27 : Dooly? Here You Are

1.3K 205 5
                                    

"Dimana dia?"
         
"Sebenarnya ada apa dengan mereka?"

•••

Jimin menatap layar ponselnya dengan pandangan kosong. Sejak tadi ibu jarinya sangat ingin bergerak, tapi selalu tertahan. Di dalam dirinya, ia merasa sudah melakukan hal yang salah. Tapi bagaimana jika ia tengah bimbang?
         
Mimpi itu tentunya menjadi ketakutan tersendiri untuk Jimin. Sungguh. Mimpinya terasa sangat nyata. Bahkan Jimin harus berulang kali meyakinkan dirinya, kalau itu hanyalah mimpi.

Bruk
         
"Hey! Jangan berhenti di tengah jalan!"
         
Jimin menoleh dan segera membungkukkan badannya, "Maaf. Maafkan aku."
         
Orang itu berdecak dan berjalan melewatinya. Jimin menghela nafas dan melanjutkan langkah kakinya. Seharian ini ia tak memakan apapun. Ia hanya minum dua botol air mineral, dan berada di gym selama seharian penuh. Ia pikir, dengan berolahraga ia bisa sedikit melupakan beban pikirannya. Tapi nyatanya itu hanya sementara.
         
Ia membuka pintu basecamp dengan lemas. Lemas karena banyak pikiran, juga karena belum memakan apa pun selama seharian. Nampaknya basecamp sedikit ramai untuk saat ini. Terbukti ia mendengar suara berisik dari dapur dan juga kamar.
         
"Hai Jimin!"
         
"Hm."
         
Deheman itu membuat Taehyung menghentikan lambaian tangannya. Ia heran karena Jimin tak lagi membalasnya dengan senyuman cerah. Tak seperti biasanya. Jimin selalu datang dengan senyuman cerah dan membawa energi positif bagi siapa pun yang melihatnya.
         
Ia merebahkan tubuhnya di atas kursi sofa. Lengan kanannya ia gunakan untuk menutup matanya. Sementara lengan kirinya menggelantung bebas. Taehyung sedari tadi terus melihat gerak-geriknya.
         
"Sesuatu terjadi?"
         
Tak ada jawaban dari Jimin. Tapi Taehyung bisa melihat gelengan kepala yang lemah itu. Jimin sendiri tak mengerti tentang jalan pikirannya.
         
"Taehyung! Cepat makan sebelum dingin!"
         
"Iya, hyung!" Taehyung beranjak dari tempatnya dengan cepat.
         
Seokjin menangkap bayangan Jimin yang sedang merebahkan tubuhnya. Seketika ia teringat sesuatu. Ia segera berjalan menuju sebuah kamar, dan meraih sesuatu yang telah ia simpan di dalam lemarinya. Kemudian ia kembali menghampiri Jimin, dan duduk di kursi sofa tunggal yang ada di dekat Jimin.
         
Ia melempar benda itu ke atas perut Jimin. "Milikmu."
         
Jimin bergerak dengan spontan. Ia menatap benda apa yang baru saja mengenai perutnya. Kedua matanya membulat sempurna ketika melihat benda itu.
         
"Dooly? Di sini kau rupanya."
         
Jimin meraih boneka berwarna hijau itu. Memainkan boneka itu dengan gemas. Untuk sesaat, ia melupakan beban di kepalanya dan terus memainkan tangan boneka itu. Seokjin sedari tadi terus menatapnya dengan tatapan datar.
         
"Jadi namanya Dooly."
         
"Hyung, kau hidup lebih lama dariku. Tapi kau tidak tahu Dooly?" tanya Jimin sembari mengangkat boneka hijau itu.
         
Seokjin terkekeh. "Tontonanku bukan hal-hal yang seperti itu."
         
Jimin berdecih dan menatap Seoksin dengan aneh. Sementara Seokjin terkekeh sendiri karena lelucon ringannya. "Dimana kau menemukan boneka ini hyung?"
         
Seokjin mengerutkan keningnya. "Kau sendiri yang meninggalkan ini di kamar."
         
Jimin tertegun. Jadi aksi membongkar semua isi kamarnya itu percuma. Nyatanya boneka itu memang tidak ada di rumahnya, tapi di basecamp. Ia mulai merutuki dirinya sendiri. Tapi meskipun begitu, ia masih bisa merasakan kelegaan di dalam dirinya. Ia begitu bersyukur ketika mengetahui boneka itu tidak hilang seperti yang ada di pikirannya.

•••

Gadis itu menatap layar ponselnya dengan cemas. Sudah beberapa menit ia menunggu, tapi yang ia harapkan tidak terwujud. Dengan gusar, ia melempar ponselnya ke sisi kanan ranjang dan ia menenggelamkan kepalanya pada bantal miliknya. Ia menendang kakinya ke udara karena kesal.
         
"Park Jimin! Sampai kapan kau akan seperti ini?"
         
Dua hari yang lalu, tepatnya pada malam hari itu. Yeonji baru saja dibuat ingin meninggalkan dunia karena perlakuan lembut Jimin padanya. Malam itu, ia benar-benar merasa menjadi wanita paling beruntung di dunia karena Jimin. Sekarang, ia kembali tersiksa karena Jimin mendadak aneh. Pria itu sedikit susah untuk dihubungi. Semuanya karena Jimin.
         
Beberapa saat setelahnya, ponselnya kembali bergetar. Dengan cepat, ia meraih ponselnya dengan senyuman yang sudah mengembang di bibirnya. Namun senyumnya mulai pudar karena sebuah nama yang muncul bukanlah nama yang ia harapkan.
         
Ia menghela nafas lemah dan melempar ponselnya kembali. Belum lama ia menenggelamkan kepalanya lagi, ponselnya kembali bergetar karena ada panggilan masuk. Tanpa mengangkat kepalanya, ia meraih ponselnya.
         
"Hm?"
         
"Ya! Kau dimana?!"
         
Yeonji menjauhkan ponselnya karena teriakan dari seberang sana. "Kecilkan suaramu."
         
"Kau tega membiarkanku sendirian di sekolah?"
         
"Hari ini saja, aku sedang tidak enak badan."
         
"Ck. Baiklah, cepat sembuh."
         
Yeonji hanya berdeham dan memutus sambungan itu. Ia merentangkan tubuhnya menghadap ke langit-langit kamar. Pikirannya tak bisa lepas dari Jimin. Ia merindukan pria itu. Ia kembali membuka ponselnya, dan mengecek apakah pesannya sudah dibaca. Tapi ternyata tidak.
         
Raut wajah Yeonji berubah menjadi sendu. Ia memiringkan badannya dan menatap ponselnya yang tepat berada di sampingnya.
         
"Kau kenapa Jimin?"
         
Karena terlalu larut dalam suasana hatinya, kedua matanya terpejam tanpa ia sadari. Ia tertidur dengan pulas, seolah-olah pikirannya yang sejak tadi selalu kacau melayang begitu saja.
         
Beberapa menit, bahkan mencapai hitungan jam ia tertidur, ponselnya kembali bergetar. Tubuhnya terpenjat dan ia menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong.
         
Ia meraih ponselnya dan menjawab panggilan yang masuk. "Hoam, kenapa?"
         
"Tidak masuk tanpa meminta ijin dariku? Apa kau mau gajimu dipotong?"
         
Yeonji spontan membulatkan matanya. Ia baru sadar jika yang berbicara dengannya saat ini adalah Jungkook. "Aku sakit. Lagipula hanya hari ini saja."
         
"Aku tidak yakin gadis sepertimu bisa sakit."
         
Yeonji memutar bola matanya tanpa ia sadari. "Terserah saja."
         
"Kau kenapa?"
         
Nada bicara itu berbeda dari sebelumnya. Jika yang awalnya penuh dengan tekanan dan hinaan, kini berubah menjadi sedikit lembut. Sedikit saja.
         
"Aku sakit. Kenapa?"
         
"Tapi kenapa aku tidak bisa percaya itu?"
         
Yeonji menarik nafas panjang dan menutup mulutnya rapat-rapat. Ia ingin bercerita, tapi mulutnya terasa sangat sulit untuk dibuka. Hingga suara lembut Jungkook kembali menginterupsi pendengarannya.
         
"Hey."
         
"Oh- ya?"
         
"Katakan padaku kau ini sebenarnya kenapa?"
         
Yeonji tersenyum kecil, walaupun ia tahu Jungkook tak akan menyadarinya. "Sudahlah. Aku baik-baik saja."
         
Ia menyudahi sambungan setelah mendengar Jungkook akan mengatakan sesuatu. Bertepatan setelah itu, ponselnya bergetar menandakan ada sebuah pesan yang masuk.

Eunwoo
Kau di rumah?

Yeonji
Iya

Ia heran. Ia merasa hari ini banyak yang menghubunginya. Tapi Jimin sama sekali tak melakukan hal yang sama. Mereka khawatir, tapi Jimin? Hah sudahlah. Begitu batinnya.

Eunwoo
Buka pintumu. Aku di depan

"Apa?!" Yeonji membulatkan matanya dengan sempurna dan bangun dengan terburu-buru. Ia melihat ke luar melalui jendela kamarnya. Ia bisa melihat ada seseorang yang tengah melambaikan tangannya dengan senyum yang cerah.
         
Yeonji segera berlari ke bawah untuk membukakan pintu. Saat ia membuka pintu, Eunwoo sudah berdiri tepat di hadapannya. Ia mendongakkan kepalanya untuk menatap Eunwoo.
         
"Boleh aku masuk?"
         
"Oh tentu saja."
         
Yeonji memberi jalan untuk Eunwoo. Setelah itu ia menutup pintu dengan rapat dan menyusul Eunwoo yang tengah duduk di kursi sofanya. "Kau ingin minum apa? Akan kubuatkan."
         
"Tidak perlu, duduk saja di sini," Eunwoo menepuk sisi kosong di sebelah kirinya.
         
Yeonji berdecak dan menggelengkan kepalanya. "Tidak baik jika pemilik rumah tidak menjamu tamunya."
         
"Ey, duduk di sini." Eunwoo menarik Yeonji untuk duduk di sampingnya. Yeonji menatapnya dengan terkejut ketika pantatnya sudah mendarat dengan sempurna di kursi sofa miliknya.
         
"Kenapa kau tidak masuk kerja?"
         
"Aku tidak enak badan."
         
Eunwoo mengerutkan keningnya dan tangannya bergerak untuk menyentuh kening Yeonji. "Suhunya normal. Jangan berbohong."
         
Yeonji tidak menjawabnya. Ia hanya menaikkan kedua bahunya. Eunwoo menggelengkan kepalanya ketika menyadari mood Yeonji hari ini kurang baik. "Tapi besok kau harus masuk. Aku memaksamu."
         
"Kenapa?"
         
"Kau ingin bertemu kekasihku kan? Besok kalian bisa bertemu."
         
Yeonji memutar bola matanya malas. Lantas ia berdiri dan berjalan menuju dapur. "Kau ingin minum apa?"

"Love doesn't have to be seen with two eyes. Because that feeling arises without us ordering."

kindacrazyy, 2018

DARKNESS | pjm ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang