Indira - 21

16.8K 2.3K 67
                                    

Dulu, ketika usianya sepuluh tahun, Indira suka menonton kisah-kisah putri. Putri cantik yang menikah dengan pangeran. Hidup di kastil indah, mempunyai anak-anak yang lucu dan hidup bahagia. Indira sampai lupa waktu jika sudah memasang kisah tersebut, ia bahkan mengulang-ulang kisah yang sama dan tak pernah bosan.

Ada kebahagian ketika ia menontonnya, hati kecilnya yang masih polos ingin seperti putri-putri itu. Ia ingin menikah dengan pria tampan, yang kuat, yang mampu menghadang musuh untuk menjaganya.

Saat usianya semakin dewasa, semua itu terasa naif. Ia berhayal terlalu tinggi, kemudian dirinya sadar itu semua hanya dongeng. Kehidupan seperti itu takkan terjadi padanya---seorang gadis biasa. Ia mengubur harapan tersebut dalam-dalam, jauh ke dasar tak terlihat.

Namun sekarang, tepat di depan matanya, seorang pria tampan, tengah tersenyum sembari menyematkan cincin ke jarinya yang bergetar. Juan adalah pangeran baginya, sosok yang mampu melengkapi kekurangannya. Juan tidak sempurna, begitupun dirinya. Berdua mereka akan melewati terjalnya jalan yang mesti ditapak, setidaknya itu janji Indira di dalam hati sebelum berjalan menuju altar.

Penampilan Juan nyaris sempurna. Ia mengenakan setelan segelap malam, begitu pas membentuk tubuhnya yang tegap. Juan memandangnya dalam, menyebabkan gelenyar hangat di sepanjang tubuhnya Indira.

Beberapa menit yang lalu janji suci telah diikrarkan, mengikat mereka menjadi satu. Indira meneteskan air mata tatkala Juan mengucapkan janjinya, pria itu menyuarakannya dengan tegas dan jelas.

Pangeranku, Indira membatin. Suamiku, penjagaku, ayah dari anak-anakku kelak.

Sumpah setia itu ditutup dengan sebuah ciuman. Ciuman lembut, sehalus kapas, penuh perasaan. Tidak ada nafsu, tidak terburu-buru. Yang ada hanya kasih sayang, penghormatan dan kebahagiaan.

Semua orang bahagia. Ibu tidak bisa menahan tangis, Kirana harus menenangkan ibu padahal dia sendiri juga menangis, tangis mereka adalah tangis bahagia.

Ratusan ucapan selamat diberikan, pelukan sayang tak ada habis-habisnya, hadiah-hadiah tersusun membentuk gunung. Segalanya berjalan seperti yang diharapkan. Artis dipanggil untuk menghibur para tamu, makanan dan minuman berlimpah, suasana di ruangan itu begitu ramai dan berwarna, dipenuhi kata-kata yang menyebutkan betapa serasinya pengantin tersebut.

Yah, Juan dan Indira memang diciptakan untuk bersama. Senyuman keduanya memperlihatkan betapa bahagianya mereka di hari spesial itu, yang takkan terulang untuk kedua kalinya.

Mereka berdansa, dalam lantunan lagu romantis yan melelehkan hati. Juan memegang pinggangnya dengan sentuhan ringan, membawanya bergerak perlahan. Iramanya teratur, Indira larut dalam sensasi meluap tersebut. Senyum tidak pernah meninggalkan bibirnya, bola matanya bersinar seterang lampu hias yang memancarkan cahaya indah, Indira adalah pengantin yang sangat cantik.

Juan tidak pernah meninggalkan sisi Indira, pria itu seperti prangko yang terus menempel. Beberapakali, tanpa disadarinya tangannya menyentuh Indira. Bisa dibahu, dipinggang, di siku, di pergelangan tangan, Juan seolah tak bisa berhenti merasakan Indira. Dirinya tidak menyadari sikap mabuk kepayangnya itu, namun orang lain memperhatikannya. Yang bahagia bersamanya hanya tersenyum, maklum dengan tindakannya, bagaimanapun Indira adalah pengantinnya. Tapi ada orang, yang diam-diam melirik tajam. Menyembunyikan kesinisan hatinya dengan senyum palsu. Sang pengantin terlalu terpesona terhadap satu-sama lain sehingga tidak memperhatikan orang itu.

Bima datang. Walau Juan terlihat tidak suka namun Bima bertahan di sana. Pada akhirnya Juan mengalah demi istrinya. Ia tidak ingin bertengkar di hari bahagia itu, senyuman Indira adalah obat untuk kecemburuannya.

Ratusan foto telah diambil, Juan secara khusus membayar photographer ternama untuk mengambil gambar di pernikahannya. Ada saat-saat di mana keduanya melupakan semua orang yang ada di sana, hanya mereka berdua. Ketika Indira menatap Juan, Juan merasa hanyut di dalam tatapan istrinya itu, begitupun sebaliknya.

Indira tak ingin malam itu berakhir, ia ingin kebahagiaan itu berlangsung selamanya. Karena ketika malam usai, kenyataan kehidupan rumah tangga yang sesungguhnya tengah menanti. Ia tahu Juan menyembunyikan sesuatu, namun karena tak ingin meratap di hari bahagianya, Indira melupakan hal itu sejenak. Setelah semua ini berakhir, benaknya pasti takkan mampu menyingkirkan prasangka buruk tersebut. Apalagi semalam Juan menghilang sangat lama. Juan tidak memberitahunya kemana pria itu pergi, membuat Indira semakin berpikir yang tidak-tidak.


****


Benar saja, ketika berada di kamar hotel---khusus dipesan Juan untuk malam pertama mereka sebagai suami-istri---kebahagiaan yang tadi ia rasakan menyusut. Senyum manis Indira yang daritadi tak pernah hilang kini digantikan wajah kelelahan.

Bila Indira berubah lesuh, beda halnya dengan Juan. Senyumnya tetap melekat, ia menutup pintu di belakangnya. "Aku akan membantumu melepas itu," ujarnya menunjuk gaun Indira, ia menghampiri wanita tersebut. "Kenapa?" Akhirnya Juan menyadari kegundahan Indira. "Kamu tidak suka kamarnya?"

"Kamarnya bagus, aku suka," kamar tersebut berukuran luas dan dipenuhi perabot mahal. Ranjangnya besar dan terlihat luar biasa nyaman.

Indira berusaha tersenyum, tapi senyumnya tidak seperti tadi saat masih berada di ruang pesta. "Aku hanya kelelahan."

"Oh." Senyum Juan pun ikut menguap. "Tidak apa-apa," ia menarik turun resleting gaun Indira, sekilas menyentuh kulit punggungnya tapi hanya sebatas itu. "Aku tidak akan memaksamu malam ini." Padahal Juan sudah menanti-nanti malam ini, malam pengantinnya. "Bayi kita merajuk?" Juan mengira kehamilan Indira yang membuat wanita itu gundah.

"Mungkin. Aku sangat kelelahan, dan ingin segera istirahat."

Juan menatap punggung Indira yang hilang ditelan pintu kamar mandi, Indira bahkan masuk ke sana masih dengan gaunnya yang menyeret lantai. Juan sedikit kecewa, bukan seperti ini malam pengantin yang diharapkannya. Ke mana perginya senyum manis Indira tadi? Binar bahagia di mata indah itupun menghilang seolah tidak pernah ada.

Juan membuka jasnya, melepas dasi dan tiga kancing teratas kemeja putihnya. Ia duduk di tempat tidur, menunggu Indira. Ia menyesal tidak memesan anggur. Kalau tahu akan berakhir seperti ini Juan pasti meminta setidaknya satu botol untuk menemaninya. Indira jelas tidak bisa diganggu, mood wanita itu sangat jelek.

Indira keluar dengan jubah mandi menyelimuti tubuhnya, ia memandang Juan. Juan terlihat merana, rambut pria itu berantakan seakan sebelumnya diacak-acak dengan kesal.

Rasa bersalah menghantam Indira. Istri macam apa dia? Mengabaikan suaminya di malam pertama mereka. Juan belum terbukti selingkuh, semua kegelisahannya masih prasangka-prasangka saja, tidak seharusnya ia menghancurkan apa yang telah disiapkan Juan. Juan bahkan tidak memesan anggur karena Indira tidak bisa meminumnya.

Indira melangkah mendekati Juan, menyusup di antara pahanya. Ia menyisirkan jarinya di rambut pria itu.

Juan memeluknya. "Perutmu sakit?"

Perasaan Indira semakin tak menentu. Juan masih bisa mengkhawatirkannya, apakah yang dilakukannya salah?

"Nggak," jawabnya singkat.

"Kudengar wanita hamil memang  lebih mudah lelah," Juan menariknya ke pangkuan.  "Aku tidak keberatan menahan kebutuhanku malam ini."

Indira mengecup bibirnya sekilas. "Terimakasih."

Indira mengira Juan akan turun lagi ke bawah---di mana masih banyak keluarga yang menikmati hiburan pesta. Apa yang diinginkan Juan tidak didapatnya, jadi Indira pikir Juan akan meninggalkannya sendiri di kamar. Tapi tidak, Juan tetap di sampingnya. Membawa kepala Indira berbaring di dadanya yang bidang. Malam itu Juan memeluknya sampai tertidur.








Tbc...








Indira (Playstore)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang