Indira - 19

15K 2.3K 125
                                    

Indira pura-pura tidak mendengar Juan memanggilnya, lagi-lagi ia membanting pintu. Kali ini pintu kamar mandi yang berdebum dibuatnya. Tampaknya seni banting-membanting sudah tertular padanya.

Bayangan bagaimana cara Juan menatap wanita asing tadi menghantui pikiran Indira. Membuatnya kembali mengingat kata-kata Viona.

Juan mencintai wanita lain.

Indira mencuci wajahnya, ia mendengak menatap pantulan wajah chuby-nya di sana. Sudah jelas ia hamil, berat badannya bertambah di mana-mana. Dan Juan mencintai wanita lain. Rasanya ia ingin muntah.

Sepanjang perjalanan pulang dari rumah Viona Indira memang lebih banyak diam. Moodnya melayang ditelan malam, suaranya terasa sulit untuk keluar dan jika matanya melirik Juan yang ingin dilakukannya adalah memukul pria itu. Perempuan mana yang tidak marah melihat calon suaminya memandang wanita lain lebih lama dari yang sepantasnya?

Selama ini Indira tidak mempercayai perkataan Viona. Baginya Viona adalah iblis yang ingin merusak kebahagiaannya bersama Juan. Dengan menebar kebohongan wanita itu mengharapkan kehancuran hubungannya dan Juan. Indira tidak mempercayainya, hingga sekarang. Juan tidak membahasnya sedikitpun, yang mana semakin membuat Indira gelisah.

Juan tidak mencintainya, Kemungkinan Juan mencintai wanita lain pasti ada. Setiap orang memiliki cinta di dalam hidupnya. Jika bukan Indira yang mengisi hati Juan...

Oh, Indira mengerang. Ia menutup wajah dengan kedua tangan. Sekarang apa yang harus dilakukannya. Kenapa baru sekarang? Bukan saat yang tepat memulai pertengkaran, pernikahan hanya tinggal menghitung hari.

"Kenapa kamu lama sekali di kamar mandi?" tanya Juan begitu Indira selesai bermuram durja. "Aku hampir menggedor pintu itu. Kupikir kamu tertidur di dalam sana."

Wajah tampan Juan bahkan tidak menunjukkan apa-apa, dia setengah berbaring di tempat tidur seraya memperhatikan Indira. Juan sudah kembali melepas kaosnya, melemparnya asal ke lantai.

Indira meraup kaos tersebut, menggulung-gulungnya hingga membentuk bola. Ia tergoda melemparnya ke kepala Juan, ingin tahu bagaimana reaksi Juan melihat kemarahannya.

Mulut Juan kering, ia menatap gulungan di tangan Indira dan sorot haus darah wanita itu. Terus terang saja, Indira yang seperti itu membuatnya terangsang. Tapi ia menahan diri, Indira sedang marah. Ia tahu itu, yang tidak dimengertinya adalah Indira marah karena apa.

"Kamu baik-baik saja?" Juan kembali membuka suara ketika yang dilakukan Indira hanya diam sambil meremas-remas kaosnya yang sudah kusut. Jika kaos itu adalah tubuh seseorang, orang itu pasti sudah menjerit-jerit kesakitan.

''Sebaik induk banteng," ujar Indira, melempar kaos Juan tersebut ke tempat kain kotor. Lucunya kaos itu berhasil masuk sepenuhnya ke dalam keranjang padahal Indira bukan ahli melempar. Ia naik ke samping Juan, menarik selimut hingga ke pinggangnya. "Belum mau tidur?" Ia mengganti topik, ditunjuknya TV yang menyala.

"Aku menunggumu," Juan mematikan Tv, meletakkan remot ke laci nakas paling atas. Laci tempat Juan menyimpan pistolnya sudah dikunci dan Indira berkeras agar dirinya yang menyimpan kunci tersebut karena emosi Juan yang sangat sering meledak.

Juan berbaring dengan bertumpu pada siku, ia memasukkan tangannya ke baju Indira, mengusap perutnya naik-turun. Indira tahu gelagat seperti itu menuju ke mana.

"Jangan malam ini, Juan," ia memalingkan wajah saat Juan hendak menciumnya.

"Sekali saja, Ra." Juan membujuk, memegang pipi Indira.

"Setengah pun aku nggak mau."

Alis Juan terangkat. ''Mana ada orang bercinta setengah," katanya, berhasil mencuri kecupan singkat di bibir lembut Indira. "Rasanya pasti menyakitkan." Hidung Juan mengendus leher Indira.

Indira (Playstore)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang