Keesokan harinya Juan dan Indira menjadi buah bibir di hampir semua departemen di perusahaan yang memproduksi barang-barang berat tersebut.
Indira, masih baru tiba di lobi, dan sudah mendapat tatapan penasaran dari beberapa pasang mata yang kebetulan berpapasan dengannya. Ia mengernyit bingung menerima pandangan aneh itu, karena biasanya tak ada yang memperhatikannya sampai seperti itu.
Bahkan satpam yang biasa menyapanya kini menunduk---hal yang sama-sekali tidak pernah terjadi. Paling-paling hanya menyapa dan tersenyum, bukan menunduk. Apa yang salah dengan mereka semua.
Meski merasa tidak ada yang salah dengan penampilannya, ia menurunkan pandangan memeriksanya sekali lagi. Seperti perkiraannya, pakaiannya rapi dan sopan. Karena tidak menemukan kesalahannya, Indira melenggang masuk ke ruangannya.
Kalau di luar tatapan yang mengarah padanya berupa intipan diam-diam yang tidak terlalu kentara, beda halnya ketika Indira berjalan ke kubikelnya.
Pembicaraan dengan suara-suara berisik tiba-tiba terdiam begitu dia masuk. Indira menatap mereka bingung, sedikit melambatkan langkahnya ingin mencari tahu apa yang terjadi. Namun teman-teman seruangan dengannya itu hanya menatapnya saja, tidak bicara sepatah katapun.
Indira duduk dengan pikiran berkecamuk. Ia mencari-cari ponselnya di tas. Saat ponsel itu ia temukan, dicarinya kontak Lia. Lia pasti tahu apa yang terjadi di kantor sekarang.
Lia tidak mengangkat teleponnya, Indira berdecak lalu menghubunginya lagi. Lagi-lagi temannya itu tidak menjawab. Indira melirik jam tangannya, masih ada beberapa menit lagi sebelum jam kerja dimulai. Ia memutuskan untuk mencari Lia, berharap menemukan jawaban untuk hal membingungkan yang tengah dialaminya saat ini.
Indira berdiri, baru saja hendak berjalan saat ibu Lusi menghampirinya dengan map di tangan kanannya.
''Pagi, Bu," Indira menyapa.
"Pagi, Ra," wanita itu menyerahkan map tersebut kepadanya.
Indira menatap map itu. "Laporannya ada yang salah, Bu?"
Ibu Lusi menggeleng. "Itu rincian produk yang mesti kamu sortir," katanya. "Laporan yang kamu kasih nggak ada yang salah."
"Oh," Indira mengira laporannya salah. "Baik, Bu. Kapan ibu ingin saya menyerahkan hasil sortirannya?"
"Nggak usah buru-buru," jawabnya sembari tersenyum, kalau bisa Indira tambahkan, senyum yang sangat manis. "Yang penting jangan sampai ada kesalahan."
"Baik, Bu," Indira mengangguk. Ia menunggu ibu Lusi bicara karena sepertinya masih ada yang belum dikatakan wanita itu. Karena dia tak kunjung bicara, Indira berdehem. "Kalau nggak ada yang mau ibu katakan lagi, kalau nggak keberatan saya ingin keluar, Bu. Mau cari sarapan," Indira beralasan.
Gantian ibu Lusi yang berdehem. "Sebenarnya ada yang ingin saya tanyakan, tapi saya bingung bagaimana bilangnya."
Indira menatap wanita yang lebih tua itu. "Bilang saja, Bu."
"Hhhmm," ia terdiam, orang-orang yang berada di ruangan itu juga diam, seolah sudah tahu pertanyaan yang akan ditanyakan kepala bagian mereka. "Kamu...kamu sama pak Juan pacaran, ya?"
Indira tampak syok mendengar pertanyaan tersebut. Tidak menyangka ia akan mendapatkannya dengan cara seperti ini. Indira belum tahu akan menjawab apa, karena memang tidak menyangka akan ada yang bertanya. Seharusnya ia memikirkannya, untuk berjaga-jaga. Supaya dirinya tidak seperti ayam yang baru saja menelan batu besar.
"Dari mana ibu tahu?" Bodoh! Indira merutuki dirinya. Kenapa pertanyaan itu yang keluar dari bibirnya. Seharusnya ia langsung menyangkalnya saja.
"Gosip sudah tersebar, Ra," kata wanita itu, membalikkan badannya menghadap orang-orang yang berkumpul. "Saya yakin mereka juga sedang membicarakan kalian. Iya, kan?" Orang-orang itu mengangguk bersamaan. Ibu Lusi kembali melihat Indira. "Jadi gosip itu benar atau tidak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Indira (Playstore)
RomanceNote: akan dihapus satu munggu setelah tamat, jadi sebaiknya kamu baca sekarang. Jangan bilang aku belum ingatin ya... ______________________ Novel dewasa Setelah ayahnya meninggal, Indira menjadi satu-satunya orang yang bertanggung jawab untuk adik...