21 : Sorry, I Fell Asleep

1.5K 303 2
                                    

"Apa.. Dooly itu masih ada?"

"Masih.. Mungkin."

•••

Yang pertama dilakukan setelah pulang sekolah adalah mencari dooly. Yah, boneka hijau itu. Bagaimana bisa ia lupa di mana letak boneka itu. Sudah seharian ia mencoba mengingatnya saat di sekolah, tapi sepertinya ia benar-benar sudah lupa.

Ia berharap boneka itu masih ada. Jika itu hilang, ia tahu Yeonji akan sangat kecewa. Dan pastinya, Yeonji akan marah padanya. Ahh.. Tidak.

"Dooly.. Dimana kau?"

Jimin mencarinya di setiap sudut kamarnya. Bahkan saat ini keadaan kamarnya sangat berantakan karena ia membongkar semuanya. Tapi boneka itu belum juga ia temukan. Karena lelah, ia menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang.

"Kira-kira dimana ya?"

Yeonji sangat suka dooly. Setiap hari ia tidak pernah melewatkan kartun kesayangannya yang dimainkan oleh dooly itu. Jimin tak tahu bagaimana rasanya ketika Yeonji memberikan boneka itu padanya. Pasti ia sangat sedih. Dan ia akan lebih sedih lagi jika boneka itu hilang.

Lagi pula setiap kali ia melihat televisi, kartun dooly itu sudah tidak ada lagi. Kartun itu sudah tidak tayang sejak Jimin masih di bangku menengah pertama. Walaupun sesekali memang ditayangkan, tapi kualitas gambarnya sering kali seperti film jaman dahulu.

Jimin terdiam untuk beberapa saat. Begitu hening hingga terdengar suara detik jam yang terus berputar. Sepertinya sudah hampir setengah jam ia berusaha mencari boneka itu.

Ia bangkit dari tidurnya dan berjalan keluar kamar. Kegiatan tadi membuatnya merasa haus. Jadi ia berjalan menuju dapur. Ia melihat ibunya tengah memasak sesuatu. Yang sudah pasti untuk makan malam nanti.

"Jimin, kenapa kau belum mengganti bajumu?"

"Nanti saja, aku sedang malas, ma." Jimin meraih salah satu gelas dan juga dua botol berwarna hijau dari dalam lemari es.

"Jika bajumu kotor jangan merengek padaku."

"Iya, aku tahu."

Jimin tidak kembali menuju kamarnya. Tapi ia berjalan menuju ruang utama di rumahnya yang terdapat televisi berukuran besar. Ia berjongkok setelah berdiri tepat di depan televisi. Dan mencari sesuatu di meja nakas.

Yah, tiba-tiba saja ia ingin bermain. Sudah lama sekali ia tidak menikmati harinya dengan hal seperti itu. Dengan banyak toples di hadapannya, dan juga dengan dua botol minuman itu rasanya sudah sangat lengkap. Ia mulai bermain.

Beberapa menit, hingga mencapai jam, Jimin belum juga berhenti. Ini terlalu menyenangkan baginya. Tidak ada yang mengganggu, dan ia merasa semua beban pikirannya hilang untuk sementara.

"Jimin! Berhenti bermain dan cepat ganti bajumu sebelum ayahmu pulang! Ini sudah hampir malam!"

Seperti itulah teriakan Nyonya Park yang sangat nyaring. Tapi bagi Jimin, teriakan itu seolah tidak begitu nyaring baginya. Karena hampir setiap hari ia selalu mendengar teriakan itu.

"Sebentar lagi!"

"Tidak! Sudah cukup bermainnya. Ini hampir jam delapan malam. Cepat matikan itu!"

"Seben- Tunggu, jam berapa sekarang?"

"Kurang sepuluh menit lagi sudah jam delapan Jimin sayang!"

"Astaga Yeonji!"

Jimin melompat dari duduknya dan segera berlari menuju kamarnya. Bagaimana ia bisa lupa? Seharusnya ia sudah menjemput Yeonji setengah jam yang lalu.

"Ah sial, semua karena game sialan itu."

Jimin keluar dengan jaket hitam di tubuhnya dan kunci mobilnya. Ia berlari melewati Nyonya Park, tapi ia masih menyempatkan diri untuk memakan cemilan yang sempat ia tinggalkan tadi.

"Pergi kemana lagi?! Ganti bajumu dulu!"

"Aku sudah terlambat, ma. Sudah ya, aku pergi dulu."

Jimin menutup pintu utama dan berlari menuju garasi rumahnya. Tepat ketika ia berlari, Tuan Park berjalan dengan tas hitam di tangannya.

"Kemana?"

"Ini mendesak, ayah. Aku pergi dulu."

Jimin masuk ke dalam mobilnya, cepat-cepat ia melajukan mobilnya menuju kantor Jungkook. Ia bahkan tak sempat memberi pesan pada Yeonji untuk menunggunya. Bodohnya ia, bisa-bisanya ia melupakan janjinya sendiri.

•••

"Dimana Jimin? Bukannya dia akan menjemputku?"

Sudah hampir setengah jam Yeonji menunggunya. Jika tahu begini jadinya, ia akan menerima tawaran Jungkook untuk pulang bersamanya. Dasar Jimin. Seharusnya dia tahu, wanita itu tidak suka menunggu. Yeonji sudah cukup sabar menunggunya selama bermenit-menit.

Yeonji melihat jam di ponselnya. "Sepuluh menit lagi. Jika dia belum datang, aku akan pulang sendiri."

Suasana di sana sudah mulai sepi. Mungkin hanya ada pegawai yang lembur dan yang bertugas di malam hari. Yeonji sejak tadi duduk sendirian di kursi tunggu. Ia lelah berdiri terus untuk menunggu kedatangan Jimin.

Tiba-tiba saja seseorang menyentuh pundaknya, dan, "Yeonji!"

Yeonji terkejut dan segera mendongakkan kepalanya demi menatap orang itu.

"Eunwoo? Kau belum pulang?"

Dia Eunwoo. Dia pria pertama yang menyapa Yeonji saat Yeonji baru saja bekerja di tempat itu. Atau mungkin yang kedua, setelah Jina. Eunwoo itu pria baik. Dia selalu memperhatikan kondisi Yeonji. Karena ia selalu baik pada Yeonji, maka Yeonji sebisa mungkin membalas kebaikannya.

Jika Yeonji perhatikan, akhir-akhir ini Eunwoo pulang malam.

"Tidak. Aku lembur."

Eunwoo menyerahkan satu cup kopi kepada Yeonji. Sementara di tangan kirinya sudah ada untuk dirinya sendiri. Tanpa pikir panjang Yeonji menerimanya.

Saat mereka berbicara bersama, Eunwoo selalu tersenyum. Tentang senyumnya itu, bagi Yeonji itu sangat mirip dengan Jimin. Setiap kali ia melihat senyumnya, ia ingat Jimin. Tapi ketika ia melihat kedua mata Eunwoo, ia melihat sesuatu yang sedikit berubah darinya.

"Kantung matamu hitam. Kau kurang istirahat ya?"

Eunwoo terkejut dan menekan-nekan kantung matanya sendiri. "Tidak. Aku banyak istirahat. Buktinya sekarang aku sedang istirahat."

Yeonji hanya mengiyakan, walaupun ia tahu Eunwoo sedang berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Yeonji dan Eunwoo terus membicarakan banyak hal, sampai seseorang memanggil nama Yeonji.

"Yeonji?" ketika Yeonji menoleh, sosok Jimin berjalan ke arahnya dengan wajah kakunya.

Yeonji segera berdiri, di ikuti Eunwoo. "Akhirnya datang juga."

Jimin hanya tersenyum tipis ke arah Yeonji. Tapi anehnya, Yeonji melihat pandangan matanya seperti tak fokus menatap ke arahnya. Ia seperti sedang berusaha menatap Eunwoo dalam diam.

Jimin menggenggam tangan Yeonji dan menariknya pergi begitu saja. "Ayo pulang."

Yeonji sedikit terseret karena langkahnya. Ia bahkan belum mengucapkan salam pada Eunwoo. Jadi ia memutar kepalanya dan melambaikan tangan kirinya yang bebas.

"Sampai jumpa!"

Eunwoo tersenyum cerah dan ikut melambaikan tangannya. "Be careful!"

Sekarang, Yeonji duduk di bangku mobil milik Jimin. Entah ini hanya perasaannya saja, atau memang benar. Jimin terlihat dingin saat ini. Apa yang terjadi padanya?

"Jimin, kau kenapa?"

Jimin menggelengkan kepalanya. "Apa aku seperti sedang punya masalah?"

"Ah, tidak juga."

Dan lagi, suasana kembali hening. Sebenarnya Yeonji yakin Jimin sedang memikirkan sesuatu.

"Kau kemana saja? Aku sudah menunggumu lama sekali. Masih beruntung ada Eunwoo."

Jimin hanya tersenyum tipis, tapi tatapan matanya masih mengarah ke depan. "Maaf, aku tadi ketiduran."

Yeonji berdecak. "Kau membuatku menunggu lama, padahal aku sangat lapar."

Yeonji terkejut dengan kata- katanya, ia menutup mulutnya dan menepuk-nepuk mulutnya dengan sedikit keras. Tapi ia bisa mendengar suara kekehan dari Jimin.

Jimin menatapnya. "Kau lapar?"

Yeonji mengangguk tipis sebagai jawaban. Ah, urat malunya terasa ingin putus.

Jimin tersenyum lagi. "Baiklah. Aku tahu tempat yang pas untuk mengisi perutmu."

Yeonji tak keberatan, ini sebuah keuntungan baginya. Setelah percakapan tadi, mereka tak membicarakan apapun lagi. Hanya terdengar suara lagu yang diputar melalui radio.

Tapi ketika Yeonji melihat ke sekitar, sepertinya ia tahu jalan yang ia lewati.

"Kau membawaku kesana?"

"Iya. Di basecamp ada chef terhebat sepanjang masa. Kau akan kenyang di sana."

Jika Yeonji di bawa menuju basecamp, itu tandanya ia akan bertemu dengan semua teman-teman Jimin. Dan ialah satu-satunya perempuan di sana. Jujur, ia sedikit malu.

Sesuai dugaannya, di dalam basecamp sudah ada teman-teman Jinmin yang berkumpul. Yeonji tak tahu berapa jumlah asli mereka, karena ia tak pernah menghitungnya. Yang jelas ia bisa melihat ada pria yang memakai jas kerja sedang duduk santai di kursi sofa.

"Jungkook?"

Jungkook menatapnya dan sukses terkejut. Ia melihat penampilan Yeonji dari atas sampai bawah. "Kau baru saja pulang?"

Yeonji hanya mengangguk. "Jimin membuatku berkarat di sana."

"Jika tahu begini aku tidak akan meninggalkanmu tadi."

Yeonji tertawa. "Sudahlah. Yang penting Jimin masih menjemputku."

"Ada Yeonji ternyata."

Yeonji menoleh ke arah kiri, dimana ada satu orang pria dengan kulit putih pucat, dan terlihat menyeramkan itu. Belum lagi rambutnya yang berantakan. Sepertinya dia baru saja bangun dari tidurnya.

"Eum, i-iya."

"Yeonji! Kemarilah!"

Jimin berteriak dan mengisyaratkan Yeonji untuk ke mendekat ke arahnya. Yeonji hanya mengangguk dan berjalan mendekatinya. Jimin tidak sendirian di dapur. Tentu ada Seokjin di sana. Ternyata, ada Namjoon yang sepertinya tengah menunggu masakan Seokjin matang.

Jadi kau lapar?" Seokjin bertanya pada Yeonji. Jawaban Yeonji hanya mengangguk dan tersenyum malu.

"Duduklah bersama Namjoon. Sebentar lagi makanannya akan siap."

Yeonji berjalan mendekati Namjoon, dan duduk di sampingnya. Namjoon hanya tersenyum untuk Yeonji, kemudian menatap Jimin yang berdiri di samping Seokjin.

"Lain kali.. Jika kau seperti ini lagi, aku akan merusak setir mobilmu. Kau tahu kan aku ahli dalam merusak?"

Jimin membulatkan matanya. "Jika setirnya rusak, siapa yang menjemput Yeonji? Itu akan semakin parah, hyung."

Namjoon menggelengkan kepalanya. "Tidak. Justru bagus, aku yang akan menjemputnya tepat waktu."

Namjoon lebih menekan pada kalimat tepat waktu. Yeonji yakin maksudnya adalah untuk membuat Jimin panas. Ada-ada saja. Bahkan ia sendiri tak begitu mempermasalahkan hal itu.

Daripada harus memperhatikan kedua makhluk itu, Yeonji lebih memilih memperhatikan Seokjin.

"Apa aku tidak merepotkan, oppa?"

Seokjin menoleh. "Aku?" melihat anggukan kepala itu, Seokjin terkekeh, "Tentu tidak. Enam penghuni lain di sini jauh lebih merepotkan darimu."

"Kecuali aku," Jimin menimpali kalimat Seokjin. Tapi kemudian ia mendapat satu pukulan di dadanya.

"Kau pendusta."

Tak butuh waktu lama, masakan Seokjin sudah matang, dan berada di hadapan Yeonji saat ini. Ia sudah mengisi piringnya sendiri dengan nasi, begitu juga dengan Namjoon.

"Selamat makan!"

Namjoon dengan lahapnya memasukkan semua makanan ke dalam mulutnya. Yeonji akui, masakan Seokjin sangat luar biasa. Baru pertama kali ia merasakan masakan pria yang seenak ini. Karena rasanya yang terlalu menggiurkan, ia dibuat hanya fokus pada makanannya dan tidak ke hal lainnya.

"Aku juga lapar."

Yeonji melirik Jimin yang masih berdiri di tempatnya. Ia juga menatap ke arah Yeonji.

"Kalau lapar itu makan."

"Tidak mau." Jimin berjalan ke arah Yeonji. Meraih satu kursi tapi tidak langsung ia duduki. Ia menyeret kursi itu mendekat ke arah Yeonji, dan duduk di sampingnya. Jimin menghadap ke arah Yeonji.

"Suapi aku."

"Never forget a promise that you made. Before others will be disappointed because of it."

kindacrazyy, 2018

DARKNESS | pjm ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang