Indira - 20

16.6K 2.5K 109
                                    

Keesokan harinya Indira uring-uringan, padahal besok adalah pernikahannya. Momen bahagia itu tidak membuatnya merasa lebih baik, perasaannya tetap kacau-balau.

Satu-persatu keluarga keluarga Juan yang tinggal di luar kota datang, mereka takkan menginap di sana karena rumah itu kecil, tidak cukup menampung mereka semua. Juan mengalihkan keluarganya ke rumah utama yang ditinggalinya sebelum pindah ke rumah yang belikannya untuk Indira itu. Para keluarga datang hanya untuk menyapa kedua calon pengantin tersebut.

Indira setengah mati menahan kedongkolannya pada Juan. Ketika wajahnya kusut bak kertas diremas-remas, raut Juan tampak sumringah. Juan tersenyum lebar menyambut keluarganya, menerima semua ucapan selamat dengan seringai bodoh khas laki-laki jatuh cinta. Tapi Indira tidak percaya itu. Juan hanya bersandiwara di depan semua orang. Topeng kebahagiaan itu membuat Indira geram, ia tidak tahu seberapa lama Juan berbicara di telepon dengan selungkuhannya. Indira menyebut wanita tersebut selingkuhan Juan, tidak peduli ia belum bisa memastikan siapa yang menelepon Juan.

Lagi-lagi mengingat hal tersebut membuat Indira mual. Entah sampai kapan mualnya hilang.

Ketika pada akhirnya orang-orang berhenti datang, Indira mengerang lega. Mulutnya terasa melebar karena tersenyum dari tadi, padahal senyum itu setengah hati.

Indira belum menemukan waktu yang tepat bicara dengan Juan. Ketika terbangun pagi tadi rumahnya sudah ramai dengan suara orang-orang, dan Juan selalu dikelilingi keluarganya.

Juan tidak terlihat di manapun, terakhir kali ia melihatnya pria itu sedang berjalan ke luar bersama salah seorang sepupunya, ia bahkan sudah lupa nama sepupu Juan itu. Terlalu banyak wajah, terlalu banyak nama yang diperkenalkan, pikirannya terbelah-belah antara pernikahan, Juan, kehamilannya, keluarga Juan, semuanya.

Indira senang keluarga Juan menyukainya. Semua tampak bahagia dengan pernikanannya dengan Juan. Karena ayah Juan sudah meninggalkan, Juan akan didampingi saudara ayahnya saat di prosesi pemberkatan besok. Ibu Juan tidak datang, dan Juan pun memang tidak mengharapkan kedatangannya.

Lama Indira mencari Juan, ia memandang ke semua ruangan, ia bahkan keluar mencarinya, Juan tidak ada di manapun. Indira kembali masuk, ia memutuskan pergi ke kamar Gisel. Gisel sangat bahagia mengetahui bahwa Indira akan menjadi bundanya. Senyumnya lebar sekali, dia memeluk perut Indira erat, menengadah dan terus tersenyum.

"Bundaaa," Gisel berteriak saat Indira masuk ke kamarnya. Lihat, bahkan pernikahan belum terjadi namun dia sudah memanggilnya bunda.

"Halo, sayang," Indira tersenyum. Gisel sedang menyusun balok warna-warni di lantai dengan Dewi yang menemaninya. "Bunda ganggu, nggak?" Betapa manis panggilan itu terdengar, Indira merasa benar-benar menjadi seorang ibu.

"Nggak." Gisel menggeleng, ia meninggalkan baloknya dan menghampiri Indira. "Bunda mau main sama Gisel? Mba Dewi nggak pintar nyusun baloknya, yang disusun mba Dewi jelek." Gisel sangat senang menjelek-jelekkan Dewi, Dewi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Boleh," ia duduk di lantai, sekilas memperhatikan apa yang sudah disusun Gisel. "Ini apa?"

"Rumah masa depan Gisel," jawabnya bangga. Rumah yang dimaksud anak itu adalah susunan berantakan yang tak jelas bentuknya, ketika Indira melirik Dewi, Dewi mengangkat bahu. Gisel tidak mau diberitahu bagaimana menyusun balok plastik yang bagus, menurutnya idenya lah yang paling bagus. Tidak ada yang bisa dilakukan Dewi selain memperhatikan dan menemani gadis kecil tersebut.

Indira duduk di sana, meraih beberapa balok. Gisel ikut duduk bersila, ia antusias dengan proyek masa depannya. "Cantik, kan, Bunda?"

Indira meringis, namun ia mengangguk. Usia Gisel kurang dari lima tahun, bisa menyusun berantakan seperti itu sudah lumayan. Imajinasinya pasti bisa berkembang jika usianya bertambah. "Bagus, tapi kita akan membuatnya jadi rumah yang lebih bagus lagi."

Indira (Playstore)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang