hanya pakaiannya saja? Bimo.... yang kembali hanya pakaiannya saja?

Berarti kemungkinan yang aku pikirkan benar-benar terjadi hari ini. Inikah yang di khawatirkan oleh dirinya di malam purnama?

Akupun kembali melihat kedalam lagi. Aku memfokuskan melihat sesuatu yang di peluk oleh ibu itu. Itu—

Sebuah pakaian yang ternodai oleh bercak darah.

"Hanya pakaiannya saja yang kembali.."

"Sisanya, hanya pakaian mereka yang dikembalikan kepada keluarga.."

Kata-kata itu kembali terngiang di kepalaku. Jadi, yang dirumorkan oleh Wijaya benar adanya. Mereka hanya mengembalikan pakaian milik korban. Ini sangat aneh.

Setelah memikirkan itu, akupun segera menghampiri Pak Slamet.

"Pak, sebenarnya apa yang terjadi?" Tanyaku.

Orang yang menjabat sebagai kepala desa itu menoleh ke arahku dengan tatapan kosong. Seketika tubuhku terkaku. Jadi, apa yang terjadi itu benar?

"Ini—"

Pak Slamet memberikan sesuatu kepadaku. Sebuah surat? Aku melihat Pak Slamet lagi. Ia kembali menundukkan kepalanya. Ia mungkin mengalami kesedihan luar biasa.

Akupun membuka amplop tersebut dan membaca isi surat itu....

.

.

Kepada yth. Penerima Surat

Dengan Hormat,

Kami memberitahukan kepada anda sekalian bahwa anak anda, kami jadikan sebuah persembahan bagi tuan kami. Harap jangan marah dan dendam kepada kami. Kami hanya melaksanakan tugas kami untuk memenuhi kewajiban. Untuk mengganti kerugian, kami sertakan uang kompensasi untuk pemakaman bersamaan dengan surat ini. Dan juga kami kembalikan, satu-satunya benda yang ia tinggalkan untuk anda. Semoga anak ini meninggal dengan tenang.

Yang bertanda tangan

___________________

.

.

Dan seketika lembaran-lembaran uang berjatuhan dari amplop surat yang aku pegang.

.

.

.


~~Bersambung~~

Aku harap ada yang memberiku beberapa kritik dan saran yang membangun bagiku untuk menambah pengetahuanku.

  Terima kasih telah membaca cerita ini!   

Loro [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang