Epilogue

2.5K 170 38
                                    

"Ayah!"

Gadis mungil itu berlari menuju sang ayah yang telah merentangkan tangannya. Ia berhambur memeluk ayahnya dan tubuh mungilnya terangkat begitu saja. Kakinya tidak lagi menginjak tanah.

"Bagaimana sekolahmu?"

Gadis itu menganggukkan kepalanya beberapa kali. "Tadi Guru Joo membawa boneka tangan. Bonekanya bisa berbicara!"

Sang ayah terkekeh dan hanya mendengarkan semua cerita anaknya yang terdengar sangat menyenangkan. Sembari mendengarkan anaknya bercerita, ia mengarahkan mobilnya menuju suatu tempat.

Mobilnya telah terparkir dengan benar. Ia turun dari mobilnya, menggandeng tangan anaknya dan berjalan melewati koridor.

"Nanti aku ikut les musik?"

"Tentu saja. Kau harus berlatih dengan giat jika ingin menjadi pianis profesional."

Sang anak terlihat gembira ketika ayahnya mengatakan itu. Dulu ia pernah melihat seseorang di televisi menekan tuts piano dengan lihai, dan menimbulkan suara yang indah. Sejak itulah ia ingin menjadi seperti orang yang berada di televisi itu.

Pintu ruangan terbuka. "Ibu?"

Merasa terpanggil, orang itu melihat ke arah pintu. "Oh Yeonsil, kau sudah pulang nak?"

Gadis kecil bernama Yeonsil itu menghampiri ibunya. Sang ayah membantunya untuk naik ke tempat tidur ibunya.

"Ibu lapar? Yeonsil ada makanan di sini," ia meraih tas sekolah yang sedari tadi ia bawa. Mengeluarkan kotak bekal dari dalamnya.

"Dapat darimana?"

"Ayah."

Ia melihat ke arah seorang pria yang sejak tadi memandangi interaksi mereka. Pria itu memberikan senyuman tipis sebagai balasan dari tatapan itu.

"Ayo ibu, buka mulutmu." Yeonsil terus menyuapi ibunya karena ia tahu, selang infus yang ada ditangan ibunya itu sedikit menyusahkan.

Beberapa menit mereka habiskan dengan Yeonsil yang lebih mendominasi suasana. Gadis mungil itu terus menceritakan banyak hal yang membuat suasana menjadi ringan.

"Yeonsil, ayo ayah antarkan ke tempat les."

Yeonsil memajukan bibirnya ketika ayahnya mengusap kepalanya. "Aku masih ingin bersama ibu."

Ibunya tersenyum tipis dan mencubit pipi anaknya. "Menurut pada ayah, jangan nakal."

Yeonsil tersenyum. Ia memeluk ibunya dengan erat sebelum turun dari tempat tidur. "Nanti aku kesini lagi ibu! Aku mencintaimu ibu!"

"Aku juga," jawabnya dengan lemah.

Setelah Yeonsil dan ayahnya keluar dari ruangan itu. Ia kembali merebahkan tubuhnya dan menaikkan selimutnya. Sejak tadi ia merasa aneh dengan dirinya sendiri.

Ketika Yeonsil menyuapkan sesendok makanan untuknya, ia harus mati-matian menahan sesuatu yang rasanya ingin keluar dari mulutnya. Ya, ia berusaha terlihat baik-baik saja di depan anaknya.

Tapi pada akhirnya ia menyerah. Dengan cepat ia berjalan menuju kamar mandi yang ada di ruangan berbau obat itu. Menutup pintu dengan rapat dan memuntahkan sesuatu, yang berwarna merah.

Darah.

Entah kenapa hari ini rasanya tidak enak baginya. Darah itu tak henti-hentinya keluar dari mulutnya. Jadi jika beberapa menit yang lalu ia makan banyak, rasanya percuma. Karena sekarang ia merasa sangat lemah.

Ia menatap pantulan dirinya di kaca kecil. "Aku terlihat sangat lemah."

Pintu ruangan itu kembali terbuka. Pria itu melihat tempat tidur yang kosong. Mendadak, ia merasa panik. Namun ketika melihat pintu kamar mandi yang tertutup, ia mulai mengambil kesimpulan.

"Sayang, kau di dalam?"

"Y-ya."

Pria itu membuka pintu kamar mandi. Dilihatnya sosok wanita yang tengah bercermin dengan tiang infus disampingnya.

Ia membantu istrinya berjalan menuju ranjangnya. Dengan sangat telaten, ia membenarkan selimut dan letak tiang infusnya.

"Jimin."

Sang pemilik nama meraih kursi di dekatnya. Kemudian ia meraih tangan pucat istrinya itu.

"Aku takut."

"Jangan berbicara yang aneh-aneh."

"Tidak. Aku benar-benar takut, Jimin."

Jimin membiarkan istrinya mengatakan semua unek-uneknya. "Apa aku masih bisa sembuh?"

Dengan lemah ia menghela nafasnya. Tangannya menggenggam tangan Jimin semakin erat.

"Sepertinya sudah tidak ada harapan lagi."

"Hey, apa yang kau bicarakan sayang?"

Ia mencondongkan tubuhnya. Tangannya yang tersisa ia gunakan untuk mengusap pucuk kepala istrinya. "Tak peduli apa yang akan terjadi kedepannya. Kau tetaplah istriku, selalu menjadi satu-satunya dalam hidupku."

Ia melihat air mata yang mulai menggenang di kedua mata istrinya. Lantas, ia tersenyum dengan tulus.

"Tapi kita harus percaya keajaiban pasti ada. Kau bisa sembuh, aku yakin."

Saat ia memejamkan mata, air matanya mengalir. Jimin membiarkannya. Tangannya tidak bergerak untuk menghapus air mata itu.

"Kau tahu kenapa aku menamai anak kita Park Yeonsil?"

Hanya gelengan kepala sebagai jawaban. "Karena dengan begitu aku bisa terus mengingatmu."

Di titik ini, air matanya benar-benar mengalir begitu saja. Bayangan tentang keluarga kecilnya melintas begitu saja di pikirannya. Tentang Yeonsil yang baru saja lahir ke dunia. Kemudian Jimin yang masih berusaha mengganti popok Yeonsil. Atau ketika Yeonsil merengek di tengah malam. Yah, semuanya terlintas di pikirannya. Mulai dari Yeonsil belum tahu apa-apa, sampai gadis itu bertumbuh besar, menjadi murid taman kanak-kanak.

"Jimin."

"Eum?"

Ia mengusap punggung tangan Jimin. "Aku berjanji padamu dan Yeonsil. Aku pasti akan sembuh. Aku janji."

Jimin tersenyum dan mengecup kening istrinya cukup lama. Setelah kecupannya terlepas, ia menyatukan kening mereka dan tersenyum satu sama lain.

"Itu baru istriku."

Jika awalnya ia hanya memberikan kecupan di kening, kini kecupannya berpindah di bibir. Di saat-saat seperti ini ia tidak mungkin akan melakukan ciuman yang menuntut. Sebagai suami, ia masih sadar diri.

Tapi kecupan ringan itu sudah cukup membuat mereka merasa muda kembali.

Satu kecupan panjang, sebelum Jimin mengatakan isi hatinya.

"Aku sangat mencintaimu, Park Yeonji."

Setelah itu, semuanya menjadi gelap karena mereka memejamkan mata mereka, sambil mencoba mendalami tautan mereka.

Oh ya, bagi mereka itu indah.

Kau tahu? Tak semua perjalanan cinta selalu berakhir tragis bukan? Meskipun begitu, kata 'masalah' tak akan pernah lepas begitu saja. Mungkin kita harus berpisah karena memang Tuhan yang tidak mengijinkan. Tapi mungkin juga itu adalah sebuah pelajaran hidup bagi kita. Tuhan menguji kita.

Kalian harus tahu bahwa Tuhan itu adil. Sangat adil. Sesakit apapun hati kita saat ini, Ia pasti akan menyembuhkan luka itu perlahan-lahan, dengan cara yang sangat tidak kita duga.

Dan satu hal lagi..

Kegelapan bukan akhir dari cerita. Melainkan hanya menjadi penanda. Bahwa ada cahaya usai kegelapan itu pergi. Sama seperti dia.

"Dia yang membawa bintang untuk malamku, dan matahari untuk hariku. Dan pada akhirnya, ia membawa awan gelap di kehidupanku."

"Karena dia awan gelap, maka aku adalah cahaya terangnya. Aku yang bertugas menghilangkan awan gelap itu, dan menjadikannya terang bersamaku."

Thank you darkness. Because of you, I know my duty as a light.

- end -

HUWAA UDA EPILOG? SERIUS UDA EPILOG 😭😭

wahh aku sendiri ga nyangka banget. setelah hampir setengah tahun, akhirnya work ini bisa menuju epilog yuhuu

jadi gimana? srek sama endingnya?
kalo ga srek bilang aja. keluarin semua unek-unek kalian! jangan dipendam! ehe:v

next mungkin aku bakal segera publish ff yang cast utamanya my lovely baby tiger.
yaa.. dia KIM TAEHYUNG!
doakan semoga ff yg coming soon ini bisa jauh lebih lancar dari Darkness. amin.

sebelum berakhir, ada satu pertanyaan lagi yang wajib kalian jawab. WAJIB YA AKU MAKSA😂

apa kelebihan dan kekurangan Darkness dari sudut pandang kalian?

udah itu aja pertanyaannya. btw follow instagram aku yaa.. usernamenya @elmanuelitaa
kalo mau mintak kontak lain lewat DM aja

see yall in the next work yaa muah muahh😘

volliefde,
ell.

DARKNESS | pjm ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang