Indira - 7

19K 2.1K 42
                                    

"Sudah mau pulang?"

Indira terlonjak, terkejut mendengar suara tiba-tiba itu.

Bima tersenyum. ''Maaf, kamu jadi terkejut. Mau menumpang?"

Siang tadi Bima berhasil membuat Indira tidak bisa menolak ajakan makan siang pria itu, Indira mengajak Lia ikut agar tidak cuma berdua saja dengan Bima. Lagipula Indira memang tidak sepenuhnya menolak ajakan Bima. Indira senang mengobrol dengan Bima, Bima selalu bisa membuatnya tertawa. Bahkan Lia tidak keberatan bila makan siang lagi dengan Bima. Selain senang dengan selera humor pria itu, Lia menyukai makanan gratis.

"Nggak usah, Bim." Indira menolak. ''Aku naik taksi saja."

"Ngapain naik taksi kalau ada dokter ganteng yang mau nganterin kamu?"

Indira tertawa. "Kamu kepedaan, Bima."

Bima menaikkan alisnya. ''Jadi kamu menyangkal kalau aku ini tampan? Sumber yang menjadi penilaiku bisa dipercaya, Ra. Akui saja aku memang tampan." Bima masih penasaran dengan pria yang datang ke rumah Indira tempo hari, namun ia tidak tahu bagaimana cara menanyakannya tanpa terdengar melewati batasan. Bima menyukai Indira, sejak pertemuan mereka malam itu Bima terus memikirkan Indira. Saat sekarang ia tahu Indira bekerja di perusahaan yang sama dengannya, Bima akan mencari cara agar sering-sering bertemu dengannya.

"Iya, kamu memang tampan. Sudah?" Indira menggelengkan kepalanya melihat kenarsisan Bima. "Ada orang ganteng nggak nyadar dia ganteng, nah kamu---"

"Aku sadar aku ganteng, Dira." Bima nyengir, membuat wajahnya semakin manis. ''Sudah, itu berarti sekarang kamu pulang bareng aku."

''Tapi---"

"---aku ambil mobilku dulu," Bima tidak membiarkan Indira bicara. ''Kamu tunggu di sini, aku nggak lama."

"Kamu terbiasa memaksa orang menuruti kemauan kamu, ya?" Seru Indira ketika sudah berada di mobil Bima.

Bima menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang, tersenyum senang dengan Indira yang duduk di sampingnya.

"Aku nggak maksa kamu, Ra," ia melihat Indira sekilas. "Aku menawarkan tumpangan."

"Aku menolak tapi kamu nggak terima."

"Baiklah, aku tadi sedikit memaksa. Tapi kamu memang nggak berniat nolak ajakan aku."

"Sok tahu," Indira mendengus.

"Aku memang tahu. Perempuan, kan,  seringnya seperti itu. Pura-pura menolak, itupun setengah hati."

"Ck, ck, kamu memang nggak bisa dilawan, ya."

Bima terkekeh. "Duduk manis saja, Dira. Sebentar lagi juga kita sampai."

Ponsel Bima berbunyi.

"Ra, tolong ambilkan ponselku di tas."

''Tas kamu di mana?" Indira mencari-cari dengan matanya.

"Di kursi belakang."

Indira membalikkan badan, setengah berdiri saat meraih tas kerja Bima. Posisi Tubuh Indira yang seperti itu membuat roknya melekat membentuk bokongnya yang sekal. Bima menelan ludah melihat pemandangan itu, ia berusaha berpikir normal dan bukannya menghayalkan yang tidak-tidak.

Indira sedikit kepayahan meraih tas kulit tersebut. Setelah tangannya bisa memegangnya, dia membalikkan badan. Ketika melakukannya, rambutnya yang panjang hampir menyentuh wajah Bima. Sontak aroma harum rambutnya membuat Bima menegang.

"Kamu letakinnya jauh banget," Indira mengomel. "Aku jadi susah mengambilnya." Indira membuka tas itu kemudian mengeluarkan ponsel Bima yang masih berbunyi, ia menyerahkannya pada Bima. "Mama kamu."

Indira (Playstore)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang