Indira - 4

20K 2.1K 57
                                    

"Makasih, ya," Indira mengembalikan helm kepada Lia. Setelah pulang kantor Indira singgah ke supermarket. Karena jalan ke rumah Lia searah, ia menumpang motor temannya itu.

"Biasa saja, Ra. Searah juga," Lia meletakkan helm yang diberikan Indira tadi di depan. "Kalau gitu aku pulang, ya."

"Hati-hati."

Lia membunyikan klakson sekali lalu pergi. Indira menarik pintu supermarket. Udara dingin di dalam membuatnya merasa sejuk. Seharian berkutat dengan pekerjaan membuat tubuhnya gerah.

Pagi tadi Juan mengatakan ingin makan udang diasam manis. Karena di kulkas tidak ada udang terpaksa ia mampir untuk membelinya. Sebenarnya Juan tidak memaksanya memasak makanan itu, namun Indira takkan puas sebelum menghidangkan makanan yang diinginkan pria tersebut. Indira senang membuat Juan senang. Entah kenapa, menunggu-nunggu Juan menatap padanya dan memberinya senyuman---walau sekecil apapun---adalah saat-saat yang menyenangkan bagi Indira.

Penjaga swalayan menyapanya. "Selamat datang, selamat belanja."

Sebelum menuju rak yang berisi ikan-ikan, Indira pergi mencari kebutuhan pribadinya lebih dulu. Ia mengambil keranjang untuk tempat belanjaannya.

Indira mengingat-ingat apa yang ingin dibelinya sembari melihar rak-rak yang berisi segala jenis produk. Satu-persatu keperluannya ia masukkan ke keranjang.

Hanya butuh waktu beberapa menit bagi Indira mendapatkan semua barang-barang keperluannya, keranjang yang dipegangnya sudah lumayan penuh.

Kemudian Indira memilih udang, memastikan tanggal kedaluarsanya. Selain udang Indira juga membeli ikan tuna. Ia sangat suka menggulai ikan itu. Ia bisa menghabiskan lebih dari satu piring nasi bila memakannya dengan ikan tuna gulai.

Kalau untuk bumbu, Siska sudah menyiapkan semuanya. Indira hampir tidak percaya sekretaris Juan itu membeli bermacam-macam bumbu di kulkasnya.

Setelah semua yang diinginkannya ada di keranjang, Indira membawanya ke kasir. Sambil mengantri, ia memeriksa kembali belanjaannya. Indira meletakkan keranjangnya ke lantai karena terlalu berat bila diangkatnya terus, apalagi antrian cukup panjang.

Swalayan itu lumayan ramai. Indira memperhatikan mereka yang hilir mudik mencari sesuatu di rak-rak yang ada di sana. Ada yang datang sendiri seperti dirinya, ada pula yang datang bersama pasangannya, dan tak sedikit yang datang bersama ibunya. Tatapan Indira berpindah dari orang yang satu ke orang yang lain. Salah satu dari orang yang dipandanginya ternyata Bima.

Bima langsung tersenyum begitu melihat Indira, pria itu menaikkan tangannya seolah memperjelas kehadirannya.

"Belanja?" tanya Bima seraya melihat keranjang Indira.

"Ya iyalah, masa berobat," Indira bercanda. "Kamu beli apa?"

"Ini," Bima menaikkan mie lidi tiga bungkus di tangannya. "Mama nyuruh belikan, katanya besok mau masak mie goreng." Pria itu melirik antrian kemudian kembali ke Indira. "Punyaku gabungin ke keranjang kamu saja, ya. Soalnya kalau ngantri di belakang akan lama."

"Boleh. Boleh. Masukin saja."

"Ini uang untuk membayar mie-ku." Bima memberikan dua uang seratus ribu pada Indira.

"Eh," Indira menatap bingung uang yang dipegang Bima. "Harga mie-nya nggak sampai segitu, Bim."

"Nggak apa-apa," Bima tersenyun. "Hitung-hitung upah kamu berdiri di sini."

Indira cemberut. "Kalau untuk upahku, itu kurang."

Bima tertawa. "Kekurangannya nanti kita bicarakan di belakang." Bima tidak membiarkan Indira menolak uangnya, pria itu memaksa wanita itu memegang uang tersebut kemudian pergi keluar, menunggu Indira selesai.

Indira (Playstore)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang