34 : Blue Eyed Girl

1.9K 197 11
                                    

Hari ini adalah hari terakhir. Hanya menunggu beberapa jam lagi, tahun akan berganti. Jimin masih berada di Busan. Entah kenapa ia tak ingin cepat-cepat kembali ke Seoul. Baginya, Busan jauh lebih nyaman. Walaupun ia memiliki banyak teman di Seoul.

Jimin melihat Nyonya Park yang sibuk di dapur. "Bibi sedang apa?"

"Membuat makanan untuk nanti. Malam tahun baru kita harus merayakannya. Karena kebetulan kau ada di sini."

"Sebenarnya tidak perlu dirayakan juga tidak masalah, bi."

Nyonya Park terkekeh. "Tidak masalah, Jimin. Akhir-akhir ini bibi juga melihatmu sedikit murung," Nyonya Park menepuk pundak Jimin.

"Mungkin perayaan kecil nanti bisa membuatmu merasa sedikit ringan."

Jimin tersenyum dan mengangguk. Tepat setelahnya, pintu utama terbuka. Nampaklah Seulki yang masuk dengan belanjaan di tangannya.

"Aku kembali!"

"Kau kemana saja? Ibu menunggu lama sekali."

Seulki terkekeh dan menyerahkan pesanan ibunya. "Maaf, ibu. Aku membeli beberapa es krim. Ini untuk kakak," Seulki menyerahkan satu buah untuk Jimin.

"Terima kasih."

Seulki menikmati es krim miliknya. "Sebaiknya kakak tidur lebih awal. Tengah malam nanti kita akan makan bersama."

"Ya, aku tahu."

Seulki berjalan menuju kamarnya, dan Jimin mengikutinya dari belakang. Sadar ada yang mengikutinya, Seulki membalikkan badannya.

"Kenapa?"

Sebenarnya aku masih penasaran dengan gadis rambut pirang itu," ucap Jimin sembari memakan es krim yang ada ditangannya.

"Oh Kak Yeonsil. Kau menyukainya ya?"

"Apa? Tentu saja tidak. Yang benar saja, aku bukan tipe orang yang jatuh cinta pada pandangan pertama."

Seulki memberikan senyuman anehnya pada Jimin. "Satu fakta yang aku tahu. Kau itu suka mengelak."

Jimin berdecak dan hanya membalasnya dengan omelan yang tak terdengar jelas oleh Seulki. Seulki terkekeh. "Memangnya kenapa?"

"Entahlah. Aku hanya penasaran dengan wajahnya."

Seulki menaikkan alisnya. "Bukannya waktu itu kau sudah bertemu langsung dengan Kak Yeonsil?"

Jimin mengangguk tipis. "Memang, tapi aku belum melihat wajahnya. Yang aku lihat hanya mata birunya."

"Yah, sayang sekali."

"Apa dia orang barat?"

Seulki mengangkat bahunya sekilas. "Entahlah. Aku belum pernah menanyakan itu."

•••

Jimin keluar hanya untuk menikmati udara sore hari di Busan. Sesekali ia bertemu beberapa orang yang mengenalinya. Ia heran, sudah beberapa tahun berlalu mereka semua masih mengingat wajahnya. Seperti sekarang ini, ia berhenti di sebuah kedai kecil milik seorang wanita paruh baya. Wanita itu mengenali Jimin.

"Sudah lama sekali sejak kau masih kecil. Beruntung aku masih ingat wajahmu." Jimin terkekeh malu mendengar itu.

"Bagaimana kabar ibumu?" wanita itu menyodorkan secangkir kopi di hadapan Jimin.

"Baik-baik saja. Ayah dan ibuku sekarang di luar negeri."

"Benarkah?"

Jimin mengangguk. "Aku pulang lebih dulu karena aku tidak kuat hidup disana. Aku tidak bisa berbicara bahasa inggris."

Mendengar keluhan Jimin, wanita itu terkekeh dengan keras. "Kau ini ada-ada saja."

"Bibi, pesananku sudah siap?"

Tiba-tiba saja seorang gadis datang memotong pembicaraan mereka berdua. Wanita paruh baya itu segera menyiapkan dua kantong kresek berukuran besar yang isinya adalah pesanan gadis itu.

"Kau bisa membawanya? Ini berat."

"Tenang saja bi. Aku gadis kuat." gadis itu menyerahkan uang untuk membayar semua pesanannya, "Terima kasih bi, aku pergi dulu."

Jimin menatap punggung gadis itu yang semakin lama semakin jauh. "Pesanannya banyak sekali."

Wanita paruh baya itu menarik kursi dan duduk disamping Jimin. "Begitulah. Dia selalu memesan banyak."

"Dia makan sebanyak itu?"

Wanita paruh baya itu tertawa. "Tentu saja tidak. Dia memesan banyak untuk anak-anak panti asuhan di dekat sini."

"Dia selalu melakukan itu?"

Wanita itu menggelengkan kepalanya dengan tipis. "Tidak. Katanya dia ingin merayakan tahun baru bersama anak-anak panti asuhan."

Jimin hanya menganggukkan kepalanya. Ia segera menghabiskan minumannya dan berpamitan pada wanita paruh baya itu. Ketika ia hendak melangkahkan kakinya menjauhi kedai itu, ia melihat sesuatu tergeletak di atas tanah.

Ia memungut benda itu dan menatapnya dengan terkejut. "I-ini.."

•••

Keluarga Seulki memiliki rooftop diatap rumah mereka. Jadi, malam ini mereka akan merayakan malam tahun baru sambil menikmati kembang api yang akan bermunculan. Nyonya Park dan Seulki sudah menyiapkan semuanya dengan baik.

Beberapa menit sebelum tengah malam, Tuan Park dan Jimin sudah berada di rooftop. Tuan Park terlihat berbinar ketika menghirup aroma makanan yang telah dibuat oleh Nyonya Park.

"Sepertinya malam ini kita harus makan sebanyak-banyaknya."

"Kak Jimin! Ayo cepat kesini!" Seulki melambaikan tangannya pada Jimin. Ia sudah menyediakan satu kursi untuk Jimin.

Mereka makan bersama dengan suasana yang hangat. Saat tengah menikmati makanan, mereka dikejutkan dengan suara kembang api yang mulai menghiasi langit. Seulki yang paling bersemangat, karena ia sangat menyukai kembang api.

Jimin tersenyum tipis ketika melihat kembang api yang beraneka warna itu. Ia meraih sesuatu dari saku celananya. Melihat benda itu, ia ingat akan sesuatu. Ia berdiri dari duduknya, yang membuat semua mata mengarah ke arahnya. "Kemana?"

"Aku ada urusan sebentar."

Ia meraih jaket tebalnya dan mulai berjalan menjauhi rumah itu. Ia masih ingat kata-kata wanita paruh baya tadi. "Panti asuhan terdekat."

Ia bertanya kepada orang-orang yang tengah memeriahkan malam tahun baru di depan rumah mereka. Kini ia sudah berdiri di depan panti asuhan yang ia cari. Ia memasuki tempat itu dengan langkah perlahan.

Dari kejauhan, ia melihat banyak sekali anak kecil yang berkumpul di ruang tengah. Mereka mengulurkan tangan mereka agar mendapatkan jatah makanan mereka. Disana, ia melihat gadis dengan penampilan yang sama.

Ia hanya melihat dari kejauhan. Senyumnya mengembang ketika melihat wajah bahagia dari anak-anak kecil disana. Ia menyandarkan punggungnya pada tembok dan menatap kalung yang berada di genggaman tangannya.

Ketika ia ingin melihat ke dalam melalui jendela, ia dikejutkan dengan seseorang yang menabrak tubuhnya.

"A-ah, maaf. Aku tidak sengaja."

Jimin menatap jaketnya yang terkena bekas minyak dari wadah makanan yang dibawa oleh gadis itu. "Tidak apa-apa. Ini hanya kotor sedikit."

Gadis itu meletakkan kantong kresek berukuran besar yang ia bawa. "Biar aku bersihkan."

Jimin melepaskan jaketnya karena perintah gadis itu. "Kau Yeonsil kan?" ucapnya sembari memberikan jaket miliknya.

Gadis itu terdiam untuk beberapa detik. "Y-ya, kau yang bersama Seulki waktu itu kan?"

"Jimin."

"A-ah benar, Jimin."

Yeonsil memperbolehkan Jimin untuk ikut masuk ke dalam panti asuhan itu. Jimin hanya menatap bagaimana Yeonsil berbicara pada anak-anak panti asuhan itu. Ia bisa melihat kedekatan mereka saat anak-anak panti asuhan itu memeluk Yeonsil.

Saat ini, semua anak-anak panti asuhan itu tengah bermain. Jimin memutuskan untuk menghampiri Yeonsil yang tengah membereskan barang-barangnya.

"Bisa kita berbicara sebentar?"

Yeonsil terkejut dan bergerak cepat membereskan barang-barangnya. "Oh oke."

Ia mengikuti Jimin yang berjalan menuju teras belakang. Ada dua kursi disana, Jimin duduk di sisi kanan, sementara Yeonsil duduk di kursi kosong yang berada di samping Jimin. Tapi Jimin tak kunjung membuka suaranya, jadi dengan terpaksa, Yeonsil harus mencari topik.

"Kau ke Busan sendirian?"

Jimin mengangguk. "Rumah asliku di sini. Ah iya," ia merogoh saku celananya, kemudian memberikan kalung yang sejak tadi ia bawa.

"Kau menjatuhkannya di depan kedai."

"Benarkah?!" Ia meraba lehernya dan merasakan kekosongan di lehernya. "Bodoh, kenapa aku tidak menyadarinya? Terima kasih untuk ini."

Yeonsil memungut kalung miliknya dengan cepat. Walaupun kalimat yang dikeluarkan gadis itu terkesan lancar, ia bisa mendengar nada awkward yang disembunyikan.

"Tapi bukannya itu berpasangan? Mana pasangannya?"

"A-ada di rumahku."

Kecurigaan itu semakin besar. Sejak tadi Jimin memang sengaja memancing Yeonsil. Ia memiliki firasat, ada sesuatu yang disembunyikan oleh Yeonsil.

"Kau menyimpan pasangannya? Tidak kau berikan pada kekasihmu?"

Ia hanya menggeleng lemah. "Aku tidak punya."

"Lalu kenapa kau bisa-"

"Sudahlah, aku harus mengurusi anak-anak."
         
Dengan cepat, Jimin mencekal lengan Yeonsil. Yeonsil tertarik untuk kembali menatap Jimin karena pria itu menarik tangannya. Ia terkejut karena Jimin menatapnya dengan intens.

"Gadis bermata biru. Apa kau mau membuka topi dan maskermu itu? Aku ingin melihat wajahmu." 

kindacrazyy, 2018

DARKNESS | pjm ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang