Sudah lewat pukul enam ketika Indira sampai di rumah yang baru dibeli Juan. Indira membayar ongkos taksi kemudian turun.
Rumah itu tidak memiliki pagar sehingga ia dapat melihat langsung rumah bertingkat dua tersebut. Indira tanpa sadar tersenyum. Di sanalah ia akan tinggal bersama Juan dan...Gisel. Indira merasa keputusan untuk memilih rumah itu---dan bukannya rumah besar yang dipilih Juan---sudah benar. Untuk alasan apapun ia tidak berhak memperoleh hunian mewah yang tidak dibeli dari uangnya sendiri.
Indira menaikkan tasnya yang merosot ke bahu. Angin malam berembus halus menggelitik kulitnya yang terbuka. Ia harus segera masuk jika tak ingin membeku di luar. Baru saja Indira akan berjalan hendak memasuki halaman saat seseorang bicara padanya.
''Kamu penghuni baru rumah ini, ya?"
Indira menolehkan kepalanya, matanya melihat seorang pria bertubuh tinggi dan tegap. Pria itu tampaknya sedang berlari malam. Keringat terlihat membasahi kaos tanpa lengannya dan handuk yang menggantung di lehernya yang panjang. Ada headset di sebelah telinga pria itu, sementara yang lain terjatuh di dadanya.
Ia adalah pria yang cukup tampan, Indira mengakui dalam hati. Rambutnya basah dan berantakan. Lewat lampu jalan, Indira dapat memastikan mata pria itu cukup jenaka. Senyumnya memancarkan keramahan.
Indira tidak bisa tidak membalas senyum manisnya, ia mengangguk.
''Bima," pria itu mengulurkan tangannya, tertawa kecil saat melihat tangan itu ternyata basah akibat keringatnya. "Maaf," katanya sembari menarik tangan kemudian melapnya di celananya yang kering lalu mengulurkannya kembali. "Sekarang sudah kering."
Indira tertawa dan menggeleng pelan. Ia menjabat tangan besar itu, masih terasa lembab di tangannya sendiri.
"Indira," ujarnya. "Panggil Dira saja."
Bima menunjuk rumah di sebelah rumahnya. "Kita tetanggaan. Rumahku tepat di samping rumahmu."
"Oh, ya?" Indira senang bisa berkenalan dengan tetangga barunya. "Kuharap aku bisa jadi tetangga yang baik."
"Aku juga," lagi-lagi Bima tersenyum. Bima memperhatikan Indira. Jelas memperlihatkan ketertarikan. Indira masih mengenakan setelan kerjanya, rok pensil di bawah lutut dan kemeja pas badan. Hari ini ia memakai sepatu dengan hak 8cm, membuat kakinya terlihat panjang. Indira memiliki kulit putih yang mulus, wajahnya yang manis saat ini sedang tersenyum. Bima mencuri lihat ke jari wanita itu, tidak ada cincin. Perasaan lega yang dirasakannya sangat konyol, ia sendiri tidak tahu kenapa bisa begitu. Tapi untuk memuaskan hatinya, pria itu bertanya.
"Sudah menikah?"
"Belum," jawab Indira, menyelipkan rambutnya ke belakang telinga.
Bima mengangguk. "Aku melihat mobil truk menurunkan perabot semalam," ujarnya. "Kupikir yang akan tinggal di sana pengantin baru." Untuk menutupi kelancangannya Bima terkekeh. "Soalnya perabot yang diturunkan lumayan banyak."
Indira hanya tersenyum. "Kamu sering lari malam seperti sekarang?" Ia mengganti topik pembicaraan, sedikit tidak nyaman membahas rumah barunya.
Bima memasukkan tangan ke saku celana olahraganya. ''Sesekali, kalau kebetulan pulang cepat. Lebih enak lari di malam hari, tidak ribut. Suasananya tenang."
Indira setuju. Pasti menyenangkan bisa mengeluarkan keringat seusai bekerja. Mungkin ia akan mencobanya kapan-kapan. Bima sepertinya tidak keberatan Indira ikut lari bersamanya.
Bima teman yang enak diajak mengobrol. Pria itu menceritakan tentang keadaan sekitar perumahan itu. Di mana letak pasar tradisional terdekat, supermarket tempat belanja bulanan, rumah sakit terdekat, Bima memberitahu semuanya pada Indira. Indira dengan senang hati mendengarkan semua yang dikatakan Bima. Sesekali Bima menyelipkan humor dalam kalimatnya, hingga Indira tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indira (Playstore)
RomanceNote: akan dihapus satu munggu setelah tamat, jadi sebaiknya kamu baca sekarang. Jangan bilang aku belum ingatin ya... ______________________ Novel dewasa Setelah ayahnya meninggal, Indira menjadi satu-satunya orang yang bertanggung jawab untuk adik...