Malam sudah larut ketika Juan tiba di rumah, Juan memarkir mobilnya di garasi. Ia keluar mobil membawa tas kerjanya. Juan membuka dua kancing teratas kemejanya sembari melangkah masuk ke rumah. Ia pergi ke dapur, meneguk segelas air putih kemudian keluar dari sana.
Ia memijit tengkuknya yang pegal dalam perjalanan ke kamar. Ia menyiapkan diri menghadapi Indira. Pagi tadi tidak berjalan dengan baik, bahkan hampir menyerupai bencana. Indira menangis, Juan mencoba menjelaskan dan membujuk namun Indira menyuruhnya pergi.
Juan tidak bisa menyalahkan Indira untuk reaksinya. Bila hal serupa terjadi padanya sudah pasti ia melakukan hal yang sama, bahkan lebih. Juan tidak menginginkan segalanya terjadi seperti sekarang, ia menyesal Indira tahu tentang Calista sebelum dia bisa menjelaskannya sendiri. Yang membuat keadaan semakin semraut Juan tidak bisa memberitahu Indira yang sebenarnya sekarang. Tapi bukan berarti ia selingkuh. Calista memang mantan pacarnya, mereka saling mencintai sebelum Calista dipaksa menikah demi kepentingan bisnis. Hal serupa juga terjadi padanya. Dan sekarang Calista datang kembali.
Juan lega ketika pintu terbuka saat ia mendorongnya. Ia sempat mengira Indira mengurungnya di luar, melihat bagaimana marahnya Indira, Juan takkan terkejut bila ia dikurung di luar. Kemarahan Indira pagi tadi membuatnya takut, takut akan kesehatan bayi yang dikandung Indira dan istrinya itu.
Ia menutup pintu dengan pelan, tatapannya mengitari ruangan yang bercahaya redup tersebut dan...kosong.
Kening Juan berkerut. Hatinya mulai gelisah dan tak menentu. Tidak, Indira tidak mungkin pergi. Ia menenangkan debar jantungnya yang mulai menggila, ditiliknya ke kamar mandi dan mendapati hal yang sama. Kosong. Bahkan lantainya kering seolah sudah berjam-jam tidak dipakai.
Juan mulai panik. Ia berlari ke lemari pakaian Indira. Hantaman kelegaan nyaris membuat ia terduduk di lantai, semua pakaian Indira masih utuh. Juan meremas tengkuknya lagi.
Ke mana Indira?
Sekarang hampir tengah malam. Seharian ini Indira tidak menjawab satupun panggilan darinya, dan pesannya hanya dibaca saja. Juan mengira Indira hanya marah, tidak terlitas dalam pikirannya Indira akan pergi.
Mungkin Indira tidur di kamar Gisel. Beberapa hari yang lalu Indira kesal dan meminta tidur dengan putrinya, bisa jadi sekarangpun iya. Juan membuka pintu cepat lalu menuju kamar Gisel.
Dewi terkesiap mendengar pintu dibuka kasar, ia mengerjap dan menatap Juan bingung.
"Ada apa, Pak?" tanyanya, mengusap matanya dengan tangan. Dewi memang sesekali tidur dengan Gisel.
Tidak ada Indira di sana, Gisel pun tidak. Kelegaan yang sempat sedikit menenangkannya menguap tak bersisa. "Mana Indira? Gisel kenapa tidak ada?" tanyanya cepat.
"Dari tadi siang Mba Dira pergi, Pak. Gisel dibawa karena nggak mau tinggal."
"Ke mana?" Juan nyaris berteriak. Dia pulang dan mendapati anak-istrinya tidak ada di rumah, sama sekali tidak memberitahu ke mana perginya, laki-laki mana yang tidak marah.
"Katanya ke rumah ibu Mba Dira, Pak," jawab Dewi takut, ia semakin tenggelam dalam selimutnya. Juan tidak pernah lama-lama bicara dengan pelayan atau pekerjanya, Indira yang mengurus semua keperluan rumah tangga. Jadi Dewi baru tahu ternyata Juan sangat mengerikan kalau marah. Wajahnya berubah kasar dan sekujur tubuhnya seakan berasap. Dewi menganggap Indira adalah wanita hebat bisa menghadapi laki-laki sepertinya. Juan memang tampan, sangat malah, tapi sekarang...pria itu terlihat seperti iblis pembawa maut. Iblis pembawa maut yang tampan.
Dewi tersentak ketika Juan membanting pintu tertutup. Ia mengurut dadanya, lega majikannya sudah pergi. Tak berapa lama terdengar ban mobil Juan berdecit lalu meninggalkan rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indira (Playstore)
RomanceNote: akan dihapus satu munggu setelah tamat, jadi sebaiknya kamu baca sekarang. Jangan bilang aku belum ingatin ya... ______________________ Novel dewasa Setelah ayahnya meninggal, Indira menjadi satu-satunya orang yang bertanggung jawab untuk adik...